"Adji! bantu kakek!" ucap seorang pria tua memanggil cucunya.
Pria bernama Adji yang dipanggil itu akhirnya menghampiri sang kakek.
"Apa dia mati?" tanya Adji dengan mata yang terbelalak.
"Dia masih hidup, ayoo bawa ke pondok kita." ucap sang kakek bernama Sura itu kepada cucunya.
Adji sempat merasa sangsi ketika melihat sosok wanita yang bersimbah darah itu, namun dia tak pernah bisa menentang perintah kakeknya.
Adji kemudian membawa sosok wanita tak dikenal itu dengan memikulnya.
'berat juga ini wanita.' gumam Adji sambil bergegas mengejar langkah kakeknya yang sudah semakin jauh.
Jalan setapak dilaluinya terus menerus, membawa mereka masuk semakin ke dalam belantara Lembah Cemara.
Lembah yang terkenal tak bertuan dan sangat jarang disinggahi manusia ini, disinilah keduanya menetap selama sepuluh tahun terakhir.
'brukk'
Lelah setelah memikul beban tubuh Jingga di sepanjang perjalanan, membuat Adji tak
Hallo AllDer, lanjut baca yaa. Silahkan share ke semua teman kalian dan juga bisa share keseruan kisah ini di medsos kalian. Ramaikan KriSannya dan jangan ragu untuk kasih vote yaa. Love you, Happy Reading.
Malam bergelayut, Lembah Cemara yang gelap gulita menjadi semakin dingin malam ini. Disebuah pondok di bagian terdalam hutan ini, kebingungan melanda dua pria berbeda usia yang kini terpaksa terlelap di luar pondoknya karena mereka kedatangan tamu di dalam pondoknya. "Air.." ucap Jingga sangat lirih. Sementara itu, suara derasnya air terjun membuat Adji dan kakeknya tak bisa mendengar suara Jingga tersebut. "Air.." ucap Jingga kembali. "Kakek, kau dengar sesuatu?" ucap Adji yang samar-samar mendengar suara seseorang meminta air kepadanya. "Wanita itu pasti sudah sadar." ucap Sura sambil bergegas masuk ke dalam pondok dengan segelas air hangat ditangannya. Didepan pintu pondok, lampu damar menjadi satu-satunya lentera yang mereka miliki selama ini. "Nonna, apakah anda bisa mendengarku?" tanya Sura sambil membantu Jingga berdiri. "Iyaa.." jawab Jingga sangat pelan. Raut wajah Adji dan Sura
"Frans, kita berdiri di jalan yang sama! Meski kita selama ini bertentangan! Pergilah, bawa Alkala bersama Sharena dan puterimu. Tinggalkan kota ini secepatnya." ucap Badai sambil menatap tajam kepada sang sekretaris utama Prahara Group ini. "Badai Benar Tuan Sekretaris, Tuan Muda tak akan aman lagi berada di Arshan Pallace." ucap Darma mengimbuhkan. Frans menarik nafasnya sangat dalam, pria ini harus segera mengambil keputusan sebelum para polisi datang ke kediaman utama Nyonya Prahara ini. Perbincangan serius ini akhirnya mmebuahkan sebuah keputusan yang sulit yang akan memberikan konsekuensi besar kepada semua orang yang melakukannya. Namun demi Alkala Sang Pewaris Utama Prahra Group, nyatanya para abdi setia mendiang Arshan ini sanggup mempetaruhkan nyawanya. "Duma, kau akan pergi dengan kami." ucap Frans. "Pergilah melalui jalur belakang, kami akan tetap disini." ucap Darma dan Badai dengan tatapan sangat serius kepada Frans. Deng
Di Arshan Pallace, satu minggu pasca insiden kecelakaan yang membuat Jingga menghilang seperti ditelan bumi itu. Kini kisruh semakin melebar ketika sekretaris Frans dan sang pengasuh dituding menculik baby Alkala pewaris utama Prahara Group tersebut. Sementara itu, di perusahaan. Badai Hankaara yang sudah mendapatkan posisi sebagai Wakil Direktur Utama Prahara Group akhirnya naik otomatis menggantikan posisi Direktur Utama dimana Jingga dinyatakan hilang. Kemarahan terhadap skema penguasaan Prahara Group ini diserukan dari pihak keluarga Prahara melalui pengacara Elisa dan Erik yang memang menginginkan posisi penting tersebut. Kini, payung hukum yang digunakan oleh Thompson and Co untuk melindungi segala properti dan juga warisan besar Prahara Group terhadap klien utama mereka Alkala Arshan Prahara yang merupakan seorang bayi itu adalah sebuah kepastian mengenai naisb dari Alkala. Pihak firma hukum tersebut membela mati-matian kliennya dengan ha
