BAGIAN 47
POV BAYU
Kamar sudah rapi. Aroma terapi dengan harum rose yang kucampur lavender sudah dinyalakan. Baju pun telah kutukar dengan kaus rumah berwarna hitam serta celana jins panjang.
Kupatut diri di depan cermin. Tampan. Untuk semakin menggoda Mbak Tika, sengaja kusemprotkan parfum mahal di leher serta pergelangan tangan. Sebenarnya, tanpa usah semaksimal ini pun, sudah bisa kupastikan bahwa Mbak Tika akan langsung jatuh ke pelukan. Yah, setidaknya memberikan perempuan tua itu kebahagiaanlah. Biar dia tak menyesal sebab telah datang ke rumahku.
Langit senja di luar sana telah tampak saga. Aku yang duduk menunggu di sofa ruang tamu, sengaja saja membuka pintu lebar-lebar. Kutepis sesaat rasa gelisah u
BAGIAN 48POV BAYU Dan hubungan terlarang itu pun terjadi di antara aku dengan Mbak Tika. Semua kulakukan tanpa membawa serta perasaan ke dalamnya. Hambar. Malah muak mendominasi isi pikiran dan jiwa. Terpaksa. Itulah yang selama kurang lebih setengah jam kurasa. “Makasih, Sayang,” lirih Mbak Tika dengan penuh mesra kepadaku. Perempuan yang ternyata sudah tak perawan meskipun belum pernah menikah tersebut tersenyum nakal padaku. Tubuhnya yang kini polos dan hanya ditutupi dengan selembar selimut itu sibuk ingin merangkulku. Cepat kutepis rangkulan itu. Aku yang masih berbaring menghadap ke arah Mbak Tika, kini memasang mimik dingin. Kutatap dia tajam. Sekarang, giliran aku yang meminta imbalan.
BAGIAN 49POV AUTHORPENGGERUDUKKAN Berjam-jam lamanya Dul Matin dan Karim yang dikirim oleh bos besarnya, Ilham, mondar-mandir bagai setrikaan. Mereka pantang pulang sebelum mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya mengenai target yang tengah dimata-matai. Target itu tak lain merupakan anak bos besar dari bos mereka. Meski belum berkesempatan untuk sangat akrab karena perbedaan kasta yang begitu jauh, tetapi kedua sahabat sejati itu tahu betul dengan bos Anwar. Kalau permintaannya tak segera dikerjakan, bisa-bisa pinjaman utang yang dia berikan pada Ilham macet. Itu artinya, gaji serta insentif Dul dan Karim bakal kena imbas juga. Mereka tak menginginkan hal tersebut. Jadi, lapar dan penat pun siap mereka hadapi, asal keduanya bisa memberikan informasi paling akurat mengenai Bayu, si
BAGIAN 50POV AUTHOR Dul dan Karim langsung naik ke atas motor. Keduanya menatap ke arah Maisara yang kini melesat dengan sepeda motornya, hingga punggung wanita bergamis hitam itu lenyap dari pandangan mata. Kini, tatapan Dul beralih ke rumah milik Bayu. Terlihat kondisi sangat sepi di sana. Juga gelap. Lampu teras dan ruang tamu masih belum juga dinyalakan. Mereka pun kini bertanya-tanya, sebenarnya ada apa di sana? “Dul, ayo lekas telepon bos Ilham,” ucap Karim menepuk pundak kawannya. Dul yang baru saja hendak memakai helm, mendadak menghentikan aktifitasnya. Menyangkutkan kembali helm hitam bulukan itu ke atas spion motor
