“Katy!”
Aku menoleh ke arah suara orang yang memanggilku berasal. Ada Sheryl yang sedang melambaikan tangannya dan mengejarku dengan langkah cepat. Aku berhenti melangkah demi menunggunya menyusulku.
“Tumben enggak telat.” Aku menyambut tangannya yang lebih dahulu melingkari pundak.
Sheryl mengerucutkan bibirnya. “Gue enggak pernah telat. Lo aja yang kepagian. Orang normal tuh, dateng ke sekolah saat detik-detik gerbang akan di tutup.”
Aku tertawa kecil sambil kembali melangkah menuju ruang kelasku.
“Eh, Semalem Zoey jadi jemput lo kan?” tanya Sheryl tiba-tiba.
Seketika jantungku berhenti berdetak. Ingatanku kembali pada kejadian malam tadi yang membuatku tidak bisa tidur. Pada tatapan mata Jace yang mengurungku di bawah kendalinya. Pada sentuhannya yang menarik semua oksigen di sekitarku. Lalu pada kalimatnya yang memporak-porandakan keyakinanku bahwa aku sudah bisa melupakan perasaanku pada kekasih sahabatku ini.
Aku mengambil napas dalam-dalam sebelum mengangguk dengan kikuk. “Uh, ummp ..., iya.” Aku tergagap.
“Syukur deh. Gue takut pacar lo enggak dateng semalam. Soalnya lo enggak ngabarin gue,” tukasnya dengan nada riang.
Lalu dia melanjutkan bercerita kalau Jace tidak bisa dihubungi dari semalam. Bahkan sampai pagi hari ketika handphone-nya sudah aktif, Jace masih belum memberi kabar.
“Emang sialan pacar gue itu. Untung ganteng,” celoteh Sheryl sebelum kami masuk ke dalam kelas dan bersiap untuk menerima ilmu baru pagi ini.
Aku berharap bisa melalui hari ini dengan biasa saja. Namun, setiap mengingat cara Jace memeluk dan menatapku semalam, aku semakin kehilangan fokusku. Pikiranku melayang pada semua kemungkinan yang bisa saja terjadi. Apa maksud ucapannya pada malam itu? Apa dia memiliki perasaan padaku? Atau memang itu adalah gayanya dalam memperlakukan setiap wanita?
Ketika sore menjelang, Zoey akhirnya memberi kabar. Dia hanya bertanya apa aku perlu dijemput atau tidak. Aku tidak tahu apakah dia sudah tidak marah lagi atau hanya berpura-pura melupakan yang terjadi tadi malam. Dia tidak membahas apapaun yang berkaitan dengan Jace. Dia malah mengungkapkan perasaannya, betapa dia merindukanku dan ingin segera bertemu.
“Aku pulang agak telat. Hari ini ada pembagian peran di kelas teater,” jelasku pada Zoey di telepon.
“Aku tunggu sampai selesai. Apa perlu aku bawain makanan?” tawarnya dari seberang.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku merasa sedih dan menyesal karena telah membuat cowok sebaik ini terluka.
“Enggak perlu Zoey.” Aku menolaknya dengan halus.
“Oke kalo gitu, gue tunggu di depan gerbang sekolah ya.”
Aku menyetujuinya dan mengakhiri permbicaraan kami. Lalu melanjutkan langkahku ke ruang klub teater.
Kelas teater sudah hampir selesai. Aku mendengar suara riuh anak pemandu sorak yang sedang menyemangati para pemain basket di lapangan.
Dalam sesi meditasi di bagian akhir kelas, aku berkali-kali di tegur oleh kakak pembimbingku karena selalu membuka mata. Itu tidak boleh dilakukan karena meditasi harus benar-benar fokus.
Bagaimana aku bisa fokus jika anak-anak pemandu sorak sangat berisik di luar sana? Apalagi ketika mereka menyoraki nama Jace. Aku ingin sekali berlari ke jendela dan melihat apa betul ada Jace di lapangan. Mengingat aku belum melihat dia seharian ini.
Astaga, kenapa aku harus memikirkan cowok itu? Ayolah, mau di kemanakan Zoey?
Sebelumya, ada seorang anak yang memprotes jadwal latihan teater yang bersamaan dengan jadwal klub pemandu sorak dan basket. Itu sangat mengganggu kami yang membutuhkan suasana tenang dan sepi. Namun, kakak pembimbing kami—Kak Hasan namanya—pernah bilang, “Itulah seninya. Konsentrasi kalian diuji ketika kalian harus tetap fokus ketika keadaan sekitar sedang gaduh.”
Dan setelah itu, tidak ada lagi yang protes tentang itu.
****
Selama berminggu-minggu, hubunganku dengan Zoey berjalan seperti biasa. Tidak ada percekcokan, drama atau kejadian serius yang harus diceritakan. Begitu pun dengan Sheryl dan Jace. Mereka masih menjadi pasangan idola sekolahku yang tidak terpisahkan.
