Part 7
"Sayang, Mas berangkat kerja dulu. Jaga diri kamu baik-baik di rumah. Nanti, kalau ada apa-apa dengan kandunganmu, langsung hubungi nomor ponsel Mas, ya, Sayang," ucap Malik pada istrinya."Iya, Mas. Jangan lupa nanti roti paratanya langsung dimakan kalau Mas sudah sampai di rumah sakit." "Siaap, Sayang ...."Sebelum pergi, Malik mencium kening istrinya dengan lembut. "Assalamu'alaikum, Sayang ....""Wa 'alaikumus-salam. Hati-hati, Mas ...."Perlahan Pajero hitam itu meluncur meninggalkan pelataran rumah Madina. Malik mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia merasa sangat bersalah pada sang istri karena ini adalah pertama kalinya dia berdusta pada teman hidupnya tersebut.Pria itu tampak menghela napasnya pelan. "Maafkan Mas, Madina. Percayalah, rasa cinta yang Mas miliki di dalam hati hanyalah untukmu seorang, Madina."Setibanya di halaman rumah sakit, dokter spesialis bedah itu memarkirkan kendaraan roda empatnya di tempat parkir khusus untuk para dokter yang bekerja di Rumah Sakit Medika Permata. Malik mengayunkan kedua kaki panjangnya melewati lorong-lorong yang ada di rumah sakit menuju ke ruangan kerjanya. "Selamat pagi, Dokter Malik," sapa salah satu perawat yang bekerja di rumah sakit tersebut."Pagi juga, Sus ....""Dok, di ruangan kerja Dokter ada Dokter Jihan. Dia sudah menunggu kedatangan Dokter Malik sejak pukul sembilan pagi," tutur suster tersebut santun pada dokter tampan di depannya."Dokter Jihan? Ya, sudah, Sus. Terima kasih," balas Malik ramah. Dia memang terkenal sebagai sosok dokter bedah yang sangat ramah dan juga baik kepada siapa pun yang dia jumpai."Sama-sama, Dok. Saya duluan, Dok," pamit suster tersebut."Silakan, Sus."Malik kembali mengayunkan kedua kaki panjangnya. Setelah tiba di depan ruang pribadinya, Malik berusaha mengendalikan perasaan aneh yang akhir-akhir ini cukup mengganggu kerja jantung di dalam dada. Di dalam sana, tepatnya di ruangan kerja miliknya, sudah ada wanita bersurai kecokelatan dan bergelombang sangat indah tengah menunggunya, wanita yang berprofesi sama seperti Malik.Jihan sendiri masih belum menyadari bahwa seseorang yang sedang dia tunggu sudah berdiri tepat di belakangnya. Dokter wanita yang mempunyai paras sempurna itu masih setia menunduk seraya mengelus sebuah bingkai foto yang berada di tangannya."Assalamu’alaikum," ucap Malik."Wa ‘alaikumus-salam, Mas. Maaf, kalau aku sudah lancang masuk ke ruangan kerjamu. Harusnya aku izin terlebih dahulu pada Mas Malik," jawab Jihan gugup. Dia sibuk mengendalikan degup jantungnya yang berubah cepat setiap kali berada di dekat pria yang selalu terlihat menawan. Aroma parfum yang menguar dari tubuh atletik pria itu terasa sangat memabukkan di indra penciuman Jihan."Dimaafkan. Kenapa kamu sudah kembali masuk bekerja, Jihan? Kalau masih sakit, sebaiknya kamu ambil cuti saja, Ji," tutur Malik pada wanita yang selalu terlihat memesona, meski dalam keadaan tidak sehat. Ada nada khawatir yang tersirat di dalam nada bicaranya. "Wajah kamu juga masih terlihat sangat pucat, Jihan. Sebaiknya, kamu beristirahat saja dulu di