BAGIAN 51POV AUTHORMAYAT, DARAH, DAN JERITAN “Pak, Bu, ini pasti salah paham,” ucap Karim buru-buru sambil berjalan cepat. Tanpa dipersilakan, pria dengan tinggi hanya 158 sentimeter dan berambut depan agak botak itu naik ke atas teras Pak Wardoyo. Ketua RT sekaligus pensiunan guru itu menatap si Karim dengan mata menyelidik. Apalagi Maisara. Janda 40 tahun tersebut segera jaga jarak karena masih ketakutan akan pikirannya sendiri tentang Dul dan Karim yang dia kira penjahat. “Siapa Anda?” tanya Bu Wardoyo yang berdiri di sebelah suaminya. Bahkan, mukena putih yang dia pakai belum sempat dicopot, saking terburu-buru sebab mendengarkan ketukan pintu oleh Maisara. “Saya Kar
BAGIAN 52POV AUTHOR“Siapa?!” terdengar suara jeritan dari dalam. Jeritan itu berasal dari seorang wanita. Namun, bagi Maisara yang sering mendengarkan suara Risti, tetangganya, suara itu beda sekali. Bukan seperti suara Risti yang dia kenal. “Siapa itu?” gumam Maisara heran. Bu Wardoyo yang sedang menggamit lengan Maisara pun sontak menoleh. “Bukan suara Risti?” tanya Bu Wardoyo penasaran. Maisara menggeleng. “Bukan! Sepertinya, itu yang punya mobil, deh,” ucap Maisara sambil menoleh ke arah mobil sedan hitam milik Tika. Ketika daun pintu terbuka, maka para lelaki pun
BAGIAN 53POV AUTHORINTEROGASIDi dalam ruang intergosi, sedang duduk berhadapan Ina dan seorang penyidik bernama Jaka. Sudah hampir dua jam mereka saling berhadap-hadapan, tetapi Ina masih saja bungkam ketika dipaksa untuk mengakui kesalahannya. “Jadi, masih tidak mau mengaku juga?!” Jaka Geram. Sejak sore hingga malam tiba pun, wanita di depannya tak juga mau membuka mulut. Bolak-balik dia keluar masuk ke ruangan berukuran 3 x 2,5 meter ini demi meredam jengkelnya. Namun, usaha Jaka tetap saja gagal. Polisi berusia 36 tahun itu masih belum bisa menaklukkan Ina. Ina tetap diam. Dia sudah berjanji untuk tak mau buka mulut. Sampai mati pun dia enggan mengakui jika opor buatannya sudah dibubuhi potassium sianida yang dia beli secara onli
BAGIAN 54POV ANWAR Pukul setengah dua pagi aku tiba bersama Andang, Dedi—sopir peternakan, dan pengacara kepercayaanku—Budiman. Mobil SUV silver metalik yang dikemudikan Dedi langsung berhenti di depan rumah sakit Bhayangkara, di mana jenazah Lia sedang diamankan. Empat jam perjalanan, sedikit pun mata tuaku tak bisa terpejam. Hatiku rasanya seperti diiris sembilu hari ini. Cobaan datang menerpa secara bertubi-tubi. Bisnisku kacau, istriku ketahuan memberikan racun ke dalam makananku, dan kini aku harus menghadapi kenyataan bahwa anak lelaki semata wayangku telah membunuh adik sambungnya sendiri. Belum lagi dengan misteri hilangnya Risti yang bagai ditelan oleh bumi. Menurut polisi setempat yang memeriksa Bayu, anakku belum juga mau memberikan keterangan. Sedangkan Tika yang katan
BAGIAN 55POV ANWAR “Adakah keluarga dari saudari Lia Utami Latuheru?” Sebuah suara tiba-tiba menyeruak. Berasal dari seorang pria dengan seragam serba hijau dan APD lengkap. Pria itu kini berdiri di ambang pintu seraya memegang kenop pintu dengan tangan kanan bersarung karet warna oranye. Aku langsung bangkit dari kursi tunggu di depan kamar jenazah. Kutatap lekat-lekat pria berkacamata goggle, masker medis, dan penutup kepala berwarna hijau tersebut. “Saya bapaknya,” kataku dengan penuh harap cemas. “Proses autopsi sudah selesai. Kami akan memandikan jenazahnya. Bisakah Bapak masuk ke dalam?” tanya pria itu dengan suara yang santun.