"Kau harus tahu, Dave. Putra keluarga Latief itu membantu Aina bukan karena apa-apa, dia berkorban demikian besar karena dia sangat mencintai Putri kita, dia tidak tahu jika Aina itu sangat cantik, dia hanya tahu Aina dalam tampilan buruk rupa, tetapi dia sudah jatuh cinta pada Putri kita, bukankah itu cinta sejati?""Yah, siapa pemuda yang kau maksud itu?""Hasan. Hasan Basri Latief."Mendengar nama itu Dave bagai disengat lebah. Tentu saja putrinya akan sangat mengenal anak-anak dari keluarga Latief karena ibu mereka seorang pelayan di rumah itu. Namun mendengar Hasan sangat mencintai putrinya, Dave seolah-olah seperti tengah di potong lehernya, dia sudah jelas-jelas ingin membuat pemuda itu menjadi cucu menantunya."Apakah ....?" Dave tidak bisa melanjutkan kata-katanya."Yah, Hasan adalah menantu kita. Enam bulan lalu, dia sudah mengucapkan ikrar di depan penghulu. Dia sudah berjanji menjadi pelindung Putri kita selamanya."Dave tidak mampu berkata-kata. Suasana menjadi hening dan
Aina pulang dari hotel langsung masuk ke dalam rumah, tubuhnya yang nyeri dan pegal membuatnya sangat tidak nyaman. Dia ingin langsung tiduran, namun rasa lapar membuatnya harus mencari sesuatu untuk di makan. Untunglah lauk rendang yang ibunya bawa kemarin masih disimpan di kulkas tinggal dihangatkan. Ketika membuat magicom, dia sangat kecewa, nasi di sana sudah mengering. Tentu saja, semalam Hasan tidak pulang ke rumah untuk makan malam, sehingga nasi satu Magicom terbuang sia-sia. Akhirnya Aina kembali harus menanak nasi. Menunggu nasi matang, dia melaksanakan salat Zuhur dahulu, dia hanya masak nasi sedikit sehingga cepat matang. Ketika mengambil nasi di meja makan, dia mengingat jika suaminya kini mungkin tengah makan siang dengan meriah di rumah keluarganya, rasa sesak kembali menggelayut di dadanya, kapan dia bisa dengan bebas mendampingi suaminya bertandang ke rumah keluarganya? Aina merasa lebih baik ketika menyuap lauk rendang ke mulutnya, Hasan mungkin sedang makan lauk y
"Kau bekerja membantu di warung bakso? Kenapa kau lakukan itu, Sayang? Kau tidak mengindahkan apa yang terjadi tadi malam? Kau tidak baik-baik saja kenapa bekerja berat? Kau mau sakit? Apa ini caramu menghukum Abang, ha?" Mendengar perkataan suaminya kepala Aina bertambah pening, bagaimana tidak? Dia sudah dipusingkan masalah warung baksonya sekarang laki-laki itu sekarang merajuk seperti bocah yang minta mainan tetapi tidak dituruti oleh orang tuanya. Aina malas berdebat, dia sudah tidak punya energi untuk meladeni omongan suaminya. "Maaf, Bang. Iya, sebentar lagi aku pulang." "Lagian mau ke warung kenapa tidak menelpon Abang dulu? Apa gunanya handphone kalau tidak digunakan." "Iya, aku sebentar lagi pulang, ini mau ngabisin bakso dulu, sudah dibuatin sama Ihsan sayang kalau gak di makan. Abang mau dibawain bakso?" Hasan menghela napas, membuang semua kekesalan. Pulang-pulang kepala penat berharap disambut sama istri malah istrinya keluyuran, rasanya jengkel sekali. "Gak usah,
Aina memandang wajah suaminya yang tengah asyik menikmati semangkuk bakso pedas. Wajah lelaki itu memerah menahan rasa pedas kuah bakso, keringat bercucuran membasahi dahinya. Sesekali Hasan menyeka keringatnya dengan tissue yang tersedia di meja, sesekali juga menyeka hidungnya yang mengeluarkan ingus. Bibir lelaki itu yang memang sudah merah bertambah merah seperti dipakaikan gincu, menampah ketampanannya.Pantas saja banyak wanita yang naksir lelaki ini, Aina sendiri selama kenal dengan lelaki ini telah menghitung wanita yang terang-terangan berminat pada suaminya ini, ada Nirmala, Melanie, Nurma, dan yang terakhir Laura, gadis cantik yang baru ketemu dengannya kemarin. Semua deretan perempuan itu berasal dari kalangan berada, hanya dia yang cuma seorang anak pembantu. Itulah yang membuat Aina bertekad untuk meningkatkan kualitas hidupnya agar tidak terlalu jomplang bersanding dengan lelaki ini.Makanya menyangkut usahanya di warung bakso ini, itu sebagai pembuktian bahwa dia bisa
