Hujan tidak pernah berhenti sampai kami tiba di rumahku. Gigiku gemerutuk, lututku bergetar dan mataku perih. Aku sampai tidak bisa merasakan jari-jari kakiku karena kedinginan.
Aku dibimbing Jace menuruni motornya. “T-thanks,” kataku terbata karena terlalu menggigil kedinginan.
Aku kemudian buru-buru berlari memasuki pelataran rumah seraya mendekap tubuhku sendiri. Sungguh, rasanya aku ingin segera berganti pakaian dan memeluk selimut yang hangat. Dengan buru-buru, aku pun menggedor pintu rumah dengan kencang agar segera bisa masuk.
“Ma!” teriakku.
Aku menoleh ke belakang. Jace ikut turun dari motor dan berdiri di teras melihat ke arah langit. Dia menggosok-gosok tangannya yang berkerut. Dia juga pasti sangat kedinginan.
“Kat? Hujan-hujanan?” Ibuku keluar dari ambang pintu dengan wajah terkejut.
Aku tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam rumah. Namun, aku kembali lagi ke luar dan berseru pada Jace. “Tunggu dulu ya.”
Aku melepas jaket Jace yang basah. Menarik handuk baru dari dalam lemari dan kembali keluar ketika Jace sudah melepas jas hujannya. Ibuku baru masuk lagi ke dalam ruang tamu setelah mempersilakan Jace masuk. Namun, Jace menolaknya.
“Nih, keringin dulu.” Aku memberikan handuk di tanganku pada Jace.
Jace tidak langsung menerimanya. Dia memandangku dengan tatapan aneh yang tidak bisa aku artikan. Bibirnya bergerak seperti akan bicara, kemudian dia menerima handuk itu sebelum dia mendesah panjang.
Aku diam saja, tetapi tak bisa menampik rasa penasaran akan apa yang sebenarnya akan Jace katakan tadi. Jace pun mengeringkankan rambut dan wajahnya. Sembari memandangnya, aku menjadi teringat pelukan yang sempat kami lakukan tadi. Sialan, aku menjadi semakin canggung padanya jika seperti ini.
Aku mