108
POV INA
Aku diantar oleh Nami ke kamar. Tangisanku belum mau kuhentikan begitu saja. Tanggung. Biar dulu kunikmati peran ini dengan seindah-indahnya. Supaya kalut hati si Nami. Setelah ini, maka nasib Rahima akan terpelanting jatuh seperti Dijah yang dulu pernah kudepak dari rumah Mas Anwar.
Telaten sekali Nami membujukku. Dia menggamit lenganku di sepanjang jalan dari dapur menuju kamar. Tak hentinya dia membujuk supaya aku lekas meredam tangis. Mana aku mau. Sayang dong, kalau air mata ini kuhapus sia-sia. Toh, aku kan, memang tengah ingin banjir air mata. Ini namanya air mata berkah. Air mata pengundang keberuntungan.
Sampai di kamar, Nami membawaku ke ranjang. Dia mendudukkanku di tepi dan dia pun langsung ikut
Tidak percaya akan kuasa Tuhan adalah tindak keji. Main dukun juga adalah tindakan musyrik dan salah satu dosa besar yang diganjar dengan neraka kelak di hari pembalasan. Author tidak membenarkan sikap Ina yang cenderung ateis dan animisme. Mohon untuk tidak meniru kelakuan Ina di dalam cerita ini.
109 POV INA Makan siang akhirnya tiba. Yang menyiapkan? Tentu aku dan Nami. Sedangkan si sialan Rahima, disuruh Nami menyingkir ke kamar untuk introspeksi diri sebelum dia memutuskan akan memberikan hukuman apalagi kepada pembantu kurang ajar tersebut. Masakan hasil kolaborasi aku dan Nami sudah siap tertata di atas meja makan. Nami yang semula bilang kurang enak badan, seketika jadi sembuh. Apalagi setelah kupuji-puji bahwa dia adalah nyonya besar rendah hati yang memiliki banyak keunggulan. Pintar masak, punya ilmu keperawatan yang cukup tinggi, dan sangat pandai berpakaian. Semua kalimat-kalimat omong kosong itu dengan serta merta membua Nami seperti melayang ke awang-awang. Tak hentinya dia senyum-senyum sendirian sepanjang masak bersamaku di dapur kotor. Selamat Nami. Kamu benar-benar sudah masuk ke dalam perangkap besarku. Sup iga sapi, sambal goreng hati sapi, dan acar ketimun-nanas sudah tersusun rapi di atas meja. Nasi panas pun su
110POV INA Aku terkesiap memandangi kamar Nami dan Mas Anwar yang notabene pernah aku tempati. Hatiku benar-benar sakit sekali rasanya. Kamar itu kini banyak berubah. Tempat tidurnya telah diganti dengan tempat tidur yang lebih luas dengan kepala sandaran berbahan beludru warna keemasan. Yang membuat ranjang itu semakin indah adalah ukir-ukiran bercat cokelat keemasan pada bagian kepala dan ujungnya. Dua buah nakas berbahan kayu dengan ukiran yang senada juga diletakan di kedua sisi ranjang. Ada lampu tidur yang masing-masing diletakan di atas nakas kayu mewah tersebut. Tembok kamar juga turut dipasangi wallpaper mewah berwarna putih gading dengan aksen gold di pinggiran motif bunganya. Cahaya indah dari lampu kristal di tengah-tengah ruangan kamar pun semakin membuat semarak. Napasku kian tercekat tatkala kupandangi meja rias yang letaknya di pojok sebelah kanan kamar dipenuhi dengan peralatan make up maupun parfum-parfum mahal berkelas. Ya Tuhan, aku tid
111 POV INA “Ini mahal, Nyonya. Sangat mahal,” ucapku agak tersinggung. “Oh, tentu tidak, Ina. Ini ada yang harganya tiga juta lima ratus. Limited edition. Hanya keluar di musim gugur bulan lalu. Kamu mau? Cuma, aku sudah pakai sekitar lima kali.” Nami lalu menyambar satu lipstik dengan wadah yang terbuat dari plastik berwarna hitam mengkilap dengan bagian tengah yang diberi warna silver plus inisial huruf brand mahal tersebut. Oke, tingkahmu semakin sengak, Nami. Kamu sekarang bahkan memamerkan lipstik seharga ponsel pintar kelas standar. Semoga, sebentar lagi dirimu merasakan keterpurukan seperti yang aku rasakan sekarang. “Jangan, Nyonya. Terlalu mahal untukku. Aku ambil yang murah ini saja,” ucapku pura-pura malu. Padahal, ingin sekali kuempaskan seluruh peralatan make up milik Nami ke lantai. “Ah, tidak apa-apa, Ina. Santai saja. Bukankah, dulu kamu juga pengguna merek-merek ini? Sekarang, kamu juga bisa
112POV INA “Baiklah kalau begitu, In. Aku akan mencoba sering-sering berpenampilan natural. Biar lebih bervariasi,” ucap Nami sambil sedikit membungkuk sehingga kepala kami sejajar. Kusenyumi dia dengan singkat. Aku lalu mengedarkan pandangan ke atas meja. Menyapu dengan lirikan ke arah setiap inci barang-barang yang tertata apik dan sangat rapi. Lihatlah, semua lengkap di atas sini. Ada lipstik yang jumlahnya lebih dari satu lusin. Kuteks beragam warna, bedak, foundation, maskara, pensil alis dengan merek yang sangat terkenal, sampai bulu mata palsu yang masih tersimpan rapi di dalam kotak-kotaknya. Sontak aku merasa minder dan rendah diri. Aku ingat dengan kata-kata milik almarhumah Lia saat dia masih hidup dulu. Kalau melihat orang yang lebih darinya, dia sering curhat kalau seketika dia mendadak insecure. Ya, seperti itulah penggambaran diriku sekarang. Insecure dengan kemegahan hidup yang dicicipi oleh Nami saat ini.
