"Itu orangnya, Bos. Naik ojek," tunjuk Rian ketika melihat perempuan memakai celana jeans dan jaket Levis menaiki ojek dipunggungnya menyandang tas ransel. "Ayo ikuti ...." Mobil mereka mengikuti Aina hingga ke universitas, Aina langsung menuju ke aula Balairung, di sana formulir pendaftaran disediakan, banyak calon mahasiswa yang tengah mengambil formulir, mengingat tes UMPTN akan dilaksanakan. Agung melakukan perjalanan bisnis memantau perkebunannya di Sumatera, Riau dan Jambi. Dia benar-benar terkejut mendengar kabar jika Aina dan Hasan sudah menikah. Dia memang dasar lelaki keras kepala, baginya pernikahan mereka bukan akhir segalanya, mereka yang menikah masih bisa bercerai. Dan visi misi-nya sekarang adalah membuat suami istri itu bercerai. "Rian, kau pantau dari luar, ke mana wanita itu pergi," perintah Agung. Rian berjalan menyusuri ruang Balairung yang luas, dengan mudah dia melihat Aina di stand formulir tipe A, gadis itu membayar formulir dan bergegas keluar. Aina menca
Aina masih merasakan sakit di lututnya, namun dia harus menyiapkan makan malam untuk suaminya, dia hanya memasak tumisan dan sambal teri yang bahannya sudah tersedia di kulkas, selepas magrib, Hasan pulang dengan wajah kelelahan.Sehabis mandi, dia segera ke meja makan. Istrinya sudah menyiapkan makan malam."Maaf, Bang. Cuma bisa masak ini, tadi gak sempat belanja." Hasan memperhatikan hidangan di atas meja, tumis sawi dan sambal teri. Hasan mengambil makanan dengan semangat, karena memang sudah lapar."Gini saja sudah enak, bukan karena bahannya yang sederhana, tetapi masakan kamu memang selalu enak, apapun yang kamu masak."Aina tersenyum memdengar sanjungan dari suaminya, dia segera menuangkan segelas air ke hadapan suaminya."Kau jadi ke universitas?""Jadi.""Ngambil jurusan apa?""Pendidikan bahasa Inggris.""Pendidikan? Jadi mau jadi guru?""Ah, iya ... Aku ada membaca artikel parenting di majalah, kata ustazahnya profesi bagi wanita menikah yang tepat adalah guru, selain men
Setelah Hasan pergi kerja, Aina tidak tahu apa yang harus dilakukan di rumah seharian. Dia segera membuka-buka buku dan kumpulan soal-soal untuk menghadapi UMPTN. Hari sudah menunjukkan jam sepuluh pagi ketika bel rumahnya ada yang memencet. Dia yang tengah berada di lantai atas, tertatih-tatih menuruni tangga, membuka pintu dengan riang tanpa rasa curiga sedikitpun."Selamat pagi, Nona Aina?""Pak Agung? Kenapa ke sini?" Aina cukup terkejut, sepertinya pria yang menabraknya itu tidak cukup bertemu kemarin, dia merasa tidak nyaman dengan kedatangan lelaki lain di saat suaminya tidak di rumah."Saya datang membawakan tonik, minuman kesehatan agar Nona Aina cepat pulih, saya juga membawa minyak butbut kalau dioleskan ke luka akan cepat kering, ada juga multivitamin dan buah-buahan."Lelaki itu menyodorkan dua kantung plastik yang berisi barang-barang yang barusan di sebutkan."Tidak perlu seperti ini, Pak Agung. Luka saya hanya luka kecil, sebentar saja sudah sembuh.""Saya hanya meras
Sudah lebih dari satu Minggu, Agung tidak menemui Aina, hal itu membuat wanita muda itu lega, dia mungkin terlalu berlebihan dalam berpikir, bisa jadi lelaki itu memang tulus hanya sekedar bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Aina bermaksud memberitahukan kedatangan Agung jika lelaki itu menemuinya kembali kepada Hasan, namun setelah beberapa hari lelaki itu tidak menampakkan batang hidungnya, gadis itu mengabaikan memberitahu hal itu. Dia hanya tidak ingin suaminya itu kuatir, lelaki itu sudah banyak pekerjaan dan banyak pikiran tentang perusahaan dan hutang-hutangnya, Aina tidak ingin membebani tentang masalah yang dianggapnya sepele.Luka di kaki Aina juga tidak parah dan cepat sembuh, gadis itu hanya menghabiskan waktunya di rumah untuk mempersiapkan ujian masuk universitas negeri.Hari ini Jum'at sore, Hasan sudah pulang dari jam empat tadi. Aina masih sibuk berkutat mempelajari soal-soal di buku diktatnya, dia sampai lupa mandi menyambut suaminya, karena dia memang sedang dat
