Adnan dan Yudha manggut-manggut setelah mendengar cerita Edo, tampak Edo memejamkan matanya dan menelungkupkan wajahnya di atas meja. Dua bapak itu tampak saling pandang, kemudian Yudha menepuk lembut punggung Edo yang duduk di sampingnya itu.
"Papa bisa mengerti, Do. Biar nanti papa bicara dengan Arra," Yudha tersenyum, ia kembali membahasakan dirinya dengan sebutan papa.
"Tolong Pa, bantu Edo. Edo pusing banget rasanya, Arra benar-benar lain sekarang dan Edo benar-benar nggak bisa membujuk Arra lagi, Pa!" renggek Edo pada Yudha macam anak kecil.
"Yudha, sudah boleh aku lamar sekarang belum si Arra?" tanya Adnan tegas, ia ikut pusing memikirkan masalah dua sejoli ini. Kalau masalahnya dari dulu seperti ini dan tidak selesai-selesai lebih baik sekalian dinikahkan saja bukan?
Yudha tampak berpikir, ia menundukkan wajahnya. Masalahnya Arra masih delapan belas tahun. Sudah benar-benar siapkah Arra dengan kehidupan rumah tangga? Mana Edo juga masih residensi,
Edo menatap nanar sang papa, jadi semua itu benar? Benar bahwa papanya akan menikahi gadis dua puluh satu tahun itu? Astaga, apakah ini yang dinamakan tanda akhir zaman? Dari banyaknya wanita, bahkan wanita potensial yang Om Yudha sodorkan sebagai bakal calon mama tiri Edo, kenapa harus gadis itu yang papanya pilih?Edo kira hal seperti ini hanya terjadi di kisah novel dan sinteron saja, ternyata benar terjadi di dunia nyata dan ia sendiri yang sedang menghadapinya sekarang! Sungguh ironis sekali!"Papa sadar? Pa ayolah tolong kenapa harus yang semuda itu sih?" Edo tampak tidak terima, bagaimana dia bisa terima kalau dia dan ibu tirinya nanti lebih muda lima tahun ibu tirinya itu?"Do ...," guman Adnan lirih, "Papa juga tidak tahu kenapa, tapi papa sudah benar-benar jatuh cinta dengan dia, Do!" kembali Adnan menjelaskan, menegaskan dan mencoba memberi pengertian, berharap bahwa anaknya itu akan segera luluh dan bisa memahami apa yang tengah Adnan alami dan rasak
"Mas, aku naik ojek aja deh, ada Edo." guman Redita sambil menempelkan ponsel itu di telinganya. Ia sudah berada di depan rumah sakit, hendak memesan ojek online karena ia tahu tidak mungkin kan dia pulang bersama Adnan sedangkan anaknya saja sedang berada di sini."Kan bisa saya antar dulu kamu, sayang. Baru saya nanti pulang ke rumah. Edo sudah di rumah ini pasti," jawab Adnan lembut."Tapi Mas, ak-""Jangan membantah, saya tunggu di parkiran!" guman Adnan lalu menutup teleponnya.Redita menghela nafas panjang, ia kemudian berbalik dan melangkah menuju parkiran. Untung ia belum jadi memesan ojek online, kasihan, kan, kalau Redita harus membatalkan orderannya? Jujur ia takut anak Adnan datang kemari dan Redita harus bertemu lagi dengannya. Entah mengapa ia begitu takut.Redita tahu betul mata Edo memerah, kan, tadi? Pasti ia ribut dengan sang ayah perihal hubungan Redita dengan dokter Adnan. Pasti Edo menolak Redita menjadi ibu tiri untuk dia dan
Adnan melangkah keluar dari rumah, ia kembali masuk mobilnya dan bergegas membawa mobilnya pergi meninggalkan rumah. Ia tidak peduli dengan penolakan Edo, dia yang mau menikah dan ia tidak bisa dipaksa begitu saja! Dia tidak mau dipaksa menikahi wanita yang tidak ia cintai.Menikahi Amanda? Bagaimana bisa ia menikahi Amanda kalau dia tidak mencintai wanita itu? Ia hanya mencintai Redita, hanya itu! Kenapa sulit sekali sih menjelaskan semua perasaan Adnan pada gadis itu?"Papa tidak peduli, papa akan tetap menikahi Redita, papa tidak mau harus kembali hancur!" guman Adnan pada dirinya sendiri. Pernah hancur, pernah terluka dan itu yang membuat Adnan kemudian bertekad bahwa ia harus mendapatan kebahagiaannya.Rasanya dada Adnan begitu sesak, kenapa disaat ia kembali mencintai dan dicintai ada saja masalahnya? Kenapa? Kenapa harus perkara umur yang menjadi masalah? Kenapa harus perkara restu dari anak-anaknya yang menjadi penghalang? Padahal dimana letak salahnya?