rumah.""Sudah agak mendingan, Mas. Terima kasih karena semalam Mas sudah mau menjagaku dan juga merawatku dengan baik.""Sama-sama. Lain kali, jaga pola makan kamu dengan teratur. Kamu harus bisa menjaga kesehatanmu dengan baik, Ji. Semalam, suhu tubuh kamu meningkat panas, kamu juga terus meracau. Setelahnya, tiba-tiba badan kamu menggigil kedinginan," ujar Malik."Iya, Mas. Terima kasih atas perhatian tulus Mas Malik untukku. Ternyata, Mas Malik masih sangat peduli tentang kesehatanku. Aku sangat bahagia, Mas. Rasanya semalam seperti mimpi, bisa kembali melihat sosok pria yang sangat aku cinta. Kamu ternyata masih seperti dulu, Mas. Aku sangat menyesal sudah melepas pria sebaik Mas Malik. Maafkan aku, Mas! Andai saja waktu bisa di ulang kembali, mungkin sekarang kita sudah hidup bahagia bersama," ucap Jihan sendu seraya menatap penuh cinta pada pria yang sudah memiliki istri. Ada nyeri di sudut hati Jihan saat membayangkan pria yang dia puja bahagia dengan wanita lain, sekalipun berstatus sebagai istri."Yang lalu biarlah berlalu. Saya sudah memaafkanmu, belajarlah untuk melupakan saya. Di luar sana masih banyak pria baik yang pantas mendampingi dan juga menjadi imam di hidupmu nantinya, Jihan.""Aku sudah berusaha, Mas. Akan tetapi, aku selalu gagal. Apakah tidak ada kesempatan untukku, Mas? Aku juga bersedia menjadi wanita kedua di dalam hidupmu, Mas!" pinta wanita itu dengan kedua mata yang sudah basah. Dia memohon pada pria yang selalu hadir di dalam mimpi indahnya setiap malam."Maaf, saya tidak bisa. Saya sangat mencintai istri dan juga anak-anak saya. Mereka adalah kebahagiaan yang sangat berharga dalam hidup saya.""Jujur saja padaku, Mas. Kamu juga masih mencintaiku, kan, Mas? Kalau tidak, kenapa semalaman kamu bersedia merawat dan juga menjagaku?! Nyatanya, kita masih memendam rasa yang sama. Iya, kan, Mas?” tanya Jihan seraya menatap tajam wajah tampan Malik. Dokter bertubuh sintal itu masih merasa sangat yakin kalau pria di depannya masih menyimpan rasa yang sama sepertinya."Saya hanya peduli padamu saja, Jihan. Sama seperti saya peduli pada semua pasien-pasien yang saya tangani," jawab Malik tenang."Kamu bohong, Mas. Munafik kamu, Mas! Kalau hanya sekadar rasa peduli padaku, kenapa kamu semalam mau memelukku? Kenapa Mas?" tanya Jihan menuntut seraya terisak pilu. Hatinya terasa sangat sakit setelah mendengar penolakan dari pria yang sangat dia inginkan."Itu karena kamu terus menggigil kedinginan, Jihan. Saya enggak tega melihat kamu terus menggigil," tandas Malik datar. Namun, di sudut hati pria itu ikut merasa sakit, kala melihat mantan kekasihnya terisak pilu tepat di hadapannya."Tega kamu, Mas! Kamu sudah sangat menyakiti hatiku." Setelah itu, Jihan berlalu pergi meninggalkan ruangan kerja Malik sambil terisak."Maafkan saya, Jihan. Semoga suatu saat nanti, kamu dipertemukan dengan sosok pria baik yang tulus mencintaimu apa adanya," gumam Malik seraya menghela napas.Dokter ahli bedah itu melirik benda pipihnya yang sudah tergeletak di atas meja kerja. Ternyata benar, ponselnya tertinggal di rumah Jihan. Mungkin, maksud wanita beriris kecokelatan itu datang ke sini untuk mengantar gawai yang semalam tanpa sengaja tertinggal di hunian wanita yang wajah jelitanya akhir-akhir ini selalu singgah di dalam pikiran. ****[“Iya, Sayang. Ini Mas sudah belikan pesanan kamu. Tunggu Mas, ya, Sayang. Ini Mas sudah dalam perjalanan pulang ke rumah kita. Assalamu'alaikum,”] ucap Malik pada sang istri.