New York, USA. Arthur duduk di kursi kebesarannya dengan raut wajah yang menyimpan jutaan pikiran berat. Tiga putranya baru saja berangkat ke Bern bersama dengan para pengawal. Mereka memiliki tujuan penting yaitu menemukan Hazel—putri bungsunya yang hilang bagaikan ditelan ombak.Arthur mendapatkan ancaman yang tidaklah main-main. Pria paruh baya itu tidak akan mungkin hanya diam di kala mendapatkan sebuah ancaman. Akan ada yang menyakiti salah satu anaknya. Detik itu juga, otak Arthur berpikir incaran musuhnya adalah Hazel. Tidak mungkin musuhnya mengincar tiga putranya.Justin, Nathan, dan Joseph sangat tangguh. Musuh tak mungkin mengincar salah satu putranya. Target musuhnya pastilah Hazel. Tadinya Arthur ingin turun tangan dalam mencari Hazel, tetapi tiga putranya melarang. Tiga putranya yang akan turun tangan dalam pencarian Hazel.“Sayang, minum dulu tehmu. Aku sudah membuatkan teh untukmu.” Bianca menghampiri Arthur, memberikan minuman yang sudah dia buat untuk sang suami.Ar
Athena mengeluarkan ponselnya, hendak menghubungi nomor pengawalnya, tapi tiba-tiba saja tatapan Athena dan Aubree teralih pada satu mobil hitam yang berhenti di dekatnya. Mereka tahu bahwa itu bukanlah mobil pengawal mereka. Detik itu juga Athena dan Aubree melangkah mundur menjauh. Mereka saling menatap sau sama lain, tatapan bingung bercampur dengan cemas.“Nyonya Afford.” Dua orang pria berperawakan tinggi besar menghampiri Athena dan Aubree.“Siapa kalian?” Athena lebih dulu memberikan teguran keras.Aubree gemetar ketakutan, tapi dia segera menekan angka satu agar menyambung khusus ke nomor Nathan. Sayangnya, panggilan pada Nathan tak tersambung. Debar jantung Aubree semakin berpacu, tapi dia tetap berusaha tenang.“Bos kami menginginkan Anda untuk ikut bersama kami.” Dua pria itu tersenyum miring.“Siapa bos kalian! Jangan macam-macam!” bentak Aubree mulai memberanikan diri, meski tangannya gemetar.“Nanti kalian akan tahu.” Dua pria bertubuh tinggi tegap, hendak ingin mendekat
Sergio melangkah masuk ke dalam apartemennya, dan menuju ke kamar. Di apartemennya yang jauh dari pusat kota ini, dia tidak memiliki pelayan yang menetap tinggal. Pelayannya hanya sampai di jam delapan malam. Alasannya, karena memang Sergio tidak suka apartemen sederahananya ini ditinggali banyak orang.Waktu menunjukkan pukul satu malam. Sergio yakin bahwa pasti Hazel sudah tidur lelap. Setibanya di kamar, apa yang menjadi dugaannya benar. Hazel sudah tertidur pulas layaknya bayi yang tidak bisa diganggu.Sergio duduk di tepi ranjang, membelai lembut pipi Hazel. Dia mengecupi pipi sang kekasih, lalu perlahan-lahan Hazel mengerjapkan mata. Wanita itu terbangun dari tidurnya akibat merasakan sentuhan di pipi.“Sergio?” Hazel semeringah melihat Sergio ada di hadapannya.“Maaf membangunkanmu.” Sergio membelai pipi Hazel lembut. Hazel menggelengkan kepalanya. “Aku sudah tidak lagi mengantuk. Kau pulang larut malam sekali.” Dia melirik jam dinding—waktu sudah menunjukkan pukul satu.“Ya,
Object pertama kali yang Hazel lihat di kala membuka mata adalah Sergio tengah memeluknya. Object yang sangat indah. Hazel tidak pernah menyangka akan jatuh cinta sedalam ini pada sosok Sergio Blanco—pria yang memesona di matanya.Seumur hidup, Hazel belum pernah jatuh cinta. Hidup Hazel selama ini hanya di kelilingi para pengawal, keluarga, dan tenang. Banyak pria yang menggilainya, tapi belum pernah ada satu pun pria yang berhasil membuat hati Hazel bergetar.Hanya Sergio Blanco. Jawaban dari segala doa yang dia inginkan ada pada Sergio. Ini memang sudah gila. Banyak mungkin orang yang takut pada Sergio, tapi sayangnya tidak dengan Hazel. Wanita itu malah tidak memiliki sedikit pun rasa takut.Hazel tahu bahwa pekerjaan Sergio sangatlah berbahaya. Namun, tadi malam Sergio telah menjawab bahwa pria itu akan berhenti. Sang pujaan hati akan membunuh jika sampai ada yang melukainya. Itu adalah bentuk ungkapan dari Sergio hanya fokus melindungi dirinya.Hazel tergila-gila pada sosok Serg