113POV INA “Iya, aku sudah datang. Nalen juga sudah duluan ke ruang makan. Aku nyari-nyari kamu, Ma. Ternyata ada di sini, toh.” Mas Anwar kulihat sok mesra kepada Nami. Dengan memendam kecemburuan yang mendalam, terpaksa aku harus memperhatikan betapa manisnya perlakuan mantan suamiku kepada istri barunya tersebut. Mas Anwar peluk si Nami. Tak lupa juga dia kecup kedua pipi perempuan berkulit putih itu. “Maaf, Pa. Ini lho, Sayang. Aku ajak Ina ke kamar supaya dia pilih-pilih make up yang cocok buat dipakai sehari-hari. Kasihan dia, Pa. Masa wajahnya polosan kaya orang sakit? Aku jadi khawatir kalau melihat wajah orang pucat pasi begitu. Jadi, aku kasih dia bedak, foundie, lipstik, dan parfum. Nggak apa-apa kan, Pa?” Lembut nian ucapan Nami kepada suaminya. Tak lupa, perempuan itu juga melingkarkan tangannya ke perut Mas Anwar. Pokoknya, mereka seolah-olah sedang sengaja memanasiku. Sialan sekali. “Lho, nggak apa-apa, dong. Santai saja. Malah
114POV INA“A-aku pikir … Nyonya tidak menyukai Bu Ina. Jadi, makanya aku bisa bersikap demikian. Aku minta maaf, nggeh Bu?” “Aku maafkan kesalahanmu, Rah. Aku akan bilang kepada Nyonya untuk tidak memecatmu. Namun, ada satu syarat yang harus kamu lakukan.” Rahima langsung mendongak. Wajahnya yang sudah kusut masai itu memperhatikanku dengan penuh rasa penasaran campur harap yang membumbung tinggi. “A-apa itu, Bu?” “Jangan lancang berbicara di rumah ini. Hormati tuan rumah. Begitu juga dengan aku. Jangan pernah sekali pun kamu membahas tentang masa laluku. Ingat, Rahima. Respek Nyonya kepadamu sudah hilang sejak kejadian tadi. Bahkan dia bilang kepadaku bahwa posisimu akan segera dia singkirkan. Mudah bagi Nyonya untuk mencari penggantimu. Itu hal yang kecil!” kataku sambil menjentikan kelingking. “A-aku paham, Bu,” ucap Rahima lagi sambil menunduk dalam. “Maka dari itu, bersikaplah patuh kepadanya. Hormati perinta
115POV INA “Mama sama Papa udah nunggu di ruang makan.” Nalendra berucap kepadaku. Sorot matanya terus terarah menatap wajahku. Semula agak dingin. Namun, lambat laun terbit senyuman manis di bibirnya yang kemerahan. “Oke. Panggil aku Bu Ina. Mulai detik ini, sebut saja aku dengan panggilan itu. Kamu paham kan, Nalen?” tanyaku sambil mendekat ke arahnya. Kutepuk bahu tegap lelaki bertubuh tinggi tersebut. “Baik, Bu Ina.” Nalen menyahut lembut. Kepalanya mengangguk patuh, sedangkan senyumannya tak kunjung padam dari kedua bibir merah itu. Hebat, pikirku. Ternyata, seorang Ina memiliki kekuatan magis yang cukup sakti. Kalau begini ceritanya, aku akan semakin percaya diri untuk tinggal di rumah Mas Anwar. Hahaha! Sepertinya aku harus cepat-cepat mengirimi Mbak Rusmina uang agar mereka menyampaikan titip salamku ini kepada Mbah Legi. Ya, hitung-hitung supaya Mbah Legi tidak kapok menolongku terus-terusan. “Ayo, kita ke
116POV INA “Lho, Papa gimana, sih? Kok, malah jadi untuk peternakannya Bayu segala?!” Suara Nami akhirnya mencelat. Tercetus juga pertengkaran di antara mereka. Aku suka ini! Aku benar-benar akan menikmatinya! “Bukan gimana-gimana, Ma. Itu nanti kita urun rembuk lagi. Tunggu Bayu pulang. Nanti, setelah Bayu pulang, semuanya akan Papa bagi-bagi secara adil. Bagaimanapun juga, Bayu itu kan, pewaris sahnya Papa.” Muka Mas Anwar berubah semakin gelap. Terdengar nada yang agak-agak ragu pada bicaranya. Mas Anwar, memang selalu begitu. Penuh kebimbangan dan ketidakadilan. Syukur-syukur si Nalen sudah dipercaya untuk mengembangkan usaha kainnya. Coba kalau aku dan Lia dulu? Jangankan untuk ikut campur urusan bisnis, masalah uang saja bisa ribut ke mana-mana. Mas Anwar memang pecinta harta. Baginya, seluruh hasil kerja kerasnya tersebut kalau bisa dia saja yang menikmati sendiri. Tumben juga sekarang baru kepikiran untuk menyerahkan aset ini dan itu