“Pria mesum, Sialan!” Kalimat pertama yang Hazel ucapkan, demi membalas ucapan gila Sergio. Dalam keadaan menahan rasa sakit di kakinya—tatapan mata Hazel menunjukkan rasa kesal akan kata-kata vulgar Sergio.Sergio tersenyum samar melihat kemarahan di wajah Hazel. “Butterfly, kau ini mudah sekali marah. Padahal aku hanya ingin membantu melepaskan bra dan celana dalammu saja. Setelah itu, aku akan membantumu memakai bathrobe.”Hazel memincingkan matanya, penuh dengan kecurigaan yang membara. “Bohong! Otakmu sering mesum!”Sergio tak mengindahkan ucapan Hazel. Pria itu menarik celana dalam Hazel—dan melempar ke sembarangan arah. Sontak, Hazel memekik terkejut akan tindakan Sergio. Tubuhnya sekarang benar-benar telanjang di depan pria itu. “Bajingan! Kau mencari kesempatan dalam kesempitan!” seru Hazel dengan napas memburu, penuh rasa kesal dan emosi. Sergio menatap ujung rambut sampai ujung kaki Hazel. Tatapan matanya tampak memuja dan penuh kekaguman. Kejantanannya sudah mengeras,
Sergio membiarkan Hazel tetap berada di Dubai. Pria itu terpaksa mengizinkan Hazel berada di Dubai. Sebab, Hazel sangat keras kepala tidak ingin kembali ke Bern. Berkali-kali Sergio sudah membujuk Hazel, tapi hasil yang didapatkan nihil.Hazel tidak mau kembali ke Bern dengan ribuan alasan konyol. Tak menampik sifatnya yang keras kepala ini, membuat semakin daya tarik Hazel semakin tinggi. Tingkah wanita itu lucu, dan menggemaskan di mata Sergio.Kaki Hazel yang terkilir kini sudah membaik. Tiga hari setelah kejadian kaki terkilir, Sergio langsung meminta dokter untuk memeriksakan keadaan Hazel. Hal tersebut yang membuat kaki Hazel berangsur-angsur membaik.Dalam beberapa hari ini, Sergio berada di hotel bersama Hazel. Aktivitas mereka tidak banyak. Sebab memang pria itu ingin Hazel segera pulih. Pun di luar masih belum bisa dipastikan keamanannya.“Sergio, aku bosan di kamar. Ayo kita jalan-jalan.” Kalimat ini terucap di bibir Hazel, di kala dia bosan terus menerus berada di dalam ka
Jalan-jalan di mall adalah kegiatan sederhana. Apalagi tanpa berbelanja. Hanya membeli makanan ringan. Itu saja. Tidak lebih, tapi tampaknya membuat Hazel sangat bahagia. Padahal tindakan yang dilakukan sangatlah sederhana.“Kau senang hari ini jalan-jalan?” Sergio menatap Hazel yang tampak riang.Hazel mengangguk antusias, dengan senyuman di wajahnya. “Ternyata di balik sifatmu yang menyebalkan, otakmu yang mesum, kau masih memiliki sifat sedikit baik.”Sergio tersenyum samar. “Kita kembali ke hotel sekarang. Ini sudah sore.”“Baiklah.” Hazel setuju, sambil memeluk lengan Sergio. Dia melangkah bersama dengan Sergio—menuju ke halaman parkir mall. Namun, di kala mereka hendak ingin pergi dari sana—langkah mereka terhenti melihat Benton berlari dengan wajah panik.“Tuan!” Benton berlari menghampiri Sergio, dengan napas terengah-engah.“Ada apa?” tanya Sergio seraya menatap lekat, penuh tuntutan agar Benton menjawab pertanyaannya.Benton panik. “Tuan, untung Anda dan Nona Hazel berada di
“Aw—” Hazel merintih kesakitan di kala didorong ke dalam sebuah ruangan oleh pria yang membawanya. Pria berkulit hitam itu kini keluar mengunci rapat pintu ruangan di mana Hazel disekap.“Hey! Lepaskan aku, Berengsek!” Hazel menahan sakit di bokong dan kakinya. Dia bangkit berdiri seraya menggedor-gedor pintu—meminta untuk dibukakan. Akan tetapi, hasil yang didapatkan adalah nihil.Hazel mengumpat dalam hati seraya mengembuskan napas panjang. Dia mengendarkan pandangannya—berusaha mencari celah untuk melarikan diri. Namun, sayang jendela di ruangan itu telah dipasang besi kokoh dan kuat. Tidak mungkin bisa Hazel melarikan diri. Hazel berusaha untuk tenang. Dia yakin bahwa pasti Sergio tidak akan mungkin tinggal diam, dirinya diculik. Pasti Sergio akan bertindak. Hal yang harus dilakukannya sekarang tetap berpikir positive. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Langkah kaki melangkah mendekat ke arah Hazel. Tampak seorang pria paruh baya dengan wajah khas timur tengah—menghampiri
