Reihan sedari tadi telah bangkit untuk mandi. Kepuasan telah meraup hasrat nafsunya. Sementara Mawar masih terlentang dengan perih yang menjalar di selangkangannya. Lima menit kemudian dia bangun mengambil handuk untuk membalut tubuhnya yang tak berhelai satu benang pun. Bercak darah tercecer di atas kasur. Perut Mawar seketika itu mual-mual. Dia pun langsung lari ke kamar mandi, usai Reihan keluar.
'Hoeeeekkkk..... hoeeekkk...' suara muntahan Mawar terdengar oleh gendang telinga Reihan. Tanpa menunggu persetujuan Mawar untuk masuk ke dalam kamar mandi, dia pun mendobrak pintu kamar mandinya yang kebetulan tidak dikunci dari dalam.
"Kamu hamil?" tebak Reihan dengan wajah pucat pasi. Kali ini Reihan tak terfokus tentang masalah kuliahnya yang tinggal sepuluh menit lagi. Jika dia tidak segera berangkat, terlambat adalah pilihan dan hukuman dosen akan menjadi sebuah resiko untuknya hari ini.
Mawar diam tak memberi balasan. Dia mematika
Usai membayar bakso yang mereka lahap. Dewa langsung mengajak Refan untuk beranjak. Dewa telah tahu siapa Refan yang sebenarnya dan berapa jumlah biaya sekolahnya yang belum terbayar. Uang untuk membayar gedungnya dua koma lima juta, daftar ulangnya satu juta, pembayaran LKSnya delapan puluh ribu. Dewa sempat mengerutkan dahinya. Uang segitu baginya lumayan tebal di saku. Bukan masalah dia kaya atau tidak, namun karena sekarang yang di kantongnya cuma tertinggal uang seratus ribu, itu saja sudah dikurangi untuk membayar bakso dan minuman mereka. Minta orangtua, pastinya tidak mungkin. Nyonya Finda yang pelit itu malah akan memarahi Dewa, kalau tahu uang sebanyak itu diberikan kepada anak jalanan secara cuma-cuma. Dan tentang kakaknya, Mawar. Itu tentunya bukan Mawar pelacur yang pernah dia jumpai, karena kata Refan kakaknya itu berjilbab, tutur katanya lembut, sementara Mawar pelacur itu kan tidak."Kamu ikut aku dulu ya? Nanti aku bayarin uang sekolahmu dan aku a
Di mana dermaga kebahagiaan untuk anak jalanan. Tetes demi tetes airmata selalu tertuang pedih. Dikata roda kehidupan itu berputar, kadang di atas kadang di bawah. Di mana buktinya? Kenyataannya anak jalanan selalu saja tersiksa dengan rasa lapar atau pun kedinginan. Terus setiap detik tak berjeda. Indahnya mereka hanya saat bintang bertebaran. Kala gelap menjemput, mereka akan mematri langit dan memohon doa saat dikira ada bintang yang jatuh. Permohonan mereka pun pasti akan sama, Tuhan berikanlah kami tempat tidur yang nyaman, makan yang lezat, serta pendidikan yang layak. Setiap malam tak pernah lelah berharap. Meskipun mereka sendiri tahu, harapan itu tak akan pernah mereka petik. Lantaran intan permata mungkin bukanlah miliknya.Jarum infus telah mengurangi penderitaan sakit Enggar. Begitu juga dengan selang oksigen yang kini terpasang di hidungnya. Enggar terkena typus. Saat ini keadaannya masih memburuk dan membutuhkan banyak istirahat. Dewa dan Refan menun
Pintu kontrakan terbuka dengan kasar. Seorang pemuda masuk dengan langkah terburu-buru. Rasa khawatir menjalar sanubarinya. Takut hal buruk menimpa Mawar, gadis cantik yang dianggapnya berhati mutiara."Mawaaarrr!!" jeritnya lantang seiring membuka pintu kamar Reihan dengan kasar.Didapati Mawar yang sedang menangis bersandarkan tembok. Tangannya melingkar di lututnya, bahunya berguncang hebat. Isakan dan sesenggukan saling beradu."Mawar," Zafan menghampirinya. Dia peluk tubuh Mawar yang lesu."Mawar, kamu kenapa? Apa yang dilakukan oleh Reihan kepadamu?" tanya Zafan sambil mengelus ubun kepalanya."Zafan," desis Mawar sambil menatap paras Zafan. Ada kekhawatiran di sana."Iya Mawar, ada apa?" ucap Zafan sambil menyeka airmata Mawar dengan jemarinya."Ak... ak... aku," Mawar berhenti sejenak. Serasa tak kuat untuk mengatakan hal pahit yang kini menimpanya.
Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Uang yang dikumpulkan Ovan dan Agus telah membukit. Kini mereka bisa menebus lima bungkus nasi dengan recehannya yang terkumpul. Senyum pun mengembang di raut wajah mereka. Sebentar lagi mereka akan berpesta pora. Kebahagiaan sederhana segera terpancar bersaksi bisu lembaran kardus yang lusuh bermandikan rinai hujan kemarin.Setelah membeli lima bungkus nasi, Ovan dan Agus pun langsung kembali pulang. Laju dituntun dengan semangat yang membara. Senja itu merangkak, menjejakkan keindahan dalam kitab langit nan terbentang kebiruan lautnya. Ada emas di ufuk Barat. Sunset telah menguap lebar, sebentar lagi bintang akan meminang malam. Lengkung janur rembulan pun akan bersiul di lembaran waktu. Gelap, akan menguasai jagad. Namun rengkuhan senyum anak jalanan tetap mengembang, walau hanya saat senja berkedip."Cacaaaa... Kak Ovan sudah dapatkan makan!" seru Ovan menghampiri Caca yang tengah melamun menatap arus
"Den! Kita harus ke rumah sakit, Dewa dirawat di rumah sakit," messege received to Dendi."Maksud lo? Dewa sakit atau bagaimana?""Iya, tadi aku sms dia. Aku bilang aku mau ke rumahnya jam empat sore. Dia balasnya nggak bisa begitu karena dia sedang di rumah sakit,""Loh kok gitu? Sahabat kita yang satu ini bagaimana nasibnya! Wah... wah pasti gara-gara kebanyakan main sama anak jalanan nih,""Aduh! Itu pikirkan belakang, yang penting sekarang kita harus cari dia di rumah sakit mana. Ayo kita ke rumahnya semoga saja ibunya ada di rumah. Masalahnya sewaktu tadi aku tanya ada di rumah sakit mana, dia tidak balas.""Tunggu sebentar, sepuluh menit lagi aku tiba di rumahmu," sms terakhir Dendi.Benak Chika dihuni rasa cemas yang sangat menghantui. Gundah kini seutuhnya menjadi miliknya. Dia duduk di ruang tamu, menanti kedatangan sahabatnya Dendi. Sepuluh menit serasa satu tahun baginya. Lama sekali
Nyonya Finda membukakan pintu rumah. Tatapannya tercengang heran. Bingung akan tamu yang datang. Wajah mereka dirasa asing dalam pandangan beliau. Benaknya pun membesit pertanyaan siapa dan untuk apa. Jelaslah! Selama ini yang tahu rumah Dewa hanya Dendi dan Chika tak ada yang lain. Selama ini Dewa selalu berusaha keras untuk menyembunyikan jati diri keluarganya, dengan alasan dia malu karena mempunyai orangtua yang kaya raya. Bukan hanya itu, tapi juga karena Nyonya Finda sibuk mengurusi bisnisnya. Dewa iri sekali dengan keluarga teman-temannya yang selalu bisa berkumpul dengan keceriaan walau harta pas-pasan. Ketakjuban hidup sederhana adalah sebuah cerita kehidupan Dewa yang tersembunyi."Malam Bu," sapa Ogi dengan senyuman madu."Malam, maaf kalian siapa ya?""E... e... kami temannya Dewa Bu, Dewanya ada?" sambung Rivani memecah keheningan beberapa saat."Teman sekolah maksud kalian?" tebak Nyonya Finda.
Dewa menarik napas lega. Sepeda motornya telah laku terjual. Kini uang yang tertimbun di kantongnya telah cukup untuk digunakan membayar administrasi Enggar dan Refan. Lima belas juta, delapan juta untuk Enggar, tiga juta enamratus untuk Refan, sisanya bisa dia pegang untuk sementara waktu. Dia merasa telah mencuri harta ibundanya, tapi mau bagaimana lagi kalau tidak dengan itu, lalu apalagi? Semua itu dilakukannya lantaran keterpaksaan yang amat mendesak. Hatinya akan terluka jika penderitaan anak jalanan tak teratasi.Dia kembali ke rumah sakit dengan naik ojek sepeda motor. Di tengah perjalanan hapenya berdering. Dia tak sempat melirik siapa yang menelpon, nantilah kalau sudah sampai di rumah sakit baru akan diangkatnya jika itu penting pasti yang memanggil akan menelpon ulang. Jarak rumah sakit dengan tempat dia menjual motornya tidak terlalu jauh. Lima menit lagi akan sampai.Dewa tadi sempat membelikan roti tawar dengan selainya untuk Engg
Malam ini dirasa amatlah panjang untuk pemuda bermata telanjang itu. Suasana diskotik memang ramai penuh aksi. Tubuh para pemuda saling senggol-menyenggol bermainkan melodi. Sair pun mengiringi lirik lagu sejati. Namun dia... duduk termenung menatap sebotol wisky yang tinggal setengah. Retinanya kosong memandang dengan tatapan menerawang. Kejadian tadi pagi betul-betul memukul palung jiwanya. Sosok Mawar kini bukan lagi bidadari telanjang melainkan hantu bajingan. Begitulah dia memaknai kehadiran gadis yang baru menginjak usia delapan belas tahun itu. Penyesalan berkecamuk di dalam dada. Ingin marah namun kepada siapa? Waktulah yang selayaknya pantas untuk disalahkan? Tidak! Nafsunya yang terlalu haus itulah yang pantas ditindaki kejahatan. Dan tentang kata penyesalan tak layak lagi untuk diungkapkan."Kenapa muka lo lecek banget, Reihan?" tanya Anisa wanita pendampingnya malam ini. Gemerlap lampu disko memantul ke celah-celah tubuhnya yang menawan. Tang-top pink