Namun, itu tidak lama. Kedamaian kami terusik ketika aku harus mengalami hal yang mengerikan.
Hari sudah gelap ketika aku selesai latihan teater. Saat itu aku memutuskan untuk pulang duluan tanpa harus menunggu Sheryl yang masih bersama teman-teman pemandu soraknya. Aku berpikir, Sheryl pasti akan pulang bersama Jace nanti.
Aku sudah janjian dengan Harvey—temanku yang juga anggota klub teater—untuk pulang bersama. Rumahnya satu arah dengan rumahku. Sehingga aku tidak perlu naik angkutan umum atau bahkan meminta Zoey untuk menjemputku. Lagi pula Zoey tidak ada kabar dari siang. Jadi aku tidak mungkin mengandalkan orang yang belum pasti.
Aku sudah di area parkir motor ketika Harvey masih di ruang teater untuk membereskan peralatan. Sebetulnya, aku bisa saja menunggu di koridor sekolah yang terang benderang ketimbang di parkiran sepi yang minim pencahayaan ini. Namun, melihat ramainya anak-anak pemandu sorak di sana membuatku merasa canggung. Aku merasa terintimidasi kalau harus bergaul dengan mereka.
Lima menit menunggu, akhirnya Harvey datang dengan tergopoh-gopoh. “Sorry lama,” ucapnya sambil terengah-engah.
“Yuk,” ajakku lalu berjalan mendahului Harvey menuju tempat motornya di parkirkan. Harvey mengekor sambil sibuk dengan handphone-nya.
Dari ujung mataku, aku merasa ada yang bergerak dari balik pohon beringin di pojok area parkir. Beringin tua itu memang tidak terlalu tinggi, tetapi dia punya banyak akar gantung yang lebat dan menjuntai sampai ke tanah. Membuat siapa pun orang yang berdiri di baliknya tidak akan terlihat dari area parkir. Aku tepis perasaan aneh itu dan kembali berjalan menuju motor miilik Harvey berada.
Area parkir sekolah kami berbentuk hurup L. Masuk dari arah barat, satu jajar dengan gerbang utama lalu berbelok ke selatan. Namun, untuk keluar tetap dari gerbang utama di arah barat. Sialnya, motor Harvey ada di ujung bagian selatan yang membuat kami harus melewati beringin tua yang berdiri kokoh tepat di sudut belokan area parkir.
Bayangan itu terlihat lagi. Bergerak-gerak dan kemudian bergeser ke sisi lain pohon beringin. Aku tersentak dan langsung menghentikan langkah. Walau ini sudah gelap, tetapi ini masih terlalu dini untuk hantu menampakan dirinya.
“Aduh!” Harvey memekik ketika tubuhnya menabrak punggungku. “Apa sih? Kok, tiba-tiba berhenti?”
“Ada yang gerak di sana.” Aku berbisik dengan tegang.
“Enggak usah bicara ngaco. Di sana enggak ada orang,” gerutu Harvey. Dia mendengus sambil berjalan mendahuluiku. “Ayo!”
Aku menarik napas dalam-dalam dan langsung menyusul langkah Harvey. Entah kenapa Harvey yang tinggi malah mempercepat langkahnya. Membuatku semakin tertinggal di belakangnya.
Lalu bayangan itu bergerak lagi. Aku yakin sekali ada orang atau sesuatu yang bersembunyi di balik beringin tua itu. Aku menghentikan langkah dan menajamkan penglihatan. Memastikan bahwa itu bukan apa-apa dan bisa berlari menyusul Harvey.
Sial, Harvey sudah berbelok ke sisi selatan area parkir dan aku harus sendirian melewati beringin tua itu.
Aku bergegas melangkah dengan cepat. Namun, tiba-tiba,
“Argh ... mffff!!!”
Seseorang membekap mulutku!
Apa dia setan? Apa dia penculik? Apa aku diculik?
Aku meronta dan mencoba membuka mataku lebar-lebar. Mencari tahu apa yang sedang terjadi dan berusaha berteriak sekencang mungkin. Namun, mulutku ditutup sebuah handuk basah yang sangat bau. Aku tidak bisa ingat itu bau apa. Setelah beberapa kali aku mencoba berteriak, sesuatu yang menyengat seperti tersedot ke dalam tenggorokanku. Aku terbatuk setiap mencoba berteriak, dan itu rasanya sakit sekali.
Kepanikan menghantam kepalaku ketika sadar badanku sedang diseret seseorang. Aku membelalakan mata. Mencari tahu apa saja yang bisa aku lihat. Aku harus tahu siapa yang menyeretku dan ke mana orang ini akan membawaku. Aku meronta dan mencoba mengeluarkan suara. Namun, sia-sia. Aku malah semakin terbatuk-batuk dengan hebat.