“Kau—” Joseph hendak ingin menghajar Sergio. Kepingan memorinya teringat bagaimana dulu dia berkelahi hebat dengan pria sialan itu. Namun, di kala Joseph hendak ingin maju menghajar—geraknya terhenti di kala Justin dan Nathan menahan Joseph.“Kendalikan dirimu, Joseph!” tegur Justin tegas pada sang adik. “Jika kau memukulnya, semua akan kacau. Jangan bertindak lebih dulu,” tukas Nathan memberikan peringatan yang tak main-main.Joseph mengumpat dalam hati mendengar peringatan dari kakaknya. Padahal tangannya sudah gatal ingin menghajar Sergio. Dia yakin seribu persen pasti Hazel disembunyikan oleh Sergio Blanco.Sergio tersenyum samar melihat kemarahan Joseph. “Relaks, kenapa kalian terlihat membenciku? Apakah aku melakukan kesalahan? Sepertinya tidak.”Sebelumnya Sergio sudah mendapatkan informasi dari Benton bahwa Justin, Nathan, dan Joseph datang ke klub malam miliknya. Tiga pria hebat yang merupakan kakak kandung Hazel, tak disangka mendatanginya secara bersamaan. “Aku tahu Haze
“Kau pikir kau siapa, hah! Jangan mimpi kau menjadi kekasih saudari kembarku!” Joseph begitu lantang mengatakan itu. Tatapannya menatap tajam penuh emosi pada Sergio yang mengaku-aku sebagai kekasih saudari kembarnya.“Jangan main-main dengan kami. Kau tidak mengenal kami dengan baik,” tukas Justin memberikan ancaman penuh amarah.Joseph dan Justin sudah dilingkupi kemarahan. Sama halnya dengan Nathan. Namun, Nathan berusaha menguasai kemarahannya di kala mendengar fakta tentang Sergio dan Hazel merupakan sepasang kekasih. Pun selama ini Justin, Nathan, ataupun Joseph, tidak pernah ada yang tahu tentang kisah cinta Hazel.“Apa aku terlihat seperti orang yang sedang main-main?” balas Sergio dingin dan menegaskan.Justin tersenyum sinis. “Pekerjaanmu pembunuh bayaran, kan? Mana mungkin iblis sepertimu layak untuk adikku yang sempurna.”Sergio mengangguk tanpa sama sekali mengelak. “Kau benar. Iblis sepertiku tidak layak untuk adikmu yang sempurna. Tapi fakta yang ada, aku selalu ingin d
Sergio menatap penuh emosi apartemennya yang berantakan. Aura kemarahan di wajahnya terlihat jelas. Berbagai umpatan dan makian lolos di bibirnya. Dalam hati, dia mengumpati dirinya yang bodoh. Dia pikir apartemen miliknya yang jauh di pusat kota aman, tapi ternyata tidak sama sekali. Trevor Engelson sudah bertindak cepat melebihi dirinya.Suara lari yang bersumber dari tiga kakak laki-laki Hazel, membuat Sergio mengalihkan pandangannya—menatap Justin, Nathan, dan Joseph. Dia sudah menduga pastinya tiga kakak laki-laki Hazel akan mengikuti dirinya.Justin, Nathan, dan Joseph terdiam di balik matanya yang terkejut, melihat apartemen yang mereka datangi sangat berantakan. Tiga pria tampan itu sudah menduga apa yang telah terjadi.“Jadi kau menyembunyikan saudara kembarku di sini?!” seru Joseph nyaris menghajar Sergio. Jika bukan karena Justin dan Nathan yang menahan, maka sudah pasti Joseph akan benar-benar menghajar Sergio.“Joseph, tahan. Kendalikan dirimu. Fokus kita pada Hazel,” teg
Hazel menatap panik dengan tangan terikatnya melihat Sergio dan tiga kakaknya diserang oleh anak buah pria tua yang menculiknya. Raut wajah Hazel jelas begitu menegang dan penuh keterkejutan bercampur kepanikan.Hazel menatap pria tua yang menculiknya masih tersungkur di tanah. Luka tembak yang diberikan Sergio, membuat pria tua itu merintih kesakitan. Hazel berusaha menyingkir dari tepi gedung—di mana dirinya berada.Jantung Hazel berdebar tak karuan seakan ingin melompat dari tempatnya. Dia sama sekali tidak mengira Sergio datang. Pria tua itu mengatakan jelas bahwa telah membayar Sergio untuk membunuhnya. Namun kenapa malah Sergio datang menyelamatkannya? Tidak! Hazel tidak mau terperdaya. Sergio sudah banyak membohongi dirinya. Dia tidak ingin tertipu lagi.DorrrSuara Hazel memekik terkejut di kala Joseph menembak kepala anak buah pria tua itu. Aroma anyir darah menyerbak memenuhi tempat itu. Beberapa kali Hazel menelan salivanya susah payah.Justin, Nathan, dan Joseph dikepung d