***
Satu hari berlalu setelah kejadian itu. Kejadian dimana aku dibawa kabur oleh Alfi dan Mas Reza kakinya terkena luka.
Lalu gimana hubungan Mas Reza dan Mas Dani?
Alhamdulillah, mereka kini kembali akur.
Aku tak tahu kenapa mama mertuaku bisa melahirkan dua pria yang sangat baik, tampan, bijak dan saling pengertian. Sungguh aku sangat bangga pada mereka.
Dan kini, masa depanku dengan Mas Reza. Aku berusaha meyakinkan Mas Reza, kalau aku sangat mencintainya dan tak ingin kehilangannya. Walaupun aku tak bisa mengungkiri, sosok Mas Dani belum sepenuhnya terkubur. Tapi aku sudah punya Mas Reza. Mas Dani juga berusaha meyakinkan pada kakaknya, kalau dia lebih bahagia melihatku hidup bersama kakaknya.
Intinya, semuanya telah terjadi, dan kini, masa depanku bersama Mas Reza, bukan untuk bersama Mas Dani.
Sejak kemarin kami me
PoV Diandra***"Aku minta maaf, kalau kehadiran aku membuat kalian risih. Bahkan sampai ada masalah seserius ini." Akhir kata dari cerita Karina yang ia jelaskan sedari tadi.Aku masih tanda tanya dengan maksud ia sebenarnya."Maaf Mbak Karina. Tapi, apa maksud Mbak datang ke kantor suami aku? Apa ... kamu masih berharap sama Mas Reza?" selidikku memberanikan diri.Mas Dani yang mendengar ucapanku, dia seperti memasang ekspresi tak karuan. Apa dia masih cemburu mendengar kekhawatiranku pada kakaknya?Mbak Karina diam lalu tersenyum."Jujur, Diandra. Aku meninggalkan Reza bukan karena aku tak cinta. Tapi tadi sudah aku jelaskan alasannya."Aku lumayan mulai mengatur nafas untuk menahan rasa cemburu.Jeda sebentar."Kalau aku datang ke kantor Reza, sekali, waktu itu, aku hanya ingin tahu, sebesar apakah cinta dia
PoV Dani***"Dani? Kamu kok belum ngenalin pasangan kamu yang baru sama Mama. Kamu itu harus semangat dan cari pasangan hidup kamu."Mama mendekat dan meraih bahu kiriku yang sedang duduk di kursi belakang menghadap ke arah kolam.Mama duduk di sampingku."Aku lagi fokus berkarir. Aku juga ingin fokus benahi diri aku, Mah. Aku fikir, aku belum pantas jadi seorang suami lagi," jawabku pelan."Berkarir sih harus. Tapi jangan lupa, kalau kamu juga perlu pendamping. Supaya hidup kamu nyaman dan bahagia." Mama berkata demikian."Memang diluar negeri kamu gak nemu wanita yang bisa buat kamu nyaman? Hah?" selidik mama.Aku mulai mengatur nafas untuk menjawabnya. "Ya, cewek banyak sih, Mah. Malah, aku juga ketemu cewek-cewek dari negeri ini yang sedang berkarir disana. Tapi, ya, aku sama sekali gak ada rasa sama mereka. Karena aku memang masih ingin sendiri.""Ini diluar dugaanku, Mah. Aku fikir, rahasia kita in
PoV Diandra***"Bu, kenapa Ayah gak tinggal sama kita? Ayah kok gak tidur sama Dona? Udah lamaaa banget!" Dona menanyakan hal demikian pada kami yang sedang berkumpul di ruang tengah.Semua kaget mendengar Dona berkata demikian.Mas Dani, Mas Reza, mama dan aku masih diam. Gimana cara kami menjelaskannya?"Sayang, rumah Ayah kan disini. Sedangkan rumah Ibu sudah pindah. Dan kamu juga punya Papa Reza." Mama angkat bicara sambil mengelus kepalanya. Karena Dona duduk di pangkuan ayahnya, di samping mama.Aku menelan liur."Jadi Dona punya Papa sama Ayah, horeee! Tapi Oma, kan dulu Dona tidur sama Ayah, kenapa sekarang Dona gak bisa tidur sama Ayah lagi?" kata Dona lagi di hadapan kami semua.Mas Dani dan Mas Reza nampak bingung. Aku apa lagi!"Siapa bilang kamu gak bisa tidur lagi sama Ayah? Dona kan bisa nginep disini. Dona bisa tidur sama Ayah, sama Oma juga sama mbak Nessia," jawab mama santai. Sedangkan kam
