“Hay, Kiran,” sapa seorang tamu pria, pakaiannya cukup aneh terlalu tertutup untuk daerah yang bercuaca panas, keadaan kedai makan milikku tak sangat ramai untuk itu aku sampai turun tangan mengurusi pelanggan. “Oh iya anda tau nama saya.” Kuperhatikan setiap gestur tubuhnya, rasanya tak asing bagiku, terlebih suaranya. “Andre?” Tanyaku memastikan takut kalau dugaanku salah. Pria itu mulai membuka kaca matanya, kemudian buffnya kini wajahnya tak tertutup apa pun lagi. Bibirku tersenyum, menyambut senyumnya yang juga merekah ke arahku. “Bagaimana kabar?” tanyanya. “Baik kok, seperti yang kamu lihat.” Wajah itu yang diam-diam kurindukan tiap malam, akhirnya Kau izinkan lagi untuk menemuinya kali ini. Inikah jawaban dari setiap doa yang kupanjatkan, dari segala keraguan yang membayang setiap waktu? Aku pikir pertemuan ini akan membawa luka lama kembali hadir tapi nyatanya malah membuat bunga-bunga yang telah lama layu. Seakan kembali mekar, hadirnya seolah memupuk kembali hatiku yan
“Jangan gugup begitulah Bang, dibawa santai aja!” ucapku menenangkan Andre yang gelisah di tepi ranjang.Lucu.Dia bingung di malam pertama kami.“Aku ga bisa ngelakuin sekarang Kiran, sorry.” Andre beringsut dari tempatnya lalu melangkah pergi ke kamar mandi. Aku hanya mampu tersenyum, meski rasanya ada yang aneh. Raut mukanya sendu. Seolah merasa bersalah atas tindakannya. Padahal bagiku ini tak menjadi masalah, kalaupun dia belum siap tak mungkin aku memaksanya.Tak lama dia keluar dari kamar mandi dengan celana panjang yang sebelumnya dia pakai. Tanpa peduli aku yang tengah berdiri menatap kepergiannya, dia terus berjalan keluar kamar, lalu hilang dibalik daun pintu.Ada apa? Belum sehari kita bersama, dia seperti orang frustrasi. Hingga, setengah jam berlalu dia belum juga kembali. Hari semakin larut, sedang di rumah pun sudah tak terdengar lagi suara orang-orang.Ke mana Bang Andre? Dari pada terus berdiam diri tanpa kepastian, aku memutuskan untuk menyusulnya. Menyisiri setiap
Suara ketukan pintu kian mengeras, mau tak mau harus segera kubuka, agar tak membangunkan Bang Andre yang baru saja terlelap. Mantan suamiku ini kenapa sosoknya berubah, menjadi semakin tak tahu diri. “Kiran, terima kasih Sayang, terima kasih.” Mas Bagas menatapku penuh haru.Entah apa isi kepalanya, aku tak mengerti, apa pernikahan ke duaku mengharukan dan lagi, dia memanggilku sayang? Kurasa dia terlalu lancang.“Kamu menikah untuk bercerai bukan? Lalu kemudian kita menikah lagi, benar kan sayang?” Mas Bagas tersenyum, dia seperti menemukan secercah harapan baru, dunianya seakan kembali terang. Lucu. Siapa yang mau bercerai? Akan kurenggut kembali seberkas cahaya itu, membiarkanmu tetap merana dalam gelapnya dunia. Aku bukan dendam hanya saja tak ingin terluka lagi, jika memilih untuk kembali bersamanya. Tak peduli walaupun buah cinta kita terus tumbuh di dunia, pada kenyataannya tanpa kehadiranmu, mereka bisa tetap hidup dengan baik dan bahagia.“Kenapa senyummu begitu, Kiran?”