Lampu remang-remang membuat ruangan di mana Hazel berada, tampak menyeramkan. Akan tetapi, sebisa mungkin Hazel berusaha untuk tenang—dan tidak takut berada di ruangan ini. Lukisan menyeramkan dan beberapa pajangan yang meninggalkan kesan seram—sempat membuat nyali Hazel menciut.Bohong rasanya jika Hazel baik-baik saja. Pasti ada rasa takut yang menyelimutinya. Dia memang bisa bela diri, tetapi lawan dari anak buah Abdul Kumar, tak bisa dipandang sebelah mata. Anak buah Abdul Kumar memiliki kelicikan tinggi.Tangan Hazel berkeringat dingin. Ruangan itu memiliki AC, tapi sayangnya rasa dingin yang keluar dari AC tidak terasa akibat kepanikan menyelimuti. Hati dan pikirannya hanya tertuju pada Sergio.Hazel tidak bisa benar-benar tenang. Dia memang yang diculik. Harusnya dia memikirkan kondisinya. Namun, faktanya dia jauh lebih takut. Kata-kata Abdul Kumar yang mengatakan di depan ada ranjau yang bisa saja menjebak Sergio—membuat kecemasan Hazel meningkat ribuan kali lipat.“Sergio, ak
Tubuh Sergio membeku di kala mendengar suara pistol. Dia tak merasakan sakit apa pun di punggungnya. Tatapannya kini menatap nanar darah yang mulai menetes ke lantai. Aura wajahnya menyeramkan layaknya singa hutan yang akan murka.“S-Sergio.” Tubuh Hazel lemah, nyaris tumbang—refleks Sergio segera menangkap tubuh Hazel. Sorot mata pria tampan itu terhunus tajam menatap lengan Hazel yang mengeluarkan banyak darah.Sergio sigap mengambil sapu tangan dari balik jaketnya, dan menekan luka tembak di lengan Hazel. “Kenapa kau melakukan semua ini, Hazel!” geramnya dengan emosi tertahan.Hazel tersenyum lemah seraya menyentuh tangan Sergio. “Aku tidak suka melihatmu terluka, Sergio. Jangan khawatir, a-aku tidak apa-apa. L-luka ini tidak akan membuatku mati.”Kilat mata Sergio menggelap, melihat darah Hazel terus menetes. Kemarahan dan emosi layaknya api yang sedang membakar Sergio Blanco. Terdengar suara tawa dari Abdul Kumar. Tawa renyah yang seolah menunjukkan ledekan puas.“Hazel Afford. R
Sergio berada di depan ruang pemeriksaan Hazel, dengan raut wajah gelisah. Beberapa kali dia mengembuskan napas kasar, dan memejamkan mata singkat. Hal yang dia benci adalah Hazel mengorbankan diri, agar dirinya tidak terluka. “Ck! Kenapa kerja dokter di sini lama sekali?!” seru Sergio tidak sabar.Sergio ingin berada di dalam, tapi sayangnya perawat tak memberikan izin. Peluru bersarang di lengan Hazel. Pastinya dokter melakukan tindakan operasi untuk mengambil peluru yang bersarang di tubuh wanita itu.Sergio sudah terbiasa terkena peluru di tubuhnya. Namun, berbeda dengan Hazel. Dia yakin seribu persen, Hazel belum pernah terkena luka tembak. Bisa saja respon tubuh Hazel akan sangat parah akibat peluru.“Shit!” Sergio mengusap wajahnya kasar, di kala rasa panik dan khawatir menyerang dirinya. Dia sulit untuk tenang. Sialnya, dia tak boleh masuk ke dalam. Jika saja, dia mendampingi Hazel, maka pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang.“Tuan…” Benton melangkah menghampiri Sergio. Se
Hazel tidak betah berada di rumah sakit. Luka masih belum kering, tapi dia sudah merengek meminta untuk keluar dari rumah sakit. Lebih tepatnya, dia tak suka makanan rumah sakit yang berbau hambar tidak ada rasa. Wanita cantik itu bersikukuh ingin ke luar dari rumah sakit, meski sebenarnya belum diperbolehkan. Tak lagi terhitung berapa kali perdebatan Hazel dengan Sergio, akibat sifat keras kepalanya. Hazel bersikukuh ingin ke luar dari rumah sakit, tapi Sergio tak mengizinkan karena kondisi Hazel belum sepenuhnya pulih.“Sergio, aku ingin pulang sekarang.” Hazel kembali merengek, meminta pulang.“Hazel, kau kan tahu—”“Tuan!” Benton menerobos masuk ke dalam ruang rawat Hazel. Tampak jelas kepanikan di wajah Benton.“Ada apa, Benton?! Kenapa kau berlari seperti itu?!” seru Sergio seraya menatap Benton yang berlari mengejarnya.Hazel ikut menatap Benton yang tampak panik. “Benton, apa ada masalah?” Benton gelisah dan cemas. “Tuan Sergio, Anda harus segera meninggalkan Dubai. Ada bebe