Adnan menyeka peluh yang membasahi dahi Redita, wajah isterinya itu memerah. Membuat Adnan tersenyum penuh arti. Ia bergegas bangkit dan duduk di tepi ranjang, sebenarnya ia masih ini di sini, bersama Redita, memeluk erat tubuh bersimbah peluh itu sampai pagi, namun mau bagaimana lagi, Edo sedang di rumah jadi mau tidak mau Adnan harus pulang. Daripada nanti timbul masalah yang makin pelik, lebih baik dia kembali ke rumah, kan?"Sayang, saya pamit balik ya, maaf malam ini nggak bisa nemenin kamu," Adnan mengecup lembut kening isterinya, rasanya berat, tapi mau bagaimana lagi?Redita hanya mengangguk sambil memejamkan matanya, ia ingin tidur saja setelah ini, tidak mau melakukan apapun. Tubuhnya terasa lemas dan besok ia masih harus koas.Adnan bergegas bangkit dan melangkah ke kamar mandi, ia harus membersihkan diri sebelum kembali pulang. Ia yakin pasti setelah ini Edo akan mencecarnya habis-habisan! Ia yakin itu! Ah ... sudahlah, bukan kah semua sudah Adnan ni
Kepala Adnan jadi pusing, sensasi pelepasannya beberapa saat yang lalu sudah hilang digerus sakit kepala yang ia rasakan ini. Kenapa disaat ia ingin kembali berumah tangga malah jadi seperti ini? Adnan memijit keningnya dengan gemas, diusapnya wajah dengan kasar lalu ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Apa yang salah? Di mana salahnya? Dia tidak membidik wanita yang masih menjadi isteri orang untuk dia nikahi bukan? Lantas apakah hanya karena umur, semua ini jadi terlihat salah?Apa salah Redita? Hanya karena ia terlalu muda jadi Edo menolaknya? Tapi Adnan yakin betul Redita benar-benar tulus dan sosok pendamping yang baik untuknya. Dan masalahnya ada di anaknya. Itu baru Edo yang tahu, Aldo karena masih pendidikan, Adnan sedikit sulit menghubungi dirinya, entah apa nanti tanggapan Aldo, ia tidak tahu.Adnan meraih ponselnya, ia mencoba menghubungi nomor Edo. Cukup lama ia menanti, panggilan itu tidak terjawab. Adnan mencoba lagi, namun sayang, sama saja. Adnan
Redita mengerjapkan matanya, menggeliat dan tersentak luar biasa ketika mendapati Adnan sudah memeluk erat tubuhnya, bukankah tadi ia pamit mau balik? Lantas kenapa dia masih di sini? Ini beneran suaminya kan? Bukan perwujudan makhluk gaib atau apa?"Mas? Nggak jadi balik?" Redita melirik Adnan yang memeluk tubuhnya dari belakang itu. Dari wujudnya sih itu sudah fix seratus persen suaminya, Adnan Sanjaya!"Sudah," jawabnya singkat tanpa beranjak dari posisinya."Lalu kenapa balik kesini?" tanya Redita terkejut, bukankah ada Edo? Dan Adnan malah pilh balik ke sini?"Sejak kapan suami tidak boleh pulang ke tempat isterinya?" jawab Adnan santai, ia makin mempererat pelukannya."Bukannya begitu, tapi kan ....""Sudah diam, kembalilah tidur, Sayang!" potong Adnan singkat.Redita menghela nafas panjang, ia hendak melepaskan pelukan Adnan yang terasa begitu sesak itu."Mas ... aku mau pipis, lepas dulu!" gerutu Redita yang hampir sama
Pagi itu Adnan sudah duduk di pantry apartemennya, sebuah pagi yang indah bersama wanita kesayangan Adnan itu, pagi pertama yang ia jalani dengan status barunya bersama Redita. Adnan tengah membaca koran pagi ketika kemudian ada pesan singkat masuk ke ponselnya. Ia meraih benda itu dan tersenyum ketika mendapati pesan itu berasal dari Yudha.[Nan, aku sudah bicara dengan Edo, jangan khawatir dia baik-baik saja!]Adnan begitu lega begitu membaca pesan yang semalam Yudha kirimkan itu. Setidaknya Edo dalam kondisi yang baik-baik saja. Ia tidak akan memaksakan Edo untuk secepatnya menerima Redita, ia akan memberi Edo waktu untuk menjernihkan pikirannya hingga kemudian Adnan akan mengatur pertemuan anak-anak dengan Redita.“Mas, aku berangkat sendiri aja gimana?” Redita menyodorkan secangkir kopi itu kehadapan Adnan.“Kenapa?” Adnan meletakkan kembali ponsel itu, sama sekali tidak membalas pesan yang sudah Yudha kirimkan, fokusnya menat
“Re, ikut asistensi!” perintah Adnan tegas.Redita sontak melotot dan tercengang, namun ia tidak bisa berkata apa-apa. Harus dia masuk OK lagi? Sungguh suami yang sangat tidak pengertian! Redita dengan lemas melangkah ke OK, meninggalkan beberapa temannya yang masih stand by di poli bedah. Sedangkan sosok Adnan sudah lebih dulu pergi entah kemana.“Mbak Sus, ikut gabung ya?” guman Redita sambil tersenyum manis ketika bertemu dengan Susi, perawat OK yang terkenal paling ramah dan baik hati, baik ke pada residen, perawat junior yang baru masuk, bahkan kepada keset rumah sakit macam dia dan teman-temannya yang lain ini.“Ah siap dong, asistensi siapa, Dek?” tanyanya sambil menuliskan sesuatu diselembaran kertas, laporan persiapan operasi