“Cukup Bang, Mas udah jangan pukul lagi,” teriakku, masih belum mau menyerah untuk meleraikan mereka berdua yang tengah berkelahi.“Kenapa Kiran, apa yang kamu harapkan dari laki-laki mandul seperti dia? Memberikan keturunan pun dia tak mampu,” ucap Mas Bagas dengan angkuhnya.Dia masih seribu kali lebih baik darimu. Keturunan itu urusan Tuhan. Kamu yang hanya seorang Hamba tak berhak ikut campur masalah itu. Biarlah semua kuserahkan pada Tuhan, lagi pula pernikahan kita dulu, bukankah kehadiran 3 anak pun tak cukup membuat hatimu menetap hanya pada satu wanita. Kamu memilih terus bertualang mengikuti nafsumu yang membara. Bukannya bekerja sama denganku untuk memadamkannya kamu malah asyik sendiri. Larut dalam gelora cinta yang baru, terbuai kenikmatan sesaat yang berujung petaka.Untuk sejenak mereka berhenti.“Aku sudah punya anak, dan lagi pula dia lebih baik darimu, yang hanya seorang pembunuh,” ucapku tegas.“Aku bukan pembunuh Kiran!” Dia masih saja mengelak, enggan mengakui kes
“Apa benar yang di katakan, Nak Bagas? Nak Andre menandatangani sudah surat perjanjian pernikahan?” Ayah memulai pembicaraan di antara kami.“Benar, Yah,” jawab Bang Andre pelan tapi penuh ketegasan di dalamnya.“Astaghfirrullahaladzim.” Berkali-kali Ayah lirih mengucapkannya, diiringi ibu yang juga tak henti mengucap kalimat yang sama. Sembari mengusap dadanya perlahan, netra bapa kini beralih menatapku.“Kamu tahu tentang ini?” tanyanya.Tentu saja telah lama aku mengetahuinya. Mungkin ini saatnya mereka semua harus mengetahui tabiat buruk mantan suamiku, sebenarnya ingin kututup rapat-rapat sendirian, selayaknya sebuah aib yang memang seharusnya dikubur dalam-dalam bersama kenangan masa lalu yang menyakitkan. Namun, hari ini keadaan yang memaksaku menggalinya kembali, semoga Allah mengampuniku.“Mas Bagas mengancamku berkali-kali bahkan terakhir dia membawa anak-anak semata-mata agar aku ikut menandatangani perjanjian itu,” ucapku, meski awalnya ragu tapi ada perasaan lega yang men
“Abang udah terlanjur menandatangani surat itu Dek,” Pria itu tertunduk lesu di depanku, dengan wajah penuh lebam. Bisa-bisanya dia mengatakan terlanjur, sedang baru kemarin berikrar di hadapan penghulu disaksikan banyak orang, dengan lantangnya dia mengucapkan ijab qabul. Berjanji di hadapan Tuhan dan ke dua orang tua akan menjagaku sampai maut memisahkan. Lalu, untuk apa menjalin hubungan kalau tujuan akhirnya bukan surga tapi perpisahan. Tak ada kata yang mampu menjelaskan isi hati, selain bulir bening yang mulai turun tanpa dapat aku cegah. Hening melanda di antara kami, pernikahan yang kuanggap sebagai solusi, justru menjadi bumerang bagi diri. Aku bukan barang, yang bisa di lempar sana-sini. Inikah bukti cinta yang pernah kamu ucapkan tempo hari, kita belum mencobanya dan kamu sudah menyerah seperti ini. “Kita bahkan belum mencobanya Bang, kenapa kamu bisa seyakin itu, kalau Tuhan enggak akan pernah ngasih kita keturunan.” Aku yakin selalu ada jalan keluar bagi jiwa yang tak p
“Makanlah sedikit setelah ini Abang akan keluar!” Pria itu mulai menyendok nasi lalu mendekatkannya ke mulutku. Jangan harap Bang aku bisa luluh dengan manisnya sikapmu.“Taruh saja di nakas Bang, aku belum lapar!”“Abang enggak akan pergi sebelum kamu makan.”“Dan aku enggak akan makan sebelum Abang pergi.”“Dek.” Dengan nada memohon lagi wajahnya yang cemas dan penuh harap dia menatapku dalam-dalam, sayangnya hatiku telah membeku seiring dengannya yang lebih memilih menyerah pada takdir.Di tengah keheningan, terdengar deru kendaraan memasuki halaman, anak-anak mungkin sudah pulang.Aku segera bangkit dari pembaringan, mengabaikan Bang Andre yang masih menatap cemas padaku. Sayangnya, karena terlalu bersemangat aku malah sedikit kehilangan keseimbangan, mungkin karena tak makan hampir seharian. Bang Andre lekas bangkit dari tempatnya bersiap membantuku untuk berjalan.“Ga perlu Bang, jangan sentuh aku!”“Bagaimana bisa Abang membiarkanmu jalan sempoyongan begini,” ujarnya dia khawa
“Turunin Bang, enggak enak di lihat orang nanti!”“Siapa yang mau lihat? Ga ada orang di rumah,” sahutnya datar tanpa ekspresi sedikit pun, mengabaikanku yang terus meronta minta di turunkan dari gendongannya.Pemilik tubuh kekar itu terus saja berjalan hingga tiba di tempat peraduan, dia menurunkanku perlahan. Pandangan kami bertemu.“Sembuhin luka Abang dulu,” ucapku sembari tertunduk malu, tatapannya sungguh menghipnotisku. Tak ada jawaban darinya hanya mendekatkan wajahnya padaku.“Adek udah bawa kotak obatnya,” ucapku.“Hmm,” dia hanya berdehem, dan lagi-lagi malah mendekatkan diri padaku.Aku yang tak siap akan tindakannya yang tiba-tiba, sedikit memundurkan diri ke belakang.“Kenapa? Tadi katanya mau di obatin, ini?” Bukanya menjauh dialah semakin mendekat hingga nyaris hidung kami bersentuhan.Tuhan bagaimana caranya mengobati luka dalam posisi seperti ini.Refleks aku menundukkan wajah dengan cepat.“Awww aduhhh,” kuusap kepalaki yang sakit karena tak sengaja beradu dengan mi