Dan beberapa detik setelah itu, aku kehilangan kesadaran.
Halo, senang sekali bisa bergabung di sini. Aku harap, cerita ini bisa menghibur dan menemani hari-hari kalian semua. Aku sangat terbuka untuk setiap masukan dan kritik yang kalian berikan dalam perkembangan cerita ini. Terimakasih yang sudah membaca dan semoga kalian selalu setia mengikuti cerita ini hingga akhir. Salam hangat Anna kuhas
Aku melenguh pelan. Rasa sakit yang tidak tertahankan segera menyerang kepalaku. Rasanya seperti habis dibenturkan dengan kencang. Aku mengerang dan mencoba untuk membuka mataku perlahan. Beberapa detik kemudian akhinya aku bisa menangkap beberapa cahaya yang menulusup masuk lewat bulu-bulu mataku. “Argh.” Suaraku terdengar serak. Mataku mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terbuka dengan sempurna. Tunggu, aku tidak kenal ruangan ini. Mataku menyapu sekeliling ruangan tanpa jendela yang berukuran empat kali tiga meter ini. Dua buah lemari buku usang. Beberapa vas bunga retak. Bahkan ada yang hancur sama sekali. Lalu ada sebuah grand piano penuh debu. Lengkap dengan tumpukan partitur yang sudah menguning. Aku terbatuk beberapa kali. Rasanya, tenggorokanku kering dan sakit. Aku juga merasa nyeri di pergelangan kakiku. Aku raba dan melihat di tempat sakit itu berasal. Ada lebam dan guratan bekas tali yang mengikat kakiku. Jelas sekali kakiku
“Bisa ceritakan kembali apa yang anda lihat di sana?” sudah ke sekian kalinya polisi di depanku ini bertanya padaku. Aku ingin ceritakan semua. Namun, lidahku tiba-tiba terasa kelu. Tanganku masih gemetar dan fokusku masih belum kembali. Aku masih bingung harus memulai cerita mengerikan tadi malam itu dari mana. Seorang perawat mendekatiku dan berbisik dengan ramah. “Tarik napas dalam-dalam dan keluarkan perlahan. Ceritakan saja apa yang kamu ingat. Selebihnya bisa menyusul nanti.” Aku melirik ibuku yang duduk di sampingku. Dia menggenggam tanganku erat dan mengangguk pelan. “Enggak apa-apa. Pelan-pelan aja ceritanya. Yang penting kamu bikin laporan dulu. Supaya kasus ini bisa cepat diproses.” Ibu memelukku sedikit lebih erat. Ternyata, hanya pelukannya lah yang aku butuhkan. Pelukan yang bisa meredakan ketakutanku saat ini. “Temanku gimana, Sus?” tanyaku dengan suara parau. “Kondisinya sudah stabil. Sudah masuk ruang rawat. Tinggal me
“Kalian pernah pulang bersama saat malam?” Sheryl mengulangi pertanyaan yang sempat aku alihkan tadi. Dia memicingkan matanya padaku dan Jace secara bergantian. Membuatku tidak mampu berkilah atau membuat alasan yang bagus dalam waktu singkat. “Jace?” panggil Sheryl, karena si tersangka utama ini malah terlihat tidak peduli. “Itu udah lama. Enggak perlu dibahas lagi,” jawabnya santai. Lalu memejamkan mata seolah keadaan ini tidak terlalu penting untuk dibahas. Seiring dengan itu, Zoey masuk ke dalam ruangan. Memotong ketegangan yang sedang berlangsung di ruangan ini. “Sher, lama banget cuma bawa handphone doang,” celetuk Zoey sebelum menyadari ada yang tidak beres dari ekspresi kami bertiga. “Ada apa nih?” Sheryl membuang wajahnya ke arah Zoey. “Lo tahu mereka pernah pulang bersama malam-malam?” Wajah Zoey seketika berubah. Dia menatap lurus padaku, seolah ingin mengatakan bahwa aku seharusnya sudah membereskan hal ini
Zoey mendesak, dan mendorong badanku ke belakang. Ini membuatku tidak lagi menyukai apa yang sedang Zoey perbuat padaku. Aku tidak nyaman dan merasa terancam. Zoey sudah melewati batasnya Aku tidak membuka bibir ketika Zoey terus mendesaku. Dia mencari kesempatan dan sedikit memaksa. Sampai akhirnya aku mampu mendorongnya dan menyudahi apapun kegiatan kami itu. “Zoey stop,” erangku dengan suara serak. Zoey menghentikan ciumannya ketika sadar aku menekan dadanya dengan tanganku. Dia menatapku penuh tanya. Kemudian menarik napas dan mengembuskan dengan kasar. “Maaf, aku enggak bisa ...” “No, It’s on me. Aku yang minta maaf.” Zoey memotong ucapanku. Suaranya masih terdengar bergetar. Lalu kami saling diam. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal hatiku atas perlakuan Zoey tadi. Apa aku belum siap? Atau memang aku tidak terlalu menyukai Zoey? Oh, Tuhan. Ide yang kedua terdengar san