[“Terima kasih, Mas. Iya, aku tunggu. Wa ‘alaikumus-salam,”] jawab Madina di seberang telepon.Tepat saat dokter berahang tegas itu hendak membelokkan kendaraan roda empatnya di pertigaan jalan, sekilas Malik melihat ada seorang wanita yang sedang diganggu oleh tiga pria berbadan besar. Tepat di sebuah gang yang terlihat gelap dan kebetulan gang itu dekat dengan jalan raya yang sekarang tengah Malik lewati. Rasa peduli seketika muncul di dada dokter ramah itu. Dia tidak tega melihat keadaan wanita yang tengah kesusahan seorang diri di sana. Wanita itu sangat membutuhkan pertolongan. Malik memutuskan menghentikan mobilnya, lalu memarkirkan Pajero hitamnya di tepi jalan. Kedua kaki panjangnya melangkah cepat menghampiri wanita yang masih diganggu oleh tiga pria yang berpenampilan cukup menyeramkan di lorong gang gelap tersebut."Tolong, tolong ... tolong!" teriak wanita itu lemah.Part 8Tolong, tolong ... tolong!" teriak wanita itu lemah. Dia terlihat sudah tidak berdaya. Keadaan wanita itu terlihat mengenaskan dengan baju atasan yang sudah terkoyak karena ulah dari tiga pria berbadan besar yang masih berusaha menodainya."Lepaskan wanita itu!" ucap Malik tajam pada tiga pria di depannya."Ada jagoan rupanya. Jangan coba-coba mengganggu kesenangan kami! Hei, anak muda! Lebih baik, pergi saja dari hadapan kami!" peringat pria berkepala plontos itu tajam pada Malik. Pria tersebut adalah salah satu gerombolan dari tiga pria berbadan besar yang masih berusaha menguasai tubuh indah wanita itu.Malik sendiri, selain sosok pria yang ramah dan baik, ia juga pandai dalam ilmu bela diri. Malik tak memiliki perasaan takut pada sesama manusia. Baginya yang pantas ditakuti hanyalah Allah Sang Maha Segalanya. Dalam waktu dua puluh menit, Malik sudah berhasil menumbangkan ketiga pria tadi. Para berandal itu sudah tidak berdaya di hadapannya. Ada dua pengendara ojek online m
Part 9"Mbok, saya pamit pulang dulu. Nanti kalau ada apa-apa dengan Jihan, Mbok Yati bisa langsung menghubungi nomor telepon saya.""Enggih, Den Malik. Terima kasih karena Den Malik sudah menolong dan masih peduli dengan Non Jihan.""Sama-sama, Mbok. Assalamu’alaikum," ucap Malik santun pada wanita paruh baya di hadapannya."Wa ‘alaikumus-salam."Mobil Malik langsung meluncur membelah jalanan ibu kota yang tampak sepi menuju rumahnya. Dalam waktu setengah jam, dia sudah sampai di rumahnya. Setelah memastikan semuanya aman, dengan gerakan pelan Malik membuka pintu rumah menggunakan kunci cadangan yang selalu dibawanya ke mana pun pergi.Sebelum naik ke lantai atas, Malik mencuci tangannya terlebih dahulu. Setelah itu, dia langsung menapakkan kedua kaki panjangnya menaiki undakan anak tangga menuju ke lantai atas. Setibanya di lantai atas, lalu Malik membelokkan langkahnya menuju ke kamar utama. Setelah menutup pintu kamarnya dengan perlahan, Malik mengedarkan pandangan, mencari kebera
