"Lah itu kan sudah Abang kasih ATM? Uang yang ada di ATM itu semua nafkah Abang untuk Aina, itu semua hak Aina, milik Aina. Abang gak berhak lagi dengan uang yang di dalam sana.""Memangnya berapa saldo di ATM itu?""Loh, memangnya Aina gak pernah mengecek saldonya?"Aina hanya menggeleng dengan bloonnya, Hasan hanya meringis sedih."Selama ini kau ambil uang untuk kebutuhan sehari-hari gak mengecek saldonya?"Aina hanya menggeleng lagi, dia memang beberapa kali ke mesin ATM untuk mengambil uang, namun dia tidak pernah mengecek saldonya, dia percaya saja walau setengah dari gaji Hasan yang masuk rekening itu sudah cukup untuk kebutuhan mereka berdua."Makanya, cek sana!"Hasan beringsut dari tempat tidur menuju nakas, mengambil sesuatu di laci."Nih, besok ambil di bank. Uang tujuh puluh lima juta gak bisa diambil lewat ATM, ambil dan langsung bayarkan warung bakso itu,"ujar lelaki sambil memberikan buku tabungan.Aina membelalak matanya setelah membuka-buka buku tabungan itu. "Kok b
Pagi ini Aina diantar ke warung bakso, hari memang masih pagi-pagi sekali. Hasan langsung menuju hotel tempat mister Dave menginap. Mereka akan memiliki agenda yang cukup melelahkan, akan meninjau perkebunan dan lokasi pembangunan pabrik. Jarak yang ditempuh selama enam jam dengan jalan yang tidak mulus cukup membuat Hasan kuatir, apakah mister Dave yang sudah sepuh itu mampu melakukan perjalanan ini. Sekarang Hasan meminta Laura agar duduk di bangku belakang, alasannya dengan mengemudi, dia bisa menunjukkan beberapa tempat kepada mister Dave. Dave yang telah mengetahui bahwa ternyata Hasan adalah menantunya, tentu saja sangat setuju, bahkan dia berkali-kali membatasi interaksi antara Laura dan Hasan sehingga membuat gadis itu kesal dengan kakeknya."Berapa lama perjalanan ke perkebunan?" tanya Dave."Sekitar enam jam, setelah dari pabrik kita langsung ke kantor saya di kabupaten.""Oh?" Dave sebenarnya ingin sekali membahas masalah istri Hasan, yang baru diketahui sebagai anaknya.
Aina sangat gembira ketika datang ke warung bakso, walaupun warung belum dibuka, dia dengan senang hati membantu Ihsan membuat bakso untuk stok satu Minggu ini. Warung bakso akan dibuka pukul sepuluh pagi, dari subuh teman-temannya sudah bekerja.Adonan bakso sendiri, Ihsan sudah memesannya di tempat penggilingan bakso, dia memberi catatan resep baksonya yang sekalian diadon di penggilingan, orang penggilingan yang mengantar adonan bakso itu ke warung setiap Minggu pagi untuk dibuat dan stok selama satu Minggu. Aina dengan semangat menceritakan negosiasinya dengan suami tentang pendanaan pembelian warung bakso ini, teman-temannya sangat senang, mereka tidak perlu lagi kuatir mengenai masalah tersebut.Tepat jam sepuluh Kamal membuka warung baksonya, Anisa sudah selesai menyiapkan meja, kursi dan peralatan. Ihsan sudah menyiapkan racikan bakso dan kuah panas, baru dibuka warung mereka, ternyata pelanggan sudah ada yang menunggu di teras warung. Ketika Kamal membuka rolling door warung
"Ha? Abang promosiin ya? Jangan dong, Bang. Warung ini tidak cocok untuk menjamu tamu, ini hanya warung kelas bawah yang dipakai remaja nongkrong. Restauran yang menyediakan menu bakso kan banyak." "Aku tidak menawarkannya, mister Dave sendiri yang mau ke sini. Ayo, ikut Abang menyapa mereka." "Kenapa Abang tidak menelponku dulu? Kalau nelpon kan aku bisa menyiapkan tempat yang nyaman, aku belum sempat memebersihakan tempat di belakang, di sana pasti kotor," ujar Aina sambil melepaskan celemek dan menggantungkan di dinding dapur. "Maaf, Sayang. Lupa tadi, soalnya jadwal pertemuannya sangat padat." "Ya, sudah. Ayo ...." Hasan menggandeng tangan istrinya menuju di mana Dave berada. Di sana Dave dan Laura menatap mereka berdua dengan pandangan yang berbeda. Dave menetap mereka dengan binar senang yang tidak bisa diungkapkan, kedua netranya menelisik dengan bahagia. Dia menatap Aina secara detail, terutama bagian matanya, mata itu ... Cantik seperti mata Nur, namun warna matanya cokl
