Marisa menarik tangannya dari genggaman Aksara. Dadanya terasa sesak mendengar pertanyaan singkat tadi. Satu kalimat laksana sayatan yang melukai. "Mas menuduhku?" tanya Marisa dengan suara serak."Nggak, Sayang. Maaf, mas mungkin salah bertanya." Aksara merasa bersalah.Marisa tersenyum getir. "Mas, sepertinya memang belum mengenaliku." Wanita itu beringsut ke belakang. Kakinya naik ke atas tempat tidur, kemudian berbaring miring membelakangi sang suami sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Air mata mengalir tanpa henti membasahi bantal.Aksara serba salah. Dia bangkit, memutari ranjang, dan duduk tepat di depan istrinya. "Maafkan mas. Mas nggak bermaksud menuduhmu." Aksara bicara sambil mengusap air mata yang mengalir melewati pangkal hidung istrinya. "Aku mau tidur, Mas," tolak Marisa menepiskan tangan sang suami. Hatinya terasa sangat perih. Ingin rasanya dia marah, berteriak kenapa sampai hati Aksara memiliki pemikiran seperti itu padanya. Aksara tidak menuduh, tapi p
Hingga jam istirahat untuk makan siang, Marisa tidak melihat Daniel datang ke kantor. "Ar, aku nggak lihat Pak Daniel masuk kantor hari ini?" tanya Marisa ketika mereka duduk di kantin dan menikmati makan siangnya."Kamu belum tahu, ya, kalau Pak Daniel hendak bercerai dengan istrinya," jawab Ari lirih. Membuat Marisa terperanjat. "Kamu serius?"Ari mengangguk."Kenapa cerai, selama ini mereka terlihat baik-baik saja.""Mana tahu kita permasalahan rumah tangga mereka, Ris.""Apa Pak Daniel selingkuh?" tebak Marisa. Dengan dasar karena lelaki itu pernah merayu dan hendak menjadikannya istri kedua.Ari mengangkat bahu tanda tidak tahu. "Alasannya masih menjadi rahasia. Nggak ada satu orang pun yang tahu. Tapi kalau Pak Daniel yang selingkuh, kenapa bukan istrinya yang menggugat cerai? Justru Pak Daniel sendiri yang lebih dulu mengajukan gugatan ke pengadilan. Apa mungkin istrinya yang selingkuh ya, Ris?""Masa', sih?""Bisa jadi. Kita nggak tahu permasalahan mereka. Walaupun punya sua
Daniel memperhatikan Marisa hingga wanita itu beranjak pergi dari sana setelah menerima telepon. Mungkin suaminya sudah menjemput. Kini ia masih diam menatap pada bangku semen yang telah kosong di bawah sana. Iri dengan kebahagiaan Marisa dan Aksara. Beruntung sekali laki-laki itu mendapatkan Marisa. Pasangan muda yang sebentar lagi menimang cahaya mata.Dulu ia dan Shela juga pernah merasakan fase yang sama. Mengecap kebahagiaan hingga beberapa tahun pernikahan. Ketika anak-anak mulai sekolah, dirinya sibuk dengan pekerjaan, dan Shela mulai bosan diam di rumah. Kemudian mencari kesibukan di luar, komunikasi yang lemah, perselingkuhan, dan akhirnya membuat hubungan mereka sekarang bagai berada di ujung tanduk.Ditariknya napas dalam-dalam. Meraih gagang cangkir disebelahnya dan meneguk habis kopi hitam yang tinggal separuh. Kalau bukan karena anak-anak, rasanya enggan dia pulang ke rumah. Kadang melihat wajah kedua anaknya timbul rasa bersalah. Kenapa dirinya tidak bisa memaafkan ma
Sambil mengemas pakaian, Marisa merasa berat hati meninggalkan sang mertua. Tidak enak juga pergi dari sana dalam situasi tegang begini. Di mana persolan penyebar berita belum terungkap. Sedangkan keluarga mereka difitnah sebagai pelakunya. Apa dia akan pergi sebagai seorang pengecut?Namun bertahan juga bukan pilihan yang tepat untuk kesehatan jiwanya. Tiap kali mengingatnya, menyebabkan perut terasa mulas dan menegang. Marisa tidak ingin kehilangan bayinya. Dia juga tidak ingin diuji dengan Aksara akan berpaling arah, iba, dan jatuh cinta pada Hafsah yang kini seolah menjadi korban.Marisa duduk di tepi pembaringan, menatap gerimis di luar sana lewat jendela kamar yang terbuka. Kalimat sang mertua masih terngiang di telinga. "Mama nggak apa-apa kalian pindah. Supaya kamu bisa menjalani kehamilanmu dengan tenang dan aman, Ris. Nggak usah pikirkan mama. Sejak dulu mama sudah terbiasa menghadapi semua ini. Kasusnya kakak iparmu malah lebih parah dari kejadian ini dan mama sanggup mela
