"Apakah kamu menerima pinanganku, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat. Masih sambil mendekap tubuh Dewi Rukmini dengan erat. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang, Kangmas. Aku harus membicarakannya terlebih dahulu dengan romoku." Kali ini Dewi Rukmini menarik tubuhnya. Menunduk sembari memainkan pasir putih di kakinya. Sesungguhnya Dewi Rukmini bukan hendak menunggu persetujuan Sang Ayah, Prabu Arya Pamenang. Karena Sang Prabu pasti akan menerima Pangeran Gagat. Tapi hatinya sendirilah yang sedang dia tunggu persetujuannya. Dia membutuhkan waktu untuk berpikir dan memilih. "Aku sudah berbicara dengan Gusti Prabu Arya Pamenang. Saat tempo hari mengirimkan hantaran desa Kedawung ke sana. Sang Prabu malah akan bersiap mengadakan pesat besar untuk pernikahan kita nanti." Pangeran Gagat berkata sambil tersenyum. Pasti hal itu sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Dewi Rukmini. "Hah? Mengapa Kangmas tidak berembug dulu dengan saya?" tanya Dewi Rukmini kaget. Tak
Sambutan yang diberikan oleh warg desa Segoro Biru sangat luar biasa. Seluruh warga berkumpul di pintu masuk desa sembari membawa sebuah mangkok gerabah yang berisi bunga-bungaan. Yang ditaburkan ke arah Pangeran Gagat, Dewi Rukmini, dan Bejo. Ki Lurah Rekso berada di tengah-tengah warganya dengan mengenakan pakaian resmi. Dewi Rukmini menggeleng-gelengkan kepala. "Ini terlalu berlebihan, Ki Lurah. Kami hanya tamu biasa yang sekedar singgah." Dewi Rukmini menerima sekuntum bunga melati yang diulurkan oleh seorang warga perempuan. Disematkannya kuntum melati itu di daun telinga kanan. "Apa yang kami lakukan ini tidak akan sebanding dengan berkah yang bakal kami dapatkan jika kaki-kaki panjenengan telah menginjak desa kami," ujar Ki Lurah Rekso. "Mari singgah ke rumah saya, Gusti Pangeran, Gusti Ratu, dan Ki Bejo." Ki Lurah Rekso mempersilakan ketiga tamunya itu untuk mengikuti langkahnya. Ternyata rumah Ki Lurah Rekso tidak jauh dari pintu gerba
Ki Lurah terdiam sesaat sembari melihat-lihat batu hijau itu. Lantas pandangannya menerawang. "Waktu hujan keras dan angin badai itu, terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Ombak yang sangat besar datang hampir mencapai desa kami. Ada dua rumah paling belakang yang tergulung oleh ombak itu. Semua warga panik. Sekuat tenaga saya berusaha menenangkan mereka." Ki Lurah menunduk dalam-dalam. Masih tetap dengan memutar-mutar batu hijau itu. "Bolehkah saya melihat batu itu, Ki Lurah?" tanya Dewi Rukmini. Ki Lurah Rekso mengangguk, dan mengulurkan batu hiju itu pada Sang Ratu. "Berapa lama ombak besar itu datang?" tanya Pangeran Gagat. Matanya tak lekat menatap wajah Ki Lurah Rekso. "Tidak lama, Gusti Pangeran. Hanya terdengar beberapa saat. Tapi tak lama setelah bunyi ombak itu menghilang, ada kereta kencana memasuki jalan desa kami. Warna keretanya keemasan berkilau sangat terang. Di dalamnya terdapat seorang ratu yang sangat ayu. Saya melihatnya sekilas m
Dewi Rukmini menari dengan begitu gemulai. Tarian itu hasil olah ciptanya sendiri, di mana setiap gerakannya dia sesuaikan dengan tempo dan irama dari musik gamelan yang berada di belakangnya. Terkadang gerakannya begitu cepat, melompat ke sana kemari, tapi terladang juga begitu pelan dan bergerak dengan beringsut perlahan. Para warga yang tengah membuat hiasan sesaji untuk dilarung esok hari, tak bisa lagi memusatkan perhatian pada kesibukannya. Karena mata mereka seluruhnya tertuju pada setiap gerakan tarian yang dilakukan Dewi Rukmini. "Gusti Ratu memang luar biasa. Pandai menyesuaikan gerak dengan musik. Di sini belum ada penari yang bisa melakukan gerakan mandiri seperti itu. Andaikan Gusti Ratu berkenan bertahan beberapa waktu lagi di desa kami, akan saya minta bantuannya untuk mengajari menari para gadis di desa kami. Agar kesenian daerah seperti ini tidak pupus oleh waktu dan masa." Ki Lurah Rekso berujar dengan pandangan mata yang tak lepas dari geraka