Pembicaraan mereka terjeda ketika Kamal datang dengan nampan berisi empat mangkuk bakso bola tenis dan dilengkapi dengan mie putih dan mie kuning. Disusul di belakang, Ihsan membawa juga empat porsi balungan, kaki sapi yang masih banyak tempelan daging dan sebuah pipet di letakkan di atas tulang untuk menyedot sumsum dari dalan tulang. "What is it?" ujar Dave menunjuk tulang sapi berukuran besar itu. Mata lelaki tua itu tampak surprise, seumur hidupnya belum pernah memakan tulang sapi sebesar ini, palingan hanya tulang iga yang pernah dimakannya. "Ini sumber kaldu dari kuah yang lezat ini, lihat daging masih menempel di tulang ini? Rasanya sangat gurih, tetelan sapi yang sangat keras biasanya, di sini sangat lembut dan kranci banget," ujar Hasan menerangkan. "Oh ya?" "Ayo, Mister. Di makan selagi masih panas, rasanya sangat segar." Aina mempersilahkan, gadis itu bahkan menuangkan empat gelas air putih dari teko dan menaruh di depan masing-masing orang. Tak berapa lama Anisa dat
"Burhan, jangan begitu. Hasan itu pintar sekali loh mencari istri, yang kau jodohkan dulu tidak ada apa-apanya dibandingkan yang dia cari sendiri sekarang," sanggah Rahmat. "Tahu darimana kau soal istrinya Hasan? Gak usah sok tahulah kau, Mat." "Benar, Rahmat. Kau tahu dari mana dia lebih baik? Waktu mereka menikah saja tidak mengundang kita sebagai kerabatnya," ujar sepupu yang lain. "Betul, itu. Masih mending dengan Nirmala dulu, Hasan masih datang ke arisan kita, sekarang sejak menikah lagi dua seperti menutup kases dengan keluarganya." "Ya, iya ... Itu, begitu tuh kelakuan dia sekarang. Lantaran apa? Pasti perempuan miskin dan tidak berpendidikan itu yang mempengaruhi. Sepertinya Hasan sudah diguna-guna," keluh Burhan. "Astagfirullah? Benarkah? Diguna-guna?" seru yang lain dengan raut terkejut. "Sudah ... Sudah! Gak boleh menuduh begitu, kalau gak benar jatuhnya fitnah. Aku tahu betul bagaimana istrinya Hasan karena dia mahasisiwiku. Dia sangat cantik dan pintar, tidak perl
Steven tidak yakin ayahnya akan membonceng motor sportnya, dia tahu memang daya tahan tubuh ayahnya lebih prima dari orang tua seusianya, namun tetap saja akan susah membonceng pria tua itu, apalagi belum memikirkan bawaannya seperti koper misalnya? Ah, merepotkan saja!Ketika sampai hotel, Dave sudah chekout, dia menunggu di lobi hotel, dia termangu saat sampai parkiran motor, tangan kanannya yang memegang koper kecil dan tangan kirinya memegang tas kerja tidak tahu harus di taruh di mana semua barangnya."Bawa sini kopernya, Ayah," ujar Steven yang sudah duduk di atas motor. Koper itu ditaruhnya di atas tangki dan dijaga denga kedua tangan Steven yang memegang stang motor."Ayo, naik.""Apa ini aman, apa nggak jatuh?" protes Dave merasa was-was melihat gaya anaknya mengendarai motor."Tadi kusuruh naik taksi gak mau? Sekarang lekas naik, kalau gak mau naik ya, sudah. Aku tinggal ya?""Yang sopan ngomong sama orang tua! Pelan-pelan bawa motornya!" Dave tidak tahan untuk tidak menge
"Mak? Ayo masuk," ujar Hasan. "Assalamualaikum," sapa Nur. "Walaikumsalam," Hasan menyambut mertuanya dan mencium punggung wanita itu. "Dito, bawa rantang itu ke meja makan," perintah Nur. "Baik, Mak." Setelah memakai baju, Aina segera turun dan alangkah terkejutnya karena di meja makan, ibunya tengah menata makanan yang di keluarkan dari rantang. "Mak, Mamak datang?" Aina merasa surprise, dia segera mencium punggung tangan ibunya dan memeluknya. "Iya, ini tadi di rumah keluarga Latief ada arisan keluarga, Mamak sengaja membawa makanan ke sini." Aina membuka rantang satu persatu, ada rendang, sambal kentang jeroan, capcai brokoli dan sepotong loyang bolu pandan dan puding durian serta serangang nasi. "Aduh, makasih, Mak. Tahu aja kalau Aina gak masak hari ini," ujarnya sambil nyengir. "Kenapa gak masak?" "Bang Hasan bilang akan ngajak makan di luar. Oh ya, mana Bang Hasan?" Aina celingukan mencari suaminya. "Ke masjid sama Dito." "Oh, Dito ikut juga? Kalau gitu kita salat