Setelah Andika membuka pintu, seorang gadis tengah bersandar di dinding, bau alkohol yang menyengat membuat Andika sedikit jengkel, apakah kliennya mengirim gadis mabuk ke kamarnya? Namun setelah diamati, gadis itu sungguh cantik, maka Andika membawanya ke tempat tidur. Permainan malam itu masih diingat dengan jelas oleh Andika, walaupun itu sudah tujuh tahun yang lalu. Gadis itu berteriak kesakitan ketika Andika melakukan penyatuan, mata lelaki itu membulat merasa surprise bahwa gadis yang mereka kirim ternyata masih perawan. "Tampan, pelan-pelan ... Sakit, ini pertama kali untukku, jadi kumohon pelan-pelan ...." Andika bahkan masih ingat betul bagaimana wanita itu memohon agar dia tidak main kasar. Melihat gadis polos itu, Andika merasa bersalah, wajah gadis yang sangat cantik ini, membuatnya sedikit luluh. Nanti ketika gadis ini sadar, dia tidak akan merelakan gadis ini menjajakan tubuhnya pada siapapun, hanya untuknya saja, dia bisa memberikan apapun yang gadis ini mau. Ketika
Seorang pria dengan tubuh porposional berdiri menghadap laut lepas, stelan jas berwarna abu-abu metalik membuat aura-nya semakin elegan, kaca mata hitam yang bertengger di atas hidung mancungnya menambah macho penampilannya. Dermaga ini menjadi saksi pertemuan rahasia yang selalu dia lakukan, burung-burung camar yang beterbangan menambah suana alam nampak begitu menghanyutkan.Beberapa jam yang lalu dia sudah menelpon klien tetapnya yang selama ini dia bantu atasi semua problematika yang sering melanda hidupnya, kini ... Problematika itu sendiri telah mengacaukan kehidupan keduanya."Black ... Aku tunggu di dermaga tiga jam lagi," ujarnya ketika menelpon tadi.Biasanya dia selalu yang ditelpon duluan, tetapi kali ini dia justru yang menelpon orang tua itu duluan."Ada apa, Jack?""Datanglah ... Aku mohon, aku menunggumu di sana."Kini lelaki itu menunggu dengan gelisah, di raihnya sebuah amplop dari saku jasnya, amplop yang sama persis seperti yang pernah lelaki itu berikan pada oran
Enam bulan kemudian .... Aina menyeka keringat di dahinya, rasanya pinggangnya mau patah, capek Tek terkira. Padahal dulu aktivitas seperti itu tidak ada seberapa buat dia, apa karena dia kini sudah menjadi anak orang kaya, sehingga tubuhnya menyesuaikan, kerja sedikit saja sudah capek, masak sih? Rasanya nggak deh, masak sampai segitunya. Wanita muda itu menggeleng, menghalau semua pemikirannya yang absurb itu. Tiga hari lagi Steven dan Melanie akan menikah di rumah keluarga Harrison di Dago, dua bulan yang lalu pernikahan Haris dan Anisa yang di adakan di rumah orang tua Anisa, walaupun di kampung, acaranya sangat meriah, semua biaya pesta ditanggung oleh pak Burhan selaku orang tua Haris. Belum rasanya hilang capeknya pesta Haris dan Anisa, Aina dan Hasan harus menghadiri pernikahan Abang mereka Steven. Melanie yang baru melahirkan bayi berusia tiga bulan ini memang tidak ingin acara pernikahan mewah, cukup sederhana saja yang penting sakral. Steven juga tidak ingin Melanie yan
Fendi sudah berada di belakang kemudi, di sampingnya seorang pemuda yang baru saja dijemputnya dari bandara tak henti-henti bertanya tentang Ayuni. "Apa Ayuni sudah datang?" "Belum, baru Hasan dan Haris yang datang bersama istri-istri mereka." "Kapan Ayuni datang?" "Mungkin hari ini atau besok, dia akan datang bersama kedua orang tuanya dan bag Syarif." "Syukurlah Ayuni jadi datang, aku sudah kangen banget." Fendi mencengkeram kemudi dengan kuat, bahkan dia menginjak pedal gas dengan kuat ketika mendengar perkataan lelaki muda ini. Entah kenapa perasaannya menjadi kacau balau, bahkan dadanya bergejolak, apa dia bilang? Kangen sama Ayuni? Sudah hampir satu tahun Fendi terpisah jarak dengan Ayuni, tak sekalipun Fendi menghubungi gadis itu duluan, tetapi Ayuni datang ketik liburan kenaikan kelas lima bulan yang lalu, dia cukup sabar mengantar gadis itu kemanapun dia mau untuk liburan. Setiap interaksi yang terjadi siantara mereka selalu Ayuni yang memulai, gadis itu bertambah c
Setelah meminum air dingin di dapur, Fendi segera menuju kamarnya di lantai atas, belum lagi dia melangkah di anak tangga terkahir, telinganya mendengar percakapan seseorang. "Ayuni, aku kangen berat sama kamu." "Oh ya?" "Iya, serius ... Sudah hampir setahun kita tidak bertemu, apa kamu gak kangen sama aku?" "Hmmm!" Fendi yang sudah berada di dekat mereka, berdehem dengan kuat. Spontan kedua muda-mudi itu menoleh ke arahnya. Mereka tengah duduk di sofa, Daren bahkan sengaja duduk begitu dekat dengan Ayuni. "Kapan kau datang, Yun?" tanya Fendi basa-basi. Padahal dia sudah tahu kapan gadis itu datang dari Syarif, Fendi mendekati mereka. "Baru juga__" Ayuni belum selesai mengatakan sesuatu, namun tangannya langsung ditarik oleh Fendi, membuat gadis itu langsung terlonjak dari duduknya. "Sini dulu, Abang ada sesuatu untukmu!" Tanpa persetujuan, Fendi langsung menarik gadis itu mengikutinya, Daren yang tengah asyik bersama Ayuni jelas tidak terima cewek yang ditaksirnya ditikun
Arsen yang mendengar ucapan keras ibunya tergugu, Laura tidak pernah berkata keras apalagi membentak selama ini, sehingga membuat anak itu terkejut. Perasaan Arsen sangat terluka mendengar perkataan ibunya yang mengatakan Andika bukan lelaki yang baik. "Mommy, mungkin terjadi sesuatu pada Daddy Andika, makanya dia tidak bisa ditelpon. Mommy ... Mintalah sama Grandpa Dave untuk mencari Daddy Andika," ujar Arsen dengan suara lirih dan memohon. "Arsen! Mommy bilang stop membahas lelaki itu!" Laura akhirnya hilang kesabaran. Setelah membentak Arsen, wanita itu pergi dari hadapan anaknya dan membanting pintu menandakan jika dia tengah marah, tidak dihiraukan tangisan anaknya yang terdengar pilu, ketika ada acara seperti ini di rumah mereka, malah anak itu berulah. Sangat menyebalkan! Tak terasa air mata luruh di kedua netra Laura, membuat pandangannya kabur, dia masih berdiri di balkon, terdengar gelak tawa para kerabatnya yang mulai berdatangan, namun kenapa hatinya menjadi nelangsa
Pagi hari menjelang pernikahan Steven jam sepuluh, kesibukan di rumah keluarga Harrison sangat meriah. Kedua orang tua Melanie sudah datang, nyonya Susilawati begitu bahagia mengendong cucunya, sepanjang acara, Susilawati dan Evi bergantian menggendong kharisa, cucunya. Kondisi Arsen sudah lumayan, panas tubuhnya sudah mulai menurun. Sepanjang acara anak itu dipangku oleh Duke."Bagaimana kabarnya bocah tampan? Apakah masih sakit?" tanya Aina sambil membelai wajah anak itu."Tante cantik ... Your boyfriend is sick, you know?" Aina tertawa mendengar perkataan anak ini, sakit-sakit juga masih bisa bucin seperti ini. Duke yang mendengar perkataan cucunya juga ikut tertawa."Apakah Om Steven sudah selesai menikah?" tanya Arsen dengan mata sayu."Dimulai saja belum akad nikahnya. Apakah kau tidak enak badan?" tanya Duke."Iya, Pa ... Arsen ingin berbaring, kepala Arsen pusing," ujar bocah itu."Ha? Kau masih sakit? Bagaimana kalau Arsen berbaring di kamar ditemani Tante?" tanya Aina."I
Hasan kembali linglung mencari istrinya, sedangkan Fendi yang dimintai tolong untuk mencarinya malah ikutan menghilang. Waduh, kalau begini harus bertanya satu persatu pada semua orang. "Nis, kau melihat Aina?" "Tidak, Bang." "Memang ke mana Aina?" tanya Haris. "Gak tau nih, dari tadi menghilang." "Ya sudah, cepetan bantu cari!" Haris dan Anisa tidak bisa menolak permintaan abangnya, lelaki itu suka sadis kalau memarahi adik-adiknya, lebih baik turuti saja apa maunya. "Kau mencari Aina?" tanya Duke yang melihat Hasan dari tadi mondar-mandir tidak karuan. "Ah, iya, Kak. Apa Kak Duke tahu di mana dia?" "Oh, dia sedang di kamar lantai dua menemani Arsen." Hasan segera berlari ke lantai dua dengan mengumpat tidak henti-hentinya. "Dasar kau Arsen! Kecil-kecil sudah membuatku geram kau ya? Berani-beraninya kau mengajak tidur istri orang! Dasar bocah gak punya akhlak!" Sesampainya di kamar tersebut, Hasan membelalakan matanya melihat adegan tersebut, Aina dengan lelap tidur di seb