Kabut masih tebal menggayut saat kuda-kuda milik Pangeran Gagat, Dewi Rukmini, dan Bejo menderap memecah hening di pagi buta itu. Tak ada kata yang terucap, karena waktu yang harus diburu cepat. Perjalanan mereka yang semula hendak singgah di desa Tasik Anyar, akhirnya terlewati karena telah meluangkan waktu singgah di desa Segoro Biru. Dan perjalanan mereka masih diliputi oleh aroma air laut yang berbau menyengat dan iringan debur ombak yang sesekali terdengar menghentak keras. Membentur karang hitam yang tersebar di tepian pantai. Hingga tengah hari, ketiga insan itu masih tetap duduk di atas kuda tunggangannya masing-masing. Nafas mereka mulai terdengar keras. Terengah-engah karena panas yang mulai menerik menggigit kulit. Dewi Rukmini yang berada di posisi paling depan saat itu, mengangkat tangan dan memperlambat laju kuda Jalu, dengan menarik tali kekangnya kuat-kuat. "Ada apa, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat yang kini berada di samping Dewi Rukmin
Menjelang petang. Pangeran Gagat, Dewi Rukmini, dan Bejo telah sampai di pintu masuk desa Karangkitri. Desa yang sangat luas dengan lahan pertanian yang sangat subur. Lokasinya berada di kaki bukit, sedikit menanjak hampir memasuki wilayah lereng. Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara orang-orang yang tengah berlatih ilmu kanuragan. Suara teriakan dan hentakan kaki begitu ramai terdengar. Tiba-tiba Dewi Rukmini berhenti. Ada rasa gamang ketika hendak melanjutkan langkah. Terlihat perguruan yang dipimpin oleh Ki Guru Saloka ini sangat besar dan begitu berpengaruh. "Kenapa berhenti, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat. Tangannya memegang tali kendali kuda Jalu, dan menuntunnya agar maju. Meski perlahan. "Apakah saya pantas menjadi murid di sini?" tanya Dewi Rukmini ragu-ragu. Pangeran Gagat tertawa lepas. "Setiap orang pantas menjadi nurid di sini. Karena setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kesempatan belajar. Ayo, Nimas Ayu.
"Sudah lama aku tidak melihatmu, Nimas Ayu," sapa Pangeran Gagat sore itu, ketika melihat Dewi Rukmini sendirian berlatih di atas sebuah batu besar, di samping air terjun. Dewi Rukmini hanya menoleh sekilas, tapi tidak menjawab sepatah katapun. Dia tetap meneruskan latihannya tanpa mengindahkan kehadiran dan pertanyaan Pangeran Gagat. Dahi Pangeran Gagat seketika membentuk kerutan-kerutan dalam. Dia paham bahwa Dewi Rukmini tengah menyimpan amarah dalam hatinya, tapi Pangeran Gagat tidak mengetahui penyebabnya. Sebulan berada di padepokan Songgo Langit, membuat banyak perubahan dalam diri Dewi Rukmini. Dia menjadi jauh lebih pendiam. Bahkan terhadap Ki Guru Saloka pun, dia tidak banyak bicara. Hanya mengeluarkan suara jika Sang Guru bertanya. Dan hal ini dikeluhkan Ki Guru Saloka pada Pangeran Gagat. Karena komunikasi batin dengan Dewi Rukmini menjadi sangat terhambat. "Gusti Ratu mengalami banyak kemajuan dalam latihannya. Dia memiliki kemampuan yang l
Dewi Rukmini tersenyum masam. Dia tidak segera menjawab pertanyaan Ki Guru Saloka. Putri ayu itu membutuhkan waktu beberapa menit sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawabnya secara diplomatis. "Tidak ada yang perlu saya pertimbangkan dan tidak perlu ada yang haeus saya putuskan, Ki Guru. Biarkan angin yang akan mengantarkan jalan hidup saya." Dewi Rukmini menjawab lirih. "Apakah tidak ada sedikit pun keinginan dalam hatimu untuk melawan keadaan?" Ki Guru Saloka menatap lekat wajah murid istimewanya itu. Dewi Rukmini menggelengkan kepala. "Tidak, Ki Guru. Saya telah terdidik menjadi pribadi yang tuhu. Bekti pada setiap tatanan yang sudah diatur oleh istana. Saya tidak boleh melawan tatanan, karena nanti akan mengakibatkan kehidupan pemerintahan menjadi carut marut. Akan mengakibatkan kesengsaraan buat rakyat," jawab Dewi Rukmini pelan. Ki Guru Saloka mengambil tempat di depan Dewi Rukmini. Duduk bersila menghadap ke barat. Diikuti pula oleh Dewi Rukmin