Jam setengah satu siang, Ari datang mengendarai motor matic-nya. Suasana di rumah Marisa sudah sepi. Hanya kerabat yang masih tinggal karena para tetangga juga sudah pulang ke rumah masing-masing. Ari yang sudah terbiasa di rumah Marisa, langsung masuk saja setelah mengucap salam. Dia ke dapur dan langsung menyalami dan memeluk Bu Rahmi. "Alhamdulillah, kamu datang," kata ibunya Marisa. Bahagia melihat sahabat putrinya."Saya tadi memang izin setengah hari saja, Bu. Sebab orang-orang kantor tahunya Marisa hanya bertunangan. Oh ya, Marisa mana, Bu?" Gadis itu mengedarkan pandangan."Tunggu sebentar, masih ganti baju. Kamu sudah makan apa belum? Sini ibu ambilin!" Bu Rahmi menarik tangan Ari dan menunjukkan hidangan di atas meja besar di dapur. Tempat biasa untuk menata pesanan kue. "Kamu ambil sendiri mana yang kamu suka." Bu Rahmi mengulurkan piring pada Ari.Tak lama kemudian, Marisa keluar dari kamar. Ari berdiri kemudian memeluknya. "Selamat ya, kamu malah nikah duluan," ucap Ari
Pagi itu di kantor, semua perhatian tertuju pada Marisa karena perubahan penampilannya. Ada yang memuji tapi ada juga yang mencibir. Biasa dua sisi respon yang bertolak belakang selalu ada dalam menanggapi suatu peristiwa dan perubahan.Namun Marisa santai. Ia ingat kata-kata suaminya di mobil tadi. Setiap perubahan pasti akan ada komentar negatif dan positifnya. "Jangan dengarkan komentar negatif. Senyumi saja. Itu nggak akan lama dan mereka akan diam dengan sendirinya." Satu hal yang menguntungkan bagi Marisa, karena mereka sibuk dengan perubahan cara berpakaiannya. Membuat mereka tidak memperhatikan dua cincin emas yang melingkar di jari wanita itu. Terlebih cincin polos yang jadi simbol sebuah ikatan."Risa, kamu cantik kalau pakai jilbab. Mbak doakan kamu senantiasa istiqomah," puji Tari menghampiri Marisa."Aamiin.""Gimana acara lamarannya? Lancar 'kan?""Iya, Alhamdulillah lancar, Mbak. Aku tadi bawain kue buat Mbak Tari dan teman-teman. Nanti kita makan sama-sama waktu istir
"Kamu mandi dulu, ya. Setelah itu kita Salat Maghrib. Nanti Mas bantuin nyusun pakaianmu di lemari," kata Aksara sambil melepaskan jam tangannya.Marisa mengangguk. Dia mengambil handuk dan baju gantinya di koper. Melepaskan jilbab dan langsung masuk kamar mandi. Membersihkan diri dengan cepat, karena Aksara juga harus lekas mandi untuk mengejar waktu Salat Maghrib.Keduanya salat berjamaah untuk pertama kalinya. Setelah mencium tangan sang suami, Aksara menarik pelan lengan Marisa supaya bisa memeluknya. Marisa gemetar. Inilah kali pertama seorang laki-laki menyentuhnya. Sekian lama pacaran dengan Dimas, Marisa selalu menjaga batasan. Ketika Aksara mencium bibirnya, Marisa sudah merasakan panas dingin karena desiran yang menjalar di seluruh aliran darahnya. "Mama sudah menunggu kita, Mas," kata Marisa.Aksara melepaskan pelukannya. Marisa mengemas sajadah, sarung, dan mukena.Di ruang makan, Bu Arum sedang menuangkan teh ke gelas. "Ayo, kita makan dulu."Marisa mengambilkan piring
Hafsah termangu, berusaha menghalau sesak di dada ketika sepagi itu melihat Marisa yang sedang membuka pintu pagar. Memang abahnya cerita kalau Aksara telah menikahi siri Marisa. Mungkin setelah itu Aksa memboyong sang istri ke rumah orang tuanya. Bermakna dia dan Marisa menjadi tetangga sekarang.Wanita itu juga telah berhijab. Apa Aksara yang membuatnya berubah?"Ada apa melamun sepagi ini, Bu Hafsah?" tegur rekan saat Hafsah termenung di ruang guru. Wanita dengan seragam sama itu duduk di samping Hafsah."Dia sudah memboyong gadis itu ke rumahnya, Bu?" jawab Hafsah pelan.Sang rekan mengernyitkan dahi sejenak, lantas paham maksud Hafsah. "Jangan terlalu dipikirkan. Masih banyak yang mengantri untuk melamar, Bu Hafsah."Hafsah tersenyum getir. Memang mudah kalau hanya sekedar bicara, tapi tidak bagi yang menanggung bebannya. Tidak ada yang memahami bagaimana perasaannya sekarang. Hafsah kemudian segera berdiri karena mesti masuk kelas.***LS***Daniel kaget melihat penampilan Marisa
"Berarti sukses dong MP-nya?"Marisa hanya tersenyum. Tentu urusan ranjang tidak perlu dibahas dengan sahabatnya. Secara otodidak mereka pasti bisa melaluinya sendiri. Itu kodrat dan naluri alamiah milik insan dewasa.Ari juga tidak perlu diberitahu, kalau dirinya belum sempat memakai kado dari sahabatnya itu. "Jadi sekarang kamu akan tetanggaan dengan gadis yang hendak dijodohkan dengan suamimu?" tanya Ari mengalihkan topik percakapan. "Ya. Rumahnya dengan rumah Mas Aksa hanya berjarak tujuh rumah kalau nggak salah. Deket kok." Marisa juga menceritakan tentang pertemuan tak sengaja dengan Hafsah tadi pagi. "Mungkin dia pangling karena aku memakai jilbab sekarang.""Positif thinking saja, Ris. Kamu harus tahan mental juga. Karena kalian tetanggaan."Marisa mengangguk pelan. Mungkin setelah ini antara dirinya dan Hafsah akan sering bertemu saat salat tarawih di masjid. Pertemuan tadi pagi belum seberapa. Dia juga baru semalam saja tinggal bersama mertuanya. Belum juga bertemu denga
"Siapa? Jawab, Shela!" Daniel berteriak kencang sambil tangannya mengebrak meja. Membuat sang istri makin ciut nyalinya."Katakan, kamu ingin kita bicara dengan cara bagaimana. Kasar atau duduk dan bicara pelan-pelan."Shela bangkit dari duduknya. Kemudian menyingkap selimut dan berbaring di sana. "Kamu salah sangka. Aku nggak pernah curang di belakangmu. Sudah kubilang, barang itu bukan punyaku."Dari cara Shela berbaring miring membelakanginya saja Daniel bisa membaca kalau dia sedang dibohongi. Istrinya itu tidak menyadari kalau Daniel sempat mencium aroma parfum pria di ranjang hotel tempat menginapnya. Parfum mahal akan selalu meninggalkan jejak."Kamu nggak bisa menuduhku tanpa bukti.""Apa ini bukan bukti?" tunjuk Daniel pada benda di atas meja."Bukan. Aku pun nggak tau itu milik siapa?"Daniel menarik napas panjang sambil menyugar kasar rambutnya. Shela tidak akan mengaku kalau tak ada bukti yang kuat. Ditanya seribu kali pun mana mungkin istrinya mengaku, kecuali sudah ketan
Sejak kemarin Marisa memang sudah bilang kalau dia akan mengambil bagian penting di acara dinner kali ini. Tidak hanya Aksara yang memberikan support, Ari juga menyemangatinya. "Siapa tahu kamu akan naik jabatan tahun depan. Makanya kamu harus melakukan yang terbaik kali ini," kata Ari kemarin."Nanti Mas jemput jam berapa?" "Setelah acara inti selesai aku langsung pulang. Kalau nunggu acara kelar kadang sampai jam setengah satu malam, Mas.""Oke."Marisa selesai merapikan diri. Gamis brokat warna lembayung yang dibeli lebaran tahun lalu yang dipakainya malam itu. Dinner kali ini dia dan Ari tidak membeli gaun baru. Biasanya menjelang dinner mereka akan berburu gaun diskonan di pusat perbelanjaan. Tapi kali ini sepakat memakai baju yang ada saja. Tiap kali dinner, selalu jadi ajang kaum staf perempuan untuk berlomba-lomba mengenakan gaun-gaun cantik menarik. Perhiasan entah asli atau imitasi yang jelas harus barang baru. Tas dan stiletto yang heelsnya mengetuk-ngetuk lantai saat dil
Marisa yang melihat lirikan mata gadis itu tersenyum. Dia terasa kalau kata-kata itu ditujukan pada dirinya. Sementara Hafsah tidak menanggapi ucapan sepupunya yang bernama Afifah. Sadar kalau perbuatan saudaranya salah. Andai abahnya tahu, mereka pasti di marahi."Ayo, kita masuk masjid. Kenapa berhenti di sini?" ajak Bu Haji."Ayo, Nduk." Bu Arum mengandeng Marisa berjalan masuk masjid.Mereka duduk berderet di shaf paling depan di ruang jamaah wanita. Di ruang bagian selatan yang tersekat oleh papan dari kayu jati setinggi tubuh orang dewasa. Papan berplitur cokelat dengan ukiran Jepara.Marisa paling pinggir dekat dinding, kemudian Bu Arum di utaranya, Bu Haji, Hafsah, Afifah, kemudian di sambung oleh ibu-ibu yang lain. Ibu-ibu yang berjamaah hanya saling pandang sesama sendiri sambil memperhatikan Marisa. Memang banyak yang belum pernah bertemu langsung karena Marisa memang bekerja kalau siang."Calonnya Mas Aksara kok sudah pulang ke rumah Bu Arum, mereka kan belum nikah?" bisi