Hening. Jauh lebih hening daripada suasana di rumah lama mereka. Apalagi sekarang berada di ketinggian kurang lebih 18 meter. Hanya ada mereka berdua di apartemen itu.Tidak perlu khawatir, jika suara yang lolos dari bibir keduanya akan terdengar orang lain. Hanya ada mereka, menikmati malam dalam balutan kemesraan. Peluh yang luruh bersaing dengan derasnya gerimis di luar.Baju yang tadi dibeli, masih berada di paper bag atas meja rias. Aksara tidak memberi kesempatan pada Marisa untuk berganti pakaian. Padahal dia yang menginginkan sang istri membeli gaun transparan itu.Aksara mengangsurkan satu gelas air pada Marisa setelah beberapa saat mereka istirahat dari pergulatan panjang. Marisa menahan selimut yang menutupi dadanya ketika berada dalam rengkuhan sang suami yang duduk bersandar di kepala ranjang. Pria itu mengecup puncak kepala istrinya beberapa kali seraya berkata terima kasih."Maafkan aku ya, Mas. Telah menyebabkan mas harus mengambil keputusan pindah dari rumah mama. Pa
Pada saat mereka masih asyik berbincang, mobil Mahika memasuki pekarangan. Wanita itu menggandeng Ubed memasuki rumah sang mertua. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bu Arum, Sarah, dan Mbak Siti menjawab bersamaan.Sarah berdiri menyalami Mahika dan Ubed. Dua wanita itu juga saling kenal meskipun tidak seakrab seperti Sarah dan Marisa. Bahkan Mahika juga tahu kalau Sarah dulu sempat dekat dengan suaminya. Namun mereka sudah sama-sama dewasa. Tak perlu lagi banyak drama. Semua hanya masa lalu dan kini mereka memiliki kehidupan masing-masing. "Saya pamit dulu ya, Bulik, Mbak Mahika," pamit Sarah setelah sempat ngobrol sekedarnya."Monggo, Mbak Sarah," jawab Mahika."Sekali lagi makasih ya, Sarah," kata Bu Arum.Sarah mengangguk sambil tersenyum. Kemudian lekas berlalu dari sana. Bu Arum menciumi pipi sang cucu dan mengajak mereka masuk rumah.***LS***Sidang mediasi baru saja selesai. Daniel dan Shela gagal berdamai. Damai dalam artian kembali mempertahankan pernikahan. Tapi Danie
Biasanya kalau Aksara terlambat pulang, Marisa akan makan malam bersama mama mertuanya. Makan kemudian dilanjutkan bercerita dan bercanda. Tapi sekarang dia sendirian menikmati masakan yang diminta suaminya tadi pagi. Dan di sana, mama mertuanya mungkin sedang makan malam ditemani oleh Mbak Siti.Marisa menghabiskan makannya dengan cepat. Kemudian memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci, lalu duduk di balkon sambil menanti mesin itu menyelesaikan pekerjaannya. Tak lupa membawa setoples cookies yang dibawa dari rumah ibunya hari Minggu yang lalu.Untungnya bayi dalam perut tak lagi rewel setelah sempat pendarahan waktu itu. Hanya mual di awal pagi, tapi tidak sampai muntah. Setelah minum teh panas atau air hangat, rasa mualnya sudah berkurang dan dia bisa beraktivitas seperti biasanya.***LS***Sebagai Site Engineering, tentu beban pekerjaan dan tanggungjawab Aksara terhadap perusahaan makin besar. Walaupun punya tim yang terbilang solid, tapi dia tidak bisa begitu saja lepas peng
Marisa segera melepas mukena dan melipatnya setelah mencium tangan sang suami usai mereka salat subuh. Ketika wanita itu hendak berdiri, Aksara menahan lengannya. Membuat Marisa kembali duduk di samping suaminya."Aku mau masak, Mas.""Nggak usah masak. Nanti mas belikan nasi bakar di bawah," cegah Aksara. Di lantai dasar memang ada kedai kecil penjual kopi dan nasi. Buka hanya sampai jam sembilan pagi saja.Aksara merengkuh pundak istrinya. Mencium aroma wangi shampo di rambut Marisa. Apapun aroma yang tercium, sudah menjadi candu baginya. Membangkitkan gairah tak peduli kapan pun, terlebih sekarang mereka hanya tinggal berdua. Tak ada yang membuat canggung saat satu keinginan paling mendasar itu minta dituntaskan. Malam, sehabis salat subuh, atau ketika mereka rebahan siang hari di akhir pekan. Kehamilan Marisa tidak menghalangi mereka untuk berasmara."Mas, akan terlambat ke kantor nanti!" Marisa mengingatkan suaminya sambil menunjuk jam di dinding."Baru jam lima. Masih banyak wak