Badai Hankaara, sudah dua bulan ini mencari jejak dari sang mantan isteri yang sekaligus adalah CEO-nya sendiri. Namun hingga waktu terus bergulir, penggalan jejak Jingga seolah menguap tak pernah ditemukannya. Tim pencari yang dikerahkan akhirnya memutuskan menyelesaikan pencarian dengan kesimpulan JINGGA HILANG. Tak hanya itu, kini pencarian terus merambah kearah FRANS WIBOWO yang disinyalir berkaitan erat dengan menghilangnya Duma juga Alkala Arshan Prahara. Malam ini, seorang anak buahnya mendapatkan sebuah informasi jika di hari kejadian terlihat SUV milik Erik meninggalkan kediamannya menuju keluar kota. Dengan menyogok salah satu petugas pengamanan lalu lintas, akhirnya Badai mendapatkan akses untuk membuka setiap CCVT yang berada di seluruh jalan raya kota ini. "Darma, kau harus membukanya dengan seteliti mungkin." ucap Badai kepada pria tersebut. Darma mengangguk mengiyakannya. Teka-teki raibnya Jingga, masih menyisakkan banya
"Jangan menangis!" ucap Adjie sambil terus memeluk Jingga. "Mereka kejam sekali!" ucap Jingga pelan dan sangat lirih. Didepan mata mereka, kakek Sura dihabisi dengan cara paling keji. Gurat dendam dan pilu menghantam jiwa keduanya, baik Adjie dan Jingga kini mereka memiliki satu duka yang sama yaitu kehilangan pria tua yang demikian sabar menjaga mereka selama ini. Selesai menghabisi kakek Sura dan mengobrak-abrik semua pondoknya. Para pria berpakaian serba merah itu kemudian menyisir ulang seluruh hutan. Mereka terlihat jelas tengah mencari seseorang. "U..ular ... " ucap Jingga dengan mata terbelalak semnetara mulutnya dibekap oleh Adjie karena khawatir suara Jingga akan membuat beberapa orang dibawah pohon yang mereka naiki itu mendengarnya. 'ssshhhh' Ular berwarna hijau kebiruan itu terus merayap semakin mendekati wajah Jingga. Kini jarak keduanya hanya beberapa inchi saja dari ujung lidah ular yang terus mendesis itu.
Tak terasa, sudah hampir satu tahun setelah kematian tragis kakek Sura di Lembah Cemara, Jingga dan Adjie kemudian memulai hidup baru mereka di Desa Meruya. Berbekal seguci koin emas milik kakek Sura yang dibawa oleh Adjie, mereka memulai hidup baru di Desa terdekat dengan Lembah Cemara ini. Sebidang tanah dibeli Adjie, sementara sebuah pondok dibangun kemudian. Dengan membuat identitas mereka menikah, keduanya mendapatkan pengakuan dari masayarakat sekitar yang kemudian mengenal Jingga juga Adjie sebagai seorang petani bunga disana. Lahan kosong disekitar pondok yang cukup luas dimanfaatkan Adjie dan Jingga dengan menanam bunga-bunga yang indah. Tak disangka, berkat dari memanfaatkan lahan kosong tersebut kini pundi-pundi uang mengalir bak hujan deras di kantong keduanya. "Jingga, ini uang tadi." ucap Adjie sambil menyerahkan seamplop uang kepada wanita yang dikira orang lain adalah isterinya itu. "Syukurlah mas, makin hari bunga-bunga kita s
"Jingga, " ucap Adjie sambil terus memeluk wanita itu. "Ya mas." ucap Jingga dengan debaran di jiwanya yang begitu menjerit oleh dahaga. "Adakah yang salah jika kita memulainya?" ucap Adjie dengan helaan nafasnya yang berat. Jingga terdiam. Wanita ini tahu persis apa yang difikirkan dan tengah dibicarakan oleh pria tersebut. Badai petir yang terus menyambar di langit luar membuat gemuruhnya memekakkan telinga dan makin mengurung Jingga dalam ketakutan yang mencekam. Namun bukan hanya badai petir tersebut yang kini membuat Jingga khawatir. Melainkan badai hasratnya yang semakin kering dan dahaga. "Sayang, kita pernah membaca semua buku bersama. Dan kau ingat mengenai apa yang membuat kita berhasrat lebih dengan fantasi yang liar dan membingungkan adalah salah satu ciri jika kita memang pernah menikmatinya." ucap Adjie sambil terus memeluknya. "Ya mas, aku juga ingat. Pertanyaannya adalah siapakah yang berhak atas diri kita ini m
Malam bergelantung seiya dengan hasrat Jingga yang kini menemukan Tuannya. Namun kecanggungan bathinnya tak bisa ditepiskan, Jingga merasakan ada sebuah ganjalan dibalik hidupnya ini yang membuat bathinnya makin tergerus rasa yang gamang. Kendati kehidupan berjalan lancar, namun setiap saat nafas Jingga berhembus selalu saja dipenuhi oleh sebuah nama yang terus memusingkannya hingga pagi ini. "Ini maksudnya apa?" tanya Jingga kebingungan melihat sejumlah nota di tangannya yang baru saja didapatnya dari Galih-pekerjanya itu. "Seseorang di kota Cortez memesan semua itu untuk acara besok. Dan mereka meminta kita kesana membawa bunga-bunga yang masih belum dihias karena Tuan Frans yang memesannya ingin langsung ditata dirumahnya saja." ucap Galih kepada Jingga. "Sayang, bagaimana kalau besok kita mengantarkannya langsung?" ucap Adjie bertanya. "Terserah mas Adjie saja." ucap Jingga kepada pria yang dua tahun ini menemani hidupnya.