Ketika mereka akan naik ke eskalator, langkah ketiga wanita itu terhenti melihat pemandangan di depannya. Mereka melihat lelaki yang sangat mereka kenal, bahkan sangat, sangat dikenal, tengah turun dari eskalator sambil menggandeng tangan seorang wanita keduanya bercengkrama bahkan tertawa gembira.Wanita di sebelah lelaki itu memakai autfit selutut warna biru muda dipadukan dengan blazer hitam, membuat penampilannya serasi dengan lelaki berbaju kemeja kotak-kotak warna biru. Mereka seperti pasangan yang tengah berkencan jika orang tidak mengetahui status pria itu. Jarak Aina sekitar sepuluh meter dari mereka, melihat pemandangan itu seolah kaki Aina membeku. Hayana dan Ayuni yang juga melihat semua itu tercengang tidak percaya, Ayuni bahkan sudah mengeluarkan taring darah mudanya untuk mendamprat Abang kebanggaannya itu."Hati-hati berjalan, kenapa wanita suka sekali menyusahkan diri dengan memakai sepatu hak tinggi seperti ini? Memangnya tidak sakit dibawa berjalan?" ujar Hasan sam
Aina duduk di deret ke tiga bersama Hayana dan Ayuni di gedung bioskop, suara bioskop yang kuat dan menggema, serta lampu yang padam hanya menyisakan cahaya dari layar film, membuat suasana hening, hanya terdengar musik dan dialog dari film tersebut. Ayuni sudah membeli dua popcorn ukuran jumbo dan minuman botol tiga buah. Mereka menikmati film dengan khusuk dan tenang. Hanya Aina yang dengan susah payah berkonsentrasi pada jalan cerita film di depannya. Bagaimana mau konsentrasi menonton jika suasana hatinya sedang seperti ini. Bayangan Hasan menggandeng tangan wanita itu sukses menyita seluruh pikirannya. Hayana yang mengerti keadaan kakak ipar di sampingnya menghela napas berat, ingin menghibur gadis itu, tetapi dia tidak tahu harus berkata apa. Aina berusaha mengalihkan perhatiannya pada cerita film, dia mencoba berkonsentrasi penuh. Dia ketinggalan konsentrasi di adegan-adegan awal, namun ketika ditilik cerita film ini cukup seru. "Ini yang istrinya siapa? Wanita bercadar itu
Aina menghela napas kuat, dia mentralisir degupan jantungnya dan menahan amarahnya, entah kenapa kemarahan yang sudah mereda dari tadi, melihat laki-laki ini muncul kembali."Sudah pulang, Bang?" tanyanya dengan suara datar, tanpa kemesraan dan tanpa kelembuta seperti biasanya "Dari mana? Jam segini baru pulang!" dengus lelaki itu, tanpa menoleh ke arahnya."Dari rumah kak Hayana," jawabnya singkat dan beringsut menuju tangga.Namun sebelum melangkah, langkahnya dihentikan dengan suara dingin lelaki itu lagi."Kanapa telponmu tidak aktif-aktif? Aku sudah menelponmu dari tadi. Untuk apa dibelikan handphone kalau gak bisa ditelpon!""Oh, tadi HP memang sengaja kumatikan ketika nonton film.""Aku sudah menunggumu dari jam tiga sore, aku di sini kayak orang bego, tahu?""Oh ya? Kenapa Abang pulang cepat? Bukankah tadi pagi bilangnya mau pulang malam lagi? Aku sengaja pulang malam, biar gak kayak orang bego di rumah sendirian.""Kenapa HP nya dimatikan?""Entahlah, mungkin aku masih belum
Hasan menyugar rambutnya dengan perasaan kesal, kenapa dia harus kesal? Bukankah apa yang dibilang istrinya memang benar apa yang dia ajarkan? Aina gadis yang cerdas, dia tidak perlu melampiaskan amarahnya melihat sesuatu yang tidak pantas yang dilakukan suaminya di depan matanya, dia akan mencari celah, agar lelaki itu sadar dengan sendirinya. Hasan tahu jika istrinya itu wanita yang cerdas, dia awalnya tertarik dengan Aina juga karena kecerdasannya itu, bukan karena wajah cantiknya, karena saat itu Aina berpenampilan jelek. Perasaan bersalah menghantuinya, namun rasa gengsi membuatnya tidak serta merta meminta maaf pada istrinya. Hasan berjalan mondar-mandir tidak jelas di ruang tamu, dia perlu menenangkan diri untuk menjernihkan pikirannya, segera dia ambil kunci mobil di atas nakas, dia segera keluar, membuka pintu pagar dan menyalakan mesin mobil.Aina yang mendengar mesin mobil menyala, beringsut mengintip dari jendela kamar, dia melihat mobil suaminya meninggalkan rumah, pagar