PoV Dani***"Ayah, tadi ada temen aku nangis di sekolah."Kata Dona anak manisku. Malam ini ia menginap di rumah mama, di rumahku. Karena kebetulan besok hari libur. Rencananya aku akan bawa Dona buat jalan-jalan ke tempat wisata terdekat bersama mama dan juga Nessia."Nangis kenapa Sayang?" tanyaku menyelidik. Aku membelai rambutnya. Kini kami sedang duduk di ruang televisi. Sedangkan mama dan Nessia ada di kamar. Mungkin masih melaksanakan kewajiban lima waktu. Sedangkan aku sudah beberapa menit yang lalu."Katanya mama sama papanya bercerai," jawab Dona dengan polos.Keningku mengernyit. "Oh ya? Kasihan dong," jawabku menatap dirinya yang sendu."Memang bercerai itu gimana? Kok kasihan? Aslan juga nangis-nangis. Katanya, papanya kini pergi dari rumah. Dia nangis terus di sekolah," jawab Dona kembali dengan penuh keheranan."Oh nama teman kam
PoV Dani***Beberapa bulan kemudian."Mas Dani? Kamu nyari aku?" tanya Alessa kaget. Karena aku menghampirinya ke rumah sakit tempat ia praktek. Kebetulan ini lagi jam istirahat.Aku hanya tersenyum."Ya udah, kita ngobrol di taman saja, yuk," ajak Alessa."Oke," jawabku singkat.Alessa membawaku berjalan ke arah taman samping rumah sakit. Dimana di sana memang terdapat taman dibubuhi beberapa kursi dan tanaman bonsai.Sesampainya di kursi taman kami duduk berdampingan dengan jarak kurang lebih lima puluh sentimeter."Mas Dani? Kamu tumben kesini? Tadi suster bilang kamu cari aku," tanya Alessa kebingungan.Ia memanggilku Mas, karena usianya memang dibawahku. Alessa berusia sekitar 29 tahun, dan belum menikah karena sibuk berkarir."Ya, sengaja, kok. Mumpung lagi istirahat, dan aku lagi gak dil
PoV Dani***"Kamu kok diem aja?" tanyaku pada Alessa di dalam mobil. Karena kami belum sampai.Alessa kaget. "Heumh, oh, enggak, ya memangnya mau ngobrol apa?" jawab Alessa."Kamu kok belum menikah di usia kamu saat ini?" tanyaku memulai pembicaraan.Alessa diam."Aku memang fokus untuk berkarir dulu." Ia menjawab singkat."Hem," ujarku.Tuh kan, dia malah fokus berkarir. Bukan ingin fokus berumah tangga.Usiaku ternyata tiga puluh dua tahun sekarang. Kenapa ternyata? Karena tanggal dan tahun lahir sebenarnya baru kuketahui sejak aku bertemu dengan orang tua kandungku. Jadi memang dulu ibu dan bapak hanya menebak-nebak saja. Dan aku dengan Diandra hanya beda usia beberapa bulan. Kami lahir di tahun yang sama. Diandra lahir di bulan Desember sedangkan aku lahir di bulan Februari.Lho, kok pikiran ini jadi bahas
PoV Bu Susanti***"Cucu Oma. Yuk kita masuk!" ajakku pada cucuku yang sudah berlari menghampiriku di teras depan. Memang aku sengaja memanggilnya bersama menantuku pula. Ada sesuatu yang ingin kuberikan padanya.Mereka berdua sudah mengucapkan salam dan mengecup punggung tanganku seperti biasanya. Cucuku sangat santun sekali."Mah, Diandra mau ke dapur dulu," kata Diandra. Sepertinya ia ingin menyajikan sesuatu yang ia bawa di kantong kresek putihnya. Gelagat matanya memperlihatkan."Iya. Mama sama Dona ke kamar, ya," jawabku.Diandra pun mengangguk dan dia langsung menuju ke arah dapur. Sedangkan aku dan cucuku berjalan menuju kamar."Oma memangnya mau kasih aku apa?" tanya cucuku sambil berjalan menggandeng lenganku."Ada, aja. Yuk kita masuk ke kamar."Aku dan Dona masuk ke dalam kamar."Kamu duduk ya, Sayang. Oma ada hadiah buat kamu."Dona duduk dengan tatapan menyelidik.Aku mengambi
PoV 3***"Ya ampun, Non. Non kenapa?" Mbok Arum menanyakan perihal Diandra yang meringis. Diandra juga memegangi perutnya."Aduh, Mbok. Perut saya sakit. Kayaknya saya mau melahirkan." Diandra terus meringis sambil berusaha duduk di sofa."Owalah, Non. Iyo, pasti si Non iku mau lahiran." Mbok Arum mulai panik."Sabar ya, Non. Saya telepon dulu den Reza." Mbok Arum segera meraih gagang telepon."Mbok, Mas Reza bilang ia ada di luar kota. Dia pasti lama. Mbok cari taksi saja." Diandra memberi usul dengan nada kesakitan."Owalah. Piye iki? Yo wes Mbok cari taksi dulu." Mbok Arum makin panik."Mbok panggil pak satpam saja." Diandra kembali meminta.Mbok Arum sangat panik sekali. Mau bertindak ini, mau bertindak itu jadi kebawa suasana kepanikan."Mbok sini teleponnya. Tolong hubungkan ke mama, Mbok!" pinta Diandra."Iyo, Non. Iki telepone. Mbok panggil satpam dulu biar cepat bawa Non."Mbok Ar