"Lah itu kan sudah Abang kasih ATM? Uang yang ada di ATM itu semua nafkah Abang untuk Aina, itu semua hak Aina, milik Aina. Abang gak berhak lagi dengan uang yang di dalam sana.""Memangnya berapa saldo di ATM itu?""Loh, memangnya Aina gak pernah mengecek saldonya?"Aina hanya menggeleng dengan bloonnya, Hasan hanya meringis sedih."Selama ini kau ambil uang untuk kebutuhan sehari-hari gak mengecek saldonya?"Aina hanya menggeleng lagi, dia memang beberapa kali ke mesin ATM untuk mengambil uang, namun dia tidak pernah mengecek saldonya, dia percaya saja walau setengah dari gaji Hasan yang masuk rekening itu sudah cukup untuk kebutuhan mereka berdua."Makanya, cek sana!"Hasan beringsut dari tempat tidur menuju nakas, mengambil sesuatu di laci."Nih, besok ambil di bank. Uang tujuh puluh lima juta gak bisa diambil lewat ATM, ambil dan langsung bayarkan warung bakso itu,"ujar lelaki sambil memberikan buku tabungan.Aina membelalak matanya setelah membuka-buka buku tabungan itu. "Kok b
Pagi ini Aina diantar ke warung bakso, hari memang masih pagi-pagi sekali. Hasan langsung menuju hotel tempat mister Dave menginap. Mereka akan memiliki agenda yang cukup melelahkan, akan meninjau perkebunan dan lokasi pembangunan pabrik. Jarak yang ditempuh selama enam jam dengan jalan yang tidak mulus cukup membuat Hasan kuatir, apakah mister Dave yang sudah sepuh itu mampu melakukan perjalanan ini. Sekarang Hasan meminta Laura agar duduk di bangku belakang, alasannya dengan mengemudi, dia bisa menunjukkan beberapa tempat kepada mister Dave. Dave yang telah mengetahui bahwa ternyata Hasan adalah menantunya, tentu saja sangat setuju, bahkan dia berkali-kali membatasi interaksi antara Laura dan Hasan sehingga membuat gadis itu kesal dengan kakeknya."Berapa lama perjalanan ke perkebunan?" tanya Dave."Sekitar enam jam, setelah dari pabrik kita langsung ke kantor saya di kabupaten.""Oh?" Dave sebenarnya ingin sekali membahas masalah istri Hasan, yang baru diketahui sebagai anaknya.
Aina sangat gembira ketika datang ke warung bakso, walaupun warung belum dibuka, dia dengan senang hati membantu Ihsan membuat bakso untuk stok satu Minggu ini. Warung bakso akan dibuka pukul sepuluh pagi, dari subuh teman-temannya sudah bekerja.Adonan bakso sendiri, Ihsan sudah memesannya di tempat penggilingan bakso, dia memberi catatan resep baksonya yang sekalian diadon di penggilingan, orang penggilingan yang mengantar adonan bakso itu ke warung setiap Minggu pagi untuk dibuat dan stok selama satu Minggu. Aina dengan semangat menceritakan negosiasinya dengan suami tentang pendanaan pembelian warung bakso ini, teman-temannya sangat senang, mereka tidak perlu lagi kuatir mengenai masalah tersebut.Tepat jam sepuluh Kamal membuka warung baksonya, Anisa sudah selesai menyiapkan meja, kursi dan peralatan. Ihsan sudah menyiapkan racikan bakso dan kuah panas, baru dibuka warung mereka, ternyata pelanggan sudah ada yang menunggu di teras warung. Ketika Kamal membuka rolling door warung
"Ha? Abang promosiin ya? Jangan dong, Bang. Warung ini tidak cocok untuk menjamu tamu, ini hanya warung kelas bawah yang dipakai remaja nongkrong. Restauran yang menyediakan menu bakso kan banyak." "Aku tidak menawarkannya, mister Dave sendiri yang mau ke sini. Ayo, ikut Abang menyapa mereka." "Kenapa Abang tidak menelponku dulu? Kalau nelpon kan aku bisa menyiapkan tempat yang nyaman, aku belum sempat memebersihakan tempat di belakang, di sana pasti kotor," ujar Aina sambil melepaskan celemek dan menggantungkan di dinding dapur. "Maaf, Sayang. Lupa tadi, soalnya jadwal pertemuannya sangat padat." "Ya, sudah. Ayo ...." Hasan menggandeng tangan istrinya menuju di mana Dave berada. Di sana Dave dan Laura menatap mereka berdua dengan pandangan yang berbeda. Dave menetap mereka dengan binar senang yang tidak bisa diungkapkan, kedua netranya menelisik dengan bahagia. Dia menatap Aina secara detail, terutama bagian matanya, mata itu ... Cantik seperti mata Nur, namun warna matanya cokl