Aku dan Zoey bergandengan tangan menuju tempat di mana mobil Zoey terparkir. Wajahnya dipenuhi senyuman karena kami baru saja berkomitmen untuk saling memperbaiki komunikasi satu sama lain. Itu memang hal yang bagus karena Zoey pantas mendapatkan perlakuan yang lebih baik dariku. Dia itu cowok baik-baik yang tidak seharusnya menjadi pria ke dua di hatiku.Zoey tidak memarkirkan mobilnya di tempat parkir sekolah, melainkan di bahu jalan tepat samping gor. Membuat kami berjalan sedikit lebih lama. Namun, aku menikmati itu karena langkah kami di temani obrolan ringan dan senda gurau.“Kita ke mall dulu ya sebelum pulang,” ajaknya. Aku tersenyum dan mengangguk setuju.Seperti kataku tadi, aku harus memperbaiki perlakuanku pada Zoey. Jadi aku harus mau untuk sekedar hang out di mal bersamanya. Lagi pula ini masih siang dan tidak ada kegiatan lain yang harus aku lakukan setelah ini.“Aku tahu kedai dimsum yang enak. Mau coba?
“Aku dan Jace enggak ada apa-apa.” Kataku dengan spontan. Padahal Zoey tidak bertanya apapun sepeninggalnya Jace barusan. Sebetulnya ekspresi Zoey yang membuatku bicara begitu. Ekspresi seseorang yang seperti sedang menanggung kekalahan bahkan sebelum dirinya bertanding. Apalagi ketika Jace dengan santai berkata padanya bahwa aku dan dia sudah selesai. Seolah sebelumnya telah terjadi sesuatu yang tidak Zoey ketahui. Dia tidak membantah ucapanku. Matanya masih terpaku pada punggung yang semakin bergerak menjauh. Aku duga, Mungkin dia ingin mendengarkan pengakuanku lebih lanjut. “Tadi Jace bilang, aku harus menjauhinya. Dia takut aku bakal terlibat masalah lagi kalau berada di sekitarnya.” Aku diam sebentar seraya menunggu perubahan ekpresi pada wajah Zoey sebelum melanjutkan kalimatku. “Lagi pula aku sama dia memang enggak terlalu akrab kalau bukan karena Sheryl. Jadi seharusnya dia enggak perlu bilang begitu.” Zoey menunduk dan menekan bibirnya sehing
Jace tidak pernah absen untuk selalu membuatku jantungan. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu membuat hubunganku dengan Zoey seperti berada dalam roller coaster. Dia seperti dalang yang bisa membuat kami berdua menukik dan menanjak sesuka hatinya.Sampai hari berganti, aku tidak bisa berhenti memikirkan maksud Jace bicara seperti itu pada Zoey. Kenapa dia bisa tahu masalah ciuman pipi yang menjadi kesepakatan aku dan Zoey saat di kantin? Apa ada yang menguping dan melaporkannnya pada Jace?Aku tahu Jace punya teman-teman yang loyal. Namun, kalau mereka sampai menguping obrolanku demi memenuhi kemauan Jace, itu sangat keterlaluan. Privasiku terganggu dan aku sangat tidak suka itu.Lagi pula, Jace tidak berhak bicara seperti itu. Dia tidak berhak mengatur Zoey dalam bersikap padaku. Memangnya dia pikir dia itu siapa?“Kenapa sih, Kat? Dari tadi meringis sambil geleng-geleng kepala mulu.” Seseorang membangunkanku dari lamunan
“Kat!! Nyebur yoook!” ajak Sheryl dengan sedikit berteriak ketika aku sedang menikmati makan siangku.Aku menggeleng dan mengangkat piring penuh lauk ke arahnya. “Lagi makan.”Dia melirik dengan malas ke arah meja panjang yang kami atur di pinggir kolam renang sebagai meja parasmanan. Beberapa orang mengambil jatah makan siangnya di meja itu. Sebagian lagi memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kolam renang dan membuat kerusuhan di sana. Sheryl adalah salah satu yang akan memenuhi kolam renang cantik di depanku ini.Dia mengerucutkan bibir padaku. “Enggak asik, ah.”“Makan dulu, Sher.” Aku mengingatkan karena setahuku dia belum makan apa-apa dari pagi.“Enggak perlu, gue udah kenyang makan dimsum.”Aku menggelengkan kepala dan segera menjauh dari kolam ketika melihat dia mulai berancang-ancang untuk terjun.Byur!!Sorak kegirangan mengiringi bunyi riak air y