"Halo, Assalamu'alaikum, Ma.""Wa'alaikumsalam."Aksara berdiri dari bangku kantin, ia melangkah ke luar agar ucapannya tidak terdengar oleh pengunjung yang sedang ada di sana."Aku sekarang di Malang, Ma. Bersama Marisa.""Bagaimana keadaan Risa? Kandungannya gimana?" Nada khawatir terdengar dari ucapan sang mama. Aksara menceritakan kenapa dia dan Marisa bisa berada di Malang saat itu. Sang mama begitu sedih saat mendengar sang menantu mengalami pendarahan."Aku belum bisa pulang malam ini, Ma. Tapi setelah sampai rumah besok atau lusa, aku akan segera menyelesaikan permasalah ini dengan Pak Kyai.""Pastikan Marisa benar-benar sehat, Sa. Semoga kehamilannya bisa di selamatkan." Suara Bu Arum terdengar bergetar."Aamiin, doakan saja, Ma.""Pasti mama doakan."Selesai menerima telepon, Aksara mengambil pesanan dan kembali ke kamar perawatan. Saat masuk, ia melihat Marisa tengah memejam. Pelan-pelan diletakkannya kresek makanan di atas meja. Aksara duduk di kursi sebelah brankar.Keti
Bu Haji kaget melihat Aksara bersama suaminya di ruang tamu. Wanita itu duduk di sebelah Pak Kyai setelah menyambut uluran tangan Aksara.Hati bertanya-tanya dengan maksud kedatangan Aksara. Namun perasaannya juga tak enak saat melihat wajah sang suami dengan kening berlipat dan sorot mata tak bersahabat."Apa yang Ummi minta pada keluarganya Aksara beberapa hari yang lalu?" tanya Pak Kyai pada Bu Haji. Masih dengan nada sabar."Apa pantas Ummi nyodorin anak perempuan kita pada pria beristri yang nggak ada niat berpoligami?" sambung Pak Kyai sebelum Bu Haji menjawabnya.Bu Haji tampak kebingungan dan takut melihat suaminya. Aksara yang duduk di sana, tenang memperhatikan Pak Kyai yang berusaha meredam amarahnya. Berusaha tetap menjaga maruah istrinya di hadapan Aksara meski amarah meletup dalam dada. Supaya para pekerja di rumahnya juga tidak mendengar percakapan mereka."Aksara, tidak bersedia poligami. Dia menolak permintaan Ummi. Abah salut padanya, dia jujur nggak akan mampu berba
Saat hendak mengambil motor di bawah pohon Mangga, tanpa sengaja Aksara bersitatap dengan Hafsah yang berdiri di balik jendela kamarnya. Tatapan mata gadis itu sayu dan detik selanjutnya, Hafsah mundur ke belakang. Sedangkan Aksara segera menstater motor dan pergi dari sana.Di ruang tamu, Pak Kyai dan Bu Haji masih duduk dan diam. Wajah lelaki sepuh itu menampilkan guratan kemarahan."Abah nggak habis pikir dengan tindakan, Ummi. Sungguh memalukan. Bisa-bisanya menyodorkan anak gadis kita satu-satunya pada orang yang pernah menolaknya. Apa yang ada dipikiran kalian ini. Di mana harga diri dan martabat kita?" Pak Kyai berkata melampiaskan kekecewaannya. Wajahnya penuh rona amarah."Ummi nggak akan bertindak kalau nggak mendapatkan dorongan dan persetujuan dari Hafsah, Bah. Hafsah sangat mencintai Aksara dan ummi yakin kalau Hafsah nggak mungkin dzolim pada Marisa.""Tapi apa Ummi sadar kalau perbuatan kalian bisa menyakiti hati seorang istri? Ummi dengar, kan? Kalau Marisa mengalami p
Marisa menarik tangannya dari genggaman Aksara. Dadanya terasa sesak mendengar pertanyaan singkat tadi. Satu kalimat laksana sayatan yang melukai. "Mas menuduhku?" tanya Marisa dengan suara serak."Nggak, Sayang. Maaf, mas mungkin salah bertanya." Aksara merasa bersalah.Marisa tersenyum getir. "Mas, sepertinya memang belum mengenaliku." Wanita itu beringsut ke belakang. Kakinya naik ke atas tempat tidur, kemudian berbaring miring membelakangi sang suami sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Air mata mengalir tanpa henti membasahi bantal.Aksara serba salah. Dia bangkit, memutari ranjang, dan duduk tepat di depan istrinya. "Maafkan mas. Mas nggak bermaksud menuduhmu." Aksara bicara sambil mengusap air mata yang mengalir melewati pangkal hidung istrinya. "Aku mau tidur, Mas," tolak Marisa menepiskan tangan sang suami. Hatinya terasa sangat perih. Ingin rasanya dia marah, berteriak kenapa sampai hati Aksara memiliki pemikiran seperti itu padanya. Aksara tidak menuduh, tapi p
Hingga jam istirahat untuk makan siang, Marisa tidak melihat Daniel datang ke kantor. "Ar, aku nggak lihat Pak Daniel masuk kantor hari ini?" tanya Marisa ketika mereka duduk di kantin dan menikmati makan siangnya."Kamu belum tahu, ya, kalau Pak Daniel hendak bercerai dengan istrinya," jawab Ari lirih. Membuat Marisa terperanjat. "Kamu serius?"Ari mengangguk."Kenapa cerai, selama ini mereka terlihat baik-baik saja.""Mana tahu kita permasalahan rumah tangga mereka, Ris.""Apa Pak Daniel selingkuh?" tebak Marisa. Dengan dasar karena lelaki itu pernah merayu dan hendak menjadikannya istri kedua.Ari mengangkat bahu tanda tidak tahu. "Alasannya masih menjadi rahasia. Nggak ada satu orang pun yang tahu. Tapi kalau Pak Daniel yang selingkuh, kenapa bukan istrinya yang menggugat cerai? Justru Pak Daniel sendiri yang lebih dulu mengajukan gugatan ke pengadilan. Apa mungkin istrinya yang selingkuh ya, Ris?""Masa', sih?""Bisa jadi. Kita nggak tahu permasalahan mereka. Walaupun punya sua
Daniel memperhatikan Marisa hingga wanita itu beranjak pergi dari sana setelah menerima telepon. Mungkin suaminya sudah menjemput. Kini ia masih diam menatap pada bangku semen yang telah kosong di bawah sana. Iri dengan kebahagiaan Marisa dan Aksara. Beruntung sekali laki-laki itu mendapatkan Marisa. Pasangan muda yang sebentar lagi menimang cahaya mata.Dulu ia dan Shela juga pernah merasakan fase yang sama. Mengecap kebahagiaan hingga beberapa tahun pernikahan. Ketika anak-anak mulai sekolah, dirinya sibuk dengan pekerjaan, dan Shela mulai bosan diam di rumah. Kemudian mencari kesibukan di luar, komunikasi yang lemah, perselingkuhan, dan akhirnya membuat hubungan mereka sekarang bagai berada di ujung tanduk.Ditariknya napas dalam-dalam. Meraih gagang cangkir disebelahnya dan meneguk habis kopi hitam yang tinggal separuh. Kalau bukan karena anak-anak, rasanya enggan dia pulang ke rumah. Kadang melihat wajah kedua anaknya timbul rasa bersalah. Kenapa dirinya tidak bisa memaafkan ma
Sambil mengemas pakaian, Marisa merasa berat hati meninggalkan sang mertua. Tidak enak juga pergi dari sana dalam situasi tegang begini. Di mana persolan penyebar berita belum terungkap. Sedangkan keluarga mereka difitnah sebagai pelakunya. Apa dia akan pergi sebagai seorang pengecut?Namun bertahan juga bukan pilihan yang tepat untuk kesehatan jiwanya. Tiap kali mengingatnya, menyebabkan perut terasa mulas dan menegang. Marisa tidak ingin kehilangan bayinya. Dia juga tidak ingin diuji dengan Aksara akan berpaling arah, iba, dan jatuh cinta pada Hafsah yang kini seolah menjadi korban.Marisa duduk di tepi pembaringan, menatap gerimis di luar sana lewat jendela kamar yang terbuka. Kalimat sang mertua masih terngiang di telinga. "Mama nggak apa-apa kalian pindah. Supaya kamu bisa menjalani kehamilanmu dengan tenang dan aman, Ris. Nggak usah pikirkan mama. Sejak dulu mama sudah terbiasa menghadapi semua ini. Kasusnya kakak iparmu malah lebih parah dari kejadian ini dan mama sanggup mela
Hening. Jauh lebih hening daripada suasana di rumah lama mereka. Apalagi sekarang berada di ketinggian kurang lebih 18 meter. Hanya ada mereka berdua di apartemen itu.Tidak perlu khawatir, jika suara yang lolos dari bibir keduanya akan terdengar orang lain. Hanya ada mereka, menikmati malam dalam balutan kemesraan. Peluh yang luruh bersaing dengan derasnya gerimis di luar.Baju yang tadi dibeli, masih berada di paper bag atas meja rias. Aksara tidak memberi kesempatan pada Marisa untuk berganti pakaian. Padahal dia yang menginginkan sang istri membeli gaun transparan itu.Aksara mengangsurkan satu gelas air pada Marisa setelah beberapa saat mereka istirahat dari pergulatan panjang. Marisa menahan selimut yang menutupi dadanya ketika berada dalam rengkuhan sang suami yang duduk bersandar di kepala ranjang. Pria itu mengecup puncak kepala istrinya beberapa kali seraya berkata terima kasih."Maafkan aku ya, Mas. Telah menyebabkan mas harus mengambil keputusan pindah dari rumah mama. Pa