“Jangan begini Dre, jangan mencintai aku.” Kuakui perasaanku padanya hanya sebatas kagum tidak lebih, tapi kenapa secepat ini dia menyatakannya.“Kenapa, karena gue mandul ‘kan?”“Bukan begitu.” Dia terlalu rendah diri.“Gue tahu Ran, enggak ada wanita yang mau menikah sama pria yang enggak bisa kasih keturunan,” ucapnya sembari menatap lekat manik milikku.“Aku punya 4 anak Dre, keturunan bukanlah prioritas.” Sekalipun suatu saat nanti masih di izinkan Tuhan untuk menikah lagi, maka alasan utama pernikahan keduaku ialah atas dasar saling membutuhkan satu sama lain bukan semata-mata soal cinta.Cinta memang salah satu kebutuhan pokok dalam rumah tangga hadirnya seolah perekat hubungan agar yang menjalankan tak menempel pada hati yang salah, tetapi cinta saja tak cukup. Aku pernah menjalankan semuanya karena cinta tapi apa yang kudapatkan? Kami hanya menuntut untuk satu sama lain, hingga lupa untuk saling membahagiakan.“Lalu, apa gue kurang menarik?” tanya Andre, dia masih saja belum
“Dre, ada apa sebenarnya antara kamu dan Mas Bagas?” tanyaku ikut penasaran.“Lo bisa tanya sama Bagas langsung Ran, tapi sebelum itu harus tau kalau yang gue omongin tadi pagi enggak ada sangkut pautnya sama Bagas. Murni, karena gue pengen ngelindungi lo.” Memangnya ada hubungan apa ungkapan perasaannya dengan Mas Bagas, semua ini semakin membuatku penasaran.“Memangnya aku kenapa?”“Hampir setengah jam gue ngeliat lo nangis di sana. Kenapa enggak mau cerita? Mungkin gue bisa ngasih solusi,” jelasnya. Ya Tuhan, jadi dia melihatku, lalu untuk apa? Kenapa dia hanya diam saja setengah jam bukan waktu yang sebentar untuk menunggu, duduk diam tanpa suara.“Kamu mungkin bisa ngasih solusi Dre, tapi Tuhan lebih tahu mana yang terbaik buat aku.”“Lo percaya Tuhan?” tanyanya, pertanyaan macam apa ini, apa dia tak percaya pada Tuhan.“Iya tentu aku percaya, selain kepada-Nya, siapa lagi yang bisa aku mintai pertolongan di saat tak ada siapa pun di dunia ini yang mampu menguatkan hati?”“Tapi,
Terlalu gugup otakku jadi tak bisa bekerja dengan baik, entah ke mana Mas Bagas membawa anak-anakku tak bisa kutebak di mana tempat itu, panik membuat pikiranku buntu.“Uma?” Suara anak perempuan memanggilku dari belakang, refleks aku menoleh.“Meisya, ya Allah Meisya, alhamdulillah kamu enggak ikut habis Sayang?” Aku refleks sulungku dengan erat, sedang dia dibuat bingung dengan sikapku.“Meiya enggak mau ikut Abi, tapi kenapa Uma nangis? Abi nyakitin lagi?”“Abi mau bawa adik-adik Sayang, Uma harus cari mereka, tapi harus cari ke mana? Uma bingung.” Meisya terdiam sejenak, mungkin dia juga sama bingungnya denganku.“Itu video apa, Uma?” Dia menunjuk ponsel yang sedari tadi kuputar, itu video yang di kirim Mas Bagas.“Ini video yang di kirim Abi, Meisya tahu tempat ini di mana.” Meisya memperhatikan layar ponsel dalam diam.“Coba tanya om Andre aja!” ucapnya seketika dahiku berkerut kenapa harus Andre.“Kok Om Andre? Memang Meisya kenal?”“Ya kenallah, dia sering ke tempat les Meisya
"Kenapa Dre?" Kuberanikan diri untuk keluar dari mobil dan mendekatinya."Dia bawa anak lu pergi Ran, memang udah ga waras,” umpat Andre yang juga ikut kesal."Apa yang dia minta?" Andre tersenyum kecut ke arahku, melihat tatapannya sudah bisa kumengerti apa yang diinginkan Mas Bagas. Dia ingin Andre menikahiku dan menandatangani kontrak perjanjian bahwa dalam jangka waktu yang di tentukan kami harus bercerai kembali."Gue bukan tipe orang yang suka paksa orang, Kiran.” Andre mulai memalingkan wajahnya dariku."Memangnya apa sih keuntungan yang kamu dapetin dari menikah dengan cara seperti ini?" Sejauh yang kutahu, sebuah kontrak pasti ada keuntungan bagi kedua belah pihak."Gue pengen punya anak Ran, lo tahu ‘kan syarat adopsi anak harus nikah dulu," ucapnya dengan wajah frustrasi.Di dunia ini tak ada yang tak mungkin Dre.“Man jadda wa jadda.”Kalau Tuhan telah berkehendak jadilah maka jadilah, apa pun itu meski hal yang mustahil sekalipun. Hatimu sudah terlalu jauh dari Tuhan, hi
“Di rumah sakit mana?” raut wajah khawatir terukir di sana.“Bina Medika Dre,” lirihku, belum juga raga ini mampu untuk berjalan dengan tegap, di tambah lagi kabar duka ini, benar-benar melengkapi derita yang melanda hariku.“Oke gue ke sana sekarang.” Mengabaikan diriku yang masih terbaring di ranjang, lelaki itu mengambil langkah lebar menuju daun pintu.“Aku ikut, Dre.” Dia menengok, menghentikan langkahnya, masih dapat kudengar dia berdecak kesal, lalu menatap tajam netraku yang mulai memanas. Aku jelas tak mungkin hanya berdiam diri menunggu kabar darinya.“Pikirin kesehatan lo dulu!”“Aku ga bisa nunggu di sini Dre, sedang anak-anakku sedang bertaruh nyawa di sana, bawa aku! Sekali ini saja tolong aku.”“Ga usah nangis!” dia malah membentakku, membuatku tersentak. Susah payah membujuknya untuk membawaku bersama hingga akhirnya dia luluh melihat keadaanku yang begitu menyedihkan, mungkin.Diselingkuhi, diceraikan, lalu ditinggalkan anak-anak. Kelak dengan apa lagi Tuhan mengujiku
“Ada cara lain buat balas sakit hati lu Kiran, enggak perlu mengotori tanganmu atau jeblosin dia ke penjara,” ucap Andre memecah canggung yang terjadi.“Apa?” Memangnya hal apa yang membuat Mas Bagas kapok selain memenjarakannya.“Pergilah, kalau perlu ke luar kota, di mana ga akan ada orang yang kenal sama lu.” Dia memberiku saran untuk pergi, tetapi kenapa untuk sekedar menatapku saja enggan? Seakan bertolak belakang dengan hatinya yang masih ingin aku bertahan di sini.“Dulu aku sempat berpikir buat pergi dan mulai hidup baru, di kota baru dan orang- orang baru juga. Andai saja aku melakukannya lebih cepat, mungkin Arya masih bisa di selamatkan.”“Jangan menyalahkan takdir, bukankah kamu yang sering bilang semua sudah jalan Allah!” Mendengarnya mengucap kata kamu membuat senyum ini merekah dengan sendirinya.“Kenapa lo senyum-senyum?” Ah baru saja bunga ini merekah malah dibuat kuncup kembali.“Enggak apa-apa.” Semakin kesini bibir ini benar-benar sulit untuk dikontrol tak bisakah
“Hay, Kiran,” sapa seorang tamu pria, pakaiannya cukup aneh terlalu tertutup untuk daerah yang bercuaca panas, keadaan kedai makan milikku tak sangat ramai untuk itu aku sampai turun tangan mengurusi pelanggan. “Oh iya anda tau nama saya.” Kuperhatikan setiap gestur tubuhnya, rasanya tak asing bagiku, terlebih suaranya. “Andre?” Tanyaku memastikan takut kalau dugaanku salah. Pria itu mulai membuka kaca matanya, kemudian buffnya kini wajahnya tak tertutup apa pun lagi. Bibirku tersenyum, menyambut senyumnya yang juga merekah ke arahku. “Bagaimana kabar?” tanyanya. “Baik kok, seperti yang kamu lihat.” Wajah itu yang diam-diam kurindukan tiap malam, akhirnya Kau izinkan lagi untuk menemuinya kali ini. Inikah jawaban dari setiap doa yang kupanjatkan, dari segala keraguan yang membayang setiap waktu? Aku pikir pertemuan ini akan membawa luka lama kembali hadir tapi nyatanya malah membuat bunga-bunga yang telah lama layu. Seakan kembali mekar, hadirnya seolah memupuk kembali hatiku yan
“Jangan gugup begitulah Bang, dibawa santai aja!” ucapku menenangkan Andre yang gelisah di tepi ranjang.Lucu.Dia bingung di malam pertama kami.“Aku ga bisa ngelakuin sekarang Kiran, sorry.” Andre beringsut dari tempatnya lalu melangkah pergi ke kamar mandi. Aku hanya mampu tersenyum, meski rasanya ada yang aneh. Raut mukanya sendu. Seolah merasa bersalah atas tindakannya. Padahal bagiku ini tak menjadi masalah, kalaupun dia belum siap tak mungkin aku memaksanya.Tak lama dia keluar dari kamar mandi dengan celana panjang yang sebelumnya dia pakai. Tanpa peduli aku yang tengah berdiri menatap kepergiannya, dia terus berjalan keluar kamar, lalu hilang dibalik daun pintu.Ada apa? Belum sehari kita bersama, dia seperti orang frustrasi. Hingga, setengah jam berlalu dia belum juga kembali. Hari semakin larut, sedang di rumah pun sudah tak terdengar lagi suara orang-orang.Ke mana Bang Andre? Dari pada terus berdiam diri tanpa kepastian, aku memutuskan untuk menyusulnya. Menyisiri setiap