Part 10"Bu Madina kritis, Dok," jawab Dokter Fani penuh sesal dan sangat iba. "Saya ikut bersedih dan juga turut berduka atas apa yang telah terjadi pada Bu Madina. Anda yang sabar, ya, Dok. Kita doakan agar Bu Madina bisa secepatnya melewati masa kritisnya." "Maafkan Mas, Sayang. Semuanya salah Mas," ucap Malik seraya terisak. Pria itu terlihat sangat hancur."Kami akan memindahkan Bu Madina ke ruangan perawatan. Silakan kalau Dokter Malik ingin melihat dan menggendong putra Dokter terlebih dahulu. Bayi itu sangat tampan seperti Anda, Dok, tapi Allah lebih menyayangi putra Anda, Dok.""Iya, Dok. Terima kasih, Dokter Fani.""Satu lagi, Dok. Akibat benturan kuat saat Bu Madina terjatuh, rahim istri Anda mengalami luka dan kemungkinan akan membutuhkan waktu agak sedikit lama untuk memulihkannya. Jika Bu Madina ingin hamil kembali, minimal harus menunggu waktu selama satu tahunan setelah pasca pemulihan. Karena risiko keguguran di kehamilan Bu Madina berikutnya akan lebih besar dari ke
Part 11Sebelum pergi ke rumah Malik, Jihan memutuskan singgah terlebih dahulu di pemakaman di mana putra dari pria yang sangat dicintainya dikebumikan."Kamu yang tenang di sana, ya, Baby. Tante janji sama kamu, Baby Yazid, setelah ini hanya akan ada senyum bahagia menghiasi wajah tampan ayahmu. Itu janji Tante sama kamu, Baby," ucap Jihan seraya menaburkan kelopak bunga mawar di atas pusara almarhum Muhammad Yazid Ilmany, sesekali dia menghapus cairan bening di sudut matanya. "Tante pergi dulu, ya, Baby. Kapan-kapan Tante akan datang ke sini lagi." Dua puluh menit kemudian, Jihan sudah tiba di rumah Madina. Rumah yang tampak asri, dengan halaman cukup luas dan dilengkapi sebuah taman yang dihiasi berbagai jenis bunga-bunga indah. "Maaf, Ibu sedang cari siapa di sini?" tanya ramah satpam yang berjaga di depan gerbang rumah Madina."Ini benar rumahnya Dokter Malik, kan, Pak?" tanya balik wanita yang pagi ini mengenakan abaya hitam senada dengan pasmina yang menutupi kepalanya."Bena
Part 12"Wa ‘alaikumus-salam. Mbak?" tanya Madina dengan suara lemah. Dia merasa pernah melihat sosok wanita cantik yang sedang berdiri dengan gaya anggun di hadapannya."Saya, Jihan, Mbak. Lebih tepatnya Dokter Jihan, dokter spesialis bedah sama seperti suami Mbak, Mas Malik," jawab Jihan penuh percaya diri. "Saya ikut bersedih atas musibah yang Mbak Madina alami. Mbak yang sabar, ya. Cepat sembuh, Mbak. Semoga nanti Allah kembali memberikan kepercayaan lagi pada Mbak Madina dan juga Mas Malik, menitipkan amanah dari-Nya di dalam rahi—"Dengan cepat Bu Aisyah memotong ucapan wanita muda yang dahulu pernah menjadi tunangan putra tercintanya. Bahkan Bu Aisyah sudah menganggap wanita itu dan menyayangi Jihan seperti selayaknya putri kandungnya sendiri. Namun, dengan tega Jihan memutuskan ikatan pertunangannya dengan sang putra. "Jihan. Yuuk! Lebih baik, kita keluar dulu dari sini. Ada banyak pertanyaan yang mau Umi tanyakan kepada kamu. Kita berikan ruang privasi untuk mereka berdua. B
Part 13"Umii!" Dengan cepat Jihan menangkap tubuh Bu Aisyah ke dalam pelukan."Uminya Malik, kamu kenapa, Sayang?" tanya Pak Ibrahim cemas sembari menenangkan Lydia yang tiba-tiba saja menangis dalam gendongannya."Lho, Nak Jihan? Jadi, tadi kamu yang sedang berlutut di depan uminya Malik?""Iya, Abi," sahut Jihan seraya mendaratkan bokong di kursi yang letaknya tepat di depan ruang perawatan Madina, lalu dengan hati-hati wanita itu membaringkan tubuh Bu Aisyah dan membawa kepala ibunya Malik berbaring di atas pangkuannya. "Sebaiknya, kita panggil dokter saja, Nak Jihan. Abi takut uminya Malik kenapa-napa," ucap Pak Ibrahim panik ketika menatap wajah pucat sang istri."Abi enggak usah khawatir, Bi. Di sini sudah ada saya, Bi. Saya juga seorang dokter, sama seperti Mas Malik. Umi Aisyah baik-baik saja, beliau cuman pingsan biasa. Mungkin beliau syok saat melihat suster dan juga Dokter Fani berlari ke dalam ruang perawatan Mbak Madina. Jadi, Abi enggak usah khawatir atau pun cemas," t
Part 14Tok-tok-tok!!“Non, Non Jihan kenapa? Buka pintunya, Non. Ini Mbok bawakan makan siang untuk Non Jihan, pasti Non belum makan, kan, Nduk?” Di luar kamar, dengan sabar Mbok Yati berulang kali mengetuk-ngetuk pintu kamar Jihan.“Iya, sebentar, Mbok,” sahut Jihan seraya menghela napas panjang, lalu bangun dari pembaringan dan melangkah ke arah pintu. Setelah membuka pintu, Jihan kembali menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.“Ini makanannya, Mbok taro di atas meja kerja kamu, ya, Nduk. Dimakan sekarang aja, Nduk, mumpung lauknya masih hangat, baru matang, lho, Nduk. Mbok sengaja masak lauk kesukaan Non Jihan yaitu ayam kecap pedas,” ujar Mbok Yati lembut dengan menampilkan senyum teduh di bibir sambil menatap Jihan yang tampak sedang tidak dalam keadaan baik.“Saya enggak lapar, Mbok. Saya lagi enggak kepengin apa-apa,” sahut wanita berlesung pipi itu dengan nada malas kepada wanita paruh baya yang sudah menjaga dan membesarkan dirinya.“Harus dipaksain, Nduk. Kalau enggak begit
Part 15"Assalamualaikum ....""Wa ‘alaikumus-salam, Mas." Baru saja Madina akan meraih tangan sang suami, tetapi Malik menolaknya terlebih dulu."Mas belum cuci tangan, Dek. Kan, Mas baru pulang dari perjalanan jauh, takutnya ada kuman yang menempel di sini dan Mas enggak mau kalau kuman itu sampai menempel ke kamu, Sayang. Cukup Mas saja yang suka menempeli kamu, Dek," goda Malik seraya menatap wajah cantik sang istri yang tampak sedang tersipu malu."Tunggu sebentar, Dek. Mas mau cuci tangan dulu.""Iya, Mas," sahut Madina dengan wajah yang tampak masih dihiasi oleh rona kemerahan.Lima menit kemudian, Malik menghampiri sang istri. "Nah, kalau sekarang, tangan Mas sudah bersih, Dek. Kamu bisa memeganginya dan menciumi sepuas kamu, Sayang."Madina langsung meraih tangan sang suami untuk dicium. "Masyaallah, salehahnya istri Mas. Beruntung Mas memilikimu, Sayang." Malik memberi kecupan sayang di kening sang istri, lalu membawa tubuh Madina ke dalam pelukannya. "Mas sangat merindukan