"Dia calon suami saya, Pak," jawab Marisa tanpa menoleh. Keduanya terus berjalan menuju pintu utama kantor. Meski terkejut, tapi Daniel tetap berjalan seperti biasanya. Dalam dada bagai tersulut api. Panas dan menyesakkan. Cintanya memang salah tempat. Hingga tak bisa lagi membedakan itu perasaan cinta yang sesungguhnya atau hanya sekedar obsesi semata. Sampai masuk lift, pria itu masih diam karena ada staf lain yang naik bersama."Kutunggu kamu di ruanganku," kata Daniel berjalan mendahului Marisa setelah keluar dari lift.Marisa memandangi si bos dengan setelan jas warna biru gelap itu melangkah cepat masuk ke ruang pribadinya. Sejenak Marisa diam di meja kerjanya. Kebat-kebit juga perasaannya. Kira-kira apa tanggapan lelaki itu nanti. Marah atau justru sadar bahwa merayu dirinya adalah sebuah kesalahan.Para staf berdatangan dan duduk di meja masing-masing. Tari yang lewat juga menyapanya sekilas. Kemudian Ari langsung menghampiri. "Hustt, pagi-pagi udah bengong," tegurnya.Belu
Di mana kehangatan yang dulu selalu Shela ciptakan? Sekarang seperti asap yang lenyap diembus angin. Daniel sudah mulai tawar. Bersama Shela seperti sedang meniduri boneka tak bernyawa. Namun sejauh ini dia tidak pernah mencari pelampiasan di luar. Bersenang-senang menuntaskan hasrat lalu pulang tanpa beban. Seperti yang dilakukan beberapa teman dan koleganya. Di tengah kesibukan, masih sempat mencari hiburan.Daniel masih waras dan bisa menahan diri. Tapi dia memang jujur, tergoda dengan Marisa. Tapi tidak pernah memaksa gadis itu. Padahal kesempatan itu selalu ada. Dia masih berusaha merayunya untuk menghalalkan gadis itu meski secara diam-diam. Daniel siap menjamin kehidupan keluarganya. Dia juga siap bertanggungjawab sepenuhnya. Bukan menjadikan Marisa hanya sebagai pelampiasan dikala dirinya tercampak kesepian.Yang membuatnya masih bisa menahan diri, karena dia ingat memiliki Chika dan Marcel. Terlebih Chika, tentu ia tidak ingin anak perempuannya kelak harus membayar perbuatan
Daniel tidak menanggapi ajakan istrinya untuk mampir sejenak ke restorannya. Bahkan pria itu tidak mau turun saat Shela menemui sebentar Mike yang menunggu di depan sebuah rumah makan bersama seorang laki-laki. Taksi yang mereka tumpangi sampai juga di Bandara Ngurah Rai. Mencari tiket untuk penerbangan secepatnya ke Surabaya. Namun yang ada juga penerbangan untuk sore hari. Terpaksa mereka harus menunggu. Daniel yang biasanya masih mau menunjukkan raut wajah ramah meski kecewa dengan Shela, kini tampak benar-benar membeku dan dingin.Shela terus mengikuti langkah lebar sang suami hingga akhirnya duduk di boarding room. Mereka akan menunggu kurang lebih dua jam untuk penerbangan ke Juanda. Daniel menahan diri untuk tidak bicara apapun dengan istrinya. Daripada nanti tak bisa mengendalikan diri dan mengamuk di tempat umum. Di saku celananya ada satu benda yang ia temukan di laci meja hotel. Benda yang tentunya butuh penjelasan dari istrinya.Untuk mengisi waktu yang terasa sangat panj
Ini makan malam pertama Marisa bersama Bu Arum dan Ubed. Tadi waktu habis maghrib Aksara menjemput ke rumah, pria itu sekalian mengajak mamanya dan sang keponakan. Karena Sabtu besok Aksara ada pekerjaan, makanya mengajak Marisa keluar malam itu. Sementara Marisa sendiri besok pagi juga ada meeting untuk membahas dinner.Niat hati ingin menceritakan permasalahannya dengan Daniel, terpaksa harus ia tunda.Ketika tengah asyik makan sambil berbincang, Mahika menyusul. Wanita itu tersenyum dan menyalami mereka. "Maaf, Mbak telat. Tadi ada pekerjaan yang urgent," ujarnya sambil duduk."Nggak apa-apa. Kamu mau makan apa?" tanya Bu Arum pada sang menantu."Sebentar lagi saya pesan sendiri, Ma," jawab Mahika. Kemudian beralih memandang Marisa. "Sudah dapat cincinnya?""Sudah, Mbak," jawab gadis itu."Hari Selasa ini kalian jadi lamaran, 'kan?""Ya.""Kenapa nggak langsung nikahan saja. Habis lebaran baru resepsi. Bulan puasa tinggal dua Minggu lagi lho. Biar puasa tahun ini kamu nggak sendiri
Gadis yang duduk diapit oleh ibu dan adik pertamanya itu menunduk. Memperhatikan kuku tangannya yang dihias hena warna kecoklatan. Ulfa yang tadi memaksa memakainya.Tubuh Marisa terbalut kebaya modern warna putih dan jilbab warna senada. Ada tiara keperakan yang menjadi hiasannya. Wajahnya yang ayu dirias natural oleh salah seorang tetangganya.Di salah satu sisi ruangan. Terdapat backdrop dengan nuansa putih keemasan penuh hiasan bunga melati dan mawar. Wanginya terhidu di penciuman.Hari yang diimpikan setiap anak gadis kini menjadi kenyataan. Lelaki yang menikahinya ternyata seseorang yang belum lama ia kenal. Marisa teringat almarhum bapaknya. Ada pilu yang hinggap di sanubari. Di hari penuh kebahagiaan ini, laki-laki yang mengukir jiwa raganya sudah tidak ada di tengah-tengah mereka. Marisa menarik napas panjang untuk menetralisir perasaan.Di dalam rumah ada beberapa tetangga dan keluarga Marisa yang datang dari desa. Termasuk laki-laki sepuh dengan baju batik warna cokelat dan
Jam setengah satu siang, Ari datang mengendarai motor matic-nya. Suasana di rumah Marisa sudah sepi. Hanya kerabat yang masih tinggal karena para tetangga juga sudah pulang ke rumah masing-masing. Ari yang sudah terbiasa di rumah Marisa, langsung masuk saja setelah mengucap salam. Dia ke dapur dan langsung menyalami dan memeluk Bu Rahmi. "Alhamdulillah, kamu datang," kata ibunya Marisa. Bahagia melihat sahabat putrinya."Saya tadi memang izin setengah hari saja, Bu. Sebab orang-orang kantor tahunya Marisa hanya bertunangan. Oh ya, Marisa mana, Bu?" Gadis itu mengedarkan pandangan."Tunggu sebentar, masih ganti baju. Kamu sudah makan apa belum? Sini ibu ambilin!" Bu Rahmi menarik tangan Ari dan menunjukkan hidangan di atas meja besar di dapur. Tempat biasa untuk menata pesanan kue. "Kamu ambil sendiri mana yang kamu suka." Bu Rahmi mengulurkan piring pada Ari.Tak lama kemudian, Marisa keluar dari kamar. Ari berdiri kemudian memeluknya. "Selamat ya, kamu malah nikah duluan," ucap Ari
Pagi itu di kantor, semua perhatian tertuju pada Marisa karena perubahan penampilannya. Ada yang memuji tapi ada juga yang mencibir. Biasa dua sisi respon yang bertolak belakang selalu ada dalam menanggapi suatu peristiwa dan perubahan.Namun Marisa santai. Ia ingat kata-kata suaminya di mobil tadi. Setiap perubahan pasti akan ada komentar negatif dan positifnya. "Jangan dengarkan komentar negatif. Senyumi saja. Itu nggak akan lama dan mereka akan diam dengan sendirinya." Satu hal yang menguntungkan bagi Marisa, karena mereka sibuk dengan perubahan cara berpakaiannya. Membuat mereka tidak memperhatikan dua cincin emas yang melingkar di jari wanita itu. Terlebih cincin polos yang jadi simbol sebuah ikatan."Risa, kamu cantik kalau pakai jilbab. Mbak doakan kamu senantiasa istiqomah," puji Tari menghampiri Marisa."Aamiin.""Gimana acara lamarannya? Lancar 'kan?""Iya, Alhamdulillah lancar, Mbak. Aku tadi bawain kue buat Mbak Tari dan teman-teman. Nanti kita makan sama-sama waktu istir
"Kamu mandi dulu, ya. Setelah itu kita Salat Maghrib. Nanti Mas bantuin nyusun pakaianmu di lemari," kata Aksara sambil melepaskan jam tangannya.Marisa mengangguk. Dia mengambil handuk dan baju gantinya di koper. Melepaskan jilbab dan langsung masuk kamar mandi. Membersihkan diri dengan cepat, karena Aksara juga harus lekas mandi untuk mengejar waktu Salat Maghrib.Keduanya salat berjamaah untuk pertama kalinya. Setelah mencium tangan sang suami, Aksara menarik pelan lengan Marisa supaya bisa memeluknya. Marisa gemetar. Inilah kali pertama seorang laki-laki menyentuhnya. Sekian lama pacaran dengan Dimas, Marisa selalu menjaga batasan. Ketika Aksara mencium bibirnya, Marisa sudah merasakan panas dingin karena desiran yang menjalar di seluruh aliran darahnya. "Mama sudah menunggu kita, Mas," kata Marisa.Aksara melepaskan pelukannya. Marisa mengemas sajadah, sarung, dan mukena.Di ruang makan, Bu Arum sedang menuangkan teh ke gelas. "Ayo, kita makan dulu."Marisa mengambilkan piring