Hafsah termangu, berusaha menghalau sesak di dada ketika sepagi itu melihat Marisa yang sedang membuka pintu pagar. Memang abahnya cerita kalau Aksara telah menikahi siri Marisa. Mungkin setelah itu Aksa memboyong sang istri ke rumah orang tuanya. Bermakna dia dan Marisa menjadi tetangga sekarang.Wanita itu juga telah berhijab. Apa Aksara yang membuatnya berubah?"Ada apa melamun sepagi ini, Bu Hafsah?" tegur rekan saat Hafsah termenung di ruang guru. Wanita dengan seragam sama itu duduk di samping Hafsah."Dia sudah memboyong gadis itu ke rumahnya, Bu?" jawab Hafsah pelan.Sang rekan mengernyitkan dahi sejenak, lantas paham maksud Hafsah. "Jangan terlalu dipikirkan. Masih banyak yang mengantri untuk melamar, Bu Hafsah."Hafsah tersenyum getir. Memang mudah kalau hanya sekedar bicara, tapi tidak bagi yang menanggung bebannya. Tidak ada yang memahami bagaimana perasaannya sekarang. Hafsah kemudian segera berdiri karena mesti masuk kelas.***LS***Daniel kaget melihat penampilan Marisa
"Berarti sukses dong MP-nya?"Marisa hanya tersenyum. Tentu urusan ranjang tidak perlu dibahas dengan sahabatnya. Secara otodidak mereka pasti bisa melaluinya sendiri. Itu kodrat dan naluri alamiah milik insan dewasa.Ari juga tidak perlu diberitahu, kalau dirinya belum sempat memakai kado dari sahabatnya itu. "Jadi sekarang kamu akan tetanggaan dengan gadis yang hendak dijodohkan dengan suamimu?" tanya Ari mengalihkan topik percakapan. "Ya. Rumahnya dengan rumah Mas Aksa hanya berjarak tujuh rumah kalau nggak salah. Deket kok." Marisa juga menceritakan tentang pertemuan tak sengaja dengan Hafsah tadi pagi. "Mungkin dia pangling karena aku memakai jilbab sekarang.""Positif thinking saja, Ris. Kamu harus tahan mental juga. Karena kalian tetanggaan."Marisa mengangguk pelan. Mungkin setelah ini antara dirinya dan Hafsah akan sering bertemu saat salat tarawih di masjid. Pertemuan tadi pagi belum seberapa. Dia juga baru semalam saja tinggal bersama mertuanya. Belum juga bertemu denga
"Siapa? Jawab, Shela!" Daniel berteriak kencang sambil tangannya mengebrak meja. Membuat sang istri makin ciut nyalinya."Katakan, kamu ingin kita bicara dengan cara bagaimana. Kasar atau duduk dan bicara pelan-pelan."Shela bangkit dari duduknya. Kemudian menyingkap selimut dan berbaring di sana. "Kamu salah sangka. Aku nggak pernah curang di belakangmu. Sudah kubilang, barang itu bukan punyaku."Dari cara Shela berbaring miring membelakanginya saja Daniel bisa membaca kalau dia sedang dibohongi. Istrinya itu tidak menyadari kalau Daniel sempat mencium aroma parfum pria di ranjang hotel tempat menginapnya. Parfum mahal akan selalu meninggalkan jejak."Kamu nggak bisa menuduhku tanpa bukti.""Apa ini bukan bukti?" tunjuk Daniel pada benda di atas meja."Bukan. Aku pun nggak tau itu milik siapa?"Daniel menarik napas panjang sambil menyugar kasar rambutnya. Shela tidak akan mengaku kalau tak ada bukti yang kuat. Ditanya seribu kali pun mana mungkin istrinya mengaku, kecuali sudah ketan
Sejak kemarin Marisa memang sudah bilang kalau dia akan mengambil bagian penting di acara dinner kali ini. Tidak hanya Aksara yang memberikan support, Ari juga menyemangatinya. "Siapa tahu kamu akan naik jabatan tahun depan. Makanya kamu harus melakukan yang terbaik kali ini," kata Ari kemarin."Nanti Mas jemput jam berapa?" "Setelah acara inti selesai aku langsung pulang. Kalau nunggu acara kelar kadang sampai jam setengah satu malam, Mas.""Oke."Marisa selesai merapikan diri. Gamis brokat warna lembayung yang dibeli lebaran tahun lalu yang dipakainya malam itu. Dinner kali ini dia dan Ari tidak membeli gaun baru. Biasanya menjelang dinner mereka akan berburu gaun diskonan di pusat perbelanjaan. Tapi kali ini sepakat memakai baju yang ada saja. Tiap kali dinner, selalu jadi ajang kaum staf perempuan untuk berlomba-lomba mengenakan gaun-gaun cantik menarik. Perhiasan entah asli atau imitasi yang jelas harus barang baru. Tas dan stiletto yang heelsnya mengetuk-ngetuk lantai saat dil
Marisa yang melihat lirikan mata gadis itu tersenyum. Dia terasa kalau kata-kata itu ditujukan pada dirinya. Sementara Hafsah tidak menanggapi ucapan sepupunya yang bernama Afifah. Sadar kalau perbuatan saudaranya salah. Andai abahnya tahu, mereka pasti di marahi."Ayo, kita masuk masjid. Kenapa berhenti di sini?" ajak Bu Haji."Ayo, Nduk." Bu Arum mengandeng Marisa berjalan masuk masjid.Mereka duduk berderet di shaf paling depan di ruang jamaah wanita. Di ruang bagian selatan yang tersekat oleh papan dari kayu jati setinggi tubuh orang dewasa. Papan berplitur cokelat dengan ukiran Jepara.Marisa paling pinggir dekat dinding, kemudian Bu Arum di utaranya, Bu Haji, Hafsah, Afifah, kemudian di sambung oleh ibu-ibu yang lain. Ibu-ibu yang berjamaah hanya saling pandang sesama sendiri sambil memperhatikan Marisa. Memang banyak yang belum pernah bertemu langsung karena Marisa memang bekerja kalau siang."Calonnya Mas Aksara kok sudah pulang ke rumah Bu Arum, mereka kan belum nikah?" bisi
Aksara pamit pada mamanya kemudian melangkah keluar rumah. Duduk di bangku kayu bawah pohon mangga menunggu istrinya pulang. Setelah suara toa berhenti. Aksara beranjak ke depan pintu pagar. Dari ujung tampak istrinya berjalan berdua dengan Sarah. Kemudian wanita itu berbelok ke rumahnya, tinggal Marisa yang berjalan sendirian.Senyumnya merekah saat melihat sang suami tengah berdiri menunggunya. Setelah tegang dengan suasana di masjid tadi. Kini lega melihat Aksara menantinya. "Mas, menungguku," ucapnya ceria. Kemudian mencium tangan suaminya."Iya."Keduanya melangkah masuk rumah. Bu Arum sudah tidak ada di depan televisi. Marisa masuk kamar dan berganti pakaian. Sedangkan Aksara masih mengunci pintu baru menyusul ke peraduan."Kamu pinter juga baca Al Qur'an. Mas sama mama mendengarnya tadi," puji Aksara setelah mereka berbaring."Aku nggak sepandai mereka, Mas. Alhamdulillah, tapi aku bisa juga membaca. Nggak membuatku malu pada diri sendiri. Dulu waktu aku dan adik-adikku masih
Terdengar bunyi kemeletek, ponsel jatuh ke lantai. Dunia Shela terasa gelap gulita. Hancur dalam hitungan menit. Ponsel kembali berpendar, ada panggilan masuk dari nomernya Lion. Tapi Shela yakin, itu pasti perempuan tadi. Dibiarkannya hingga pendar cahaya itu padam dengan sendirinya.Ponsel bergetar lagi hingga beberapa kali. Kemudian Shela menekan tombol power untuk mematikan ponselnya. Sepanjang malam dia hanya duduk bersandar pada tempat tidur. Menangis saat berbagai bayangan berkelindan menyesakkan dada. Kehilangan. Itulah yang sekarang terpampang jelas dan akan terjadi setelah malam berlalu. Setidaknya sampai bulan ramadhan ini berakhir.Tahun kemarin keluarga mereka masih bahagia menyambut bulan Ramadhan. Anak-anak ceria diajak berburu takjil menjelang berbuka, meski dirinya sudah mulai sibuk dengan bisnisnya dan hubungan dengan Daniel mulai goyah. Setidaknya mereka masih bisa bersama-sama. Namun sekarang, bayangan kehancuran itu tampak nyata di hadapan.Sementara di kamar lai
Jam sembilan pagi ketika Daniel telah berpakaian rapi dan hendak keluar kamar, ia mendengar keributan di teras depan. Teriakan melengking seorang perempuan. Kata-kata cacian dan makian sarat amarah ditunjukkan perempuan itu pada Shela. "Siapa, Mbok?" tanya Daniel membuka pintu kamar. "Seorang perempuan ngamuk di depan, Pak. Ngamuk sama Ibu," jawab Mbok Parni dengan tubuh gemetar. "Anak-anak jangan boleh keluar, Mbok. Biarkan mereka di atas. Tutup kamarnya dan jangan sampai tahu ada keributan di bawah," kata Daniel yang langsung bergegas keluar rumah.Di teras, ia melihat seorang wanita mengamuk dan menjambak rambut Shela yang saat itu hanya memakai piyama. "Lepaskan!" Daniel menarik lengan perempuan dari rambut istrinya. Membuat wanita yang bersimbah air mata itu menatap tajam pada Daniel. "Kamu masih membela perempuan yang sudah mengkhianatimu? Istri busuk yang menikammu dari belakang. Dia sudah berzina dengan suamiku. Masih juga kamu bela, Mas!" teriak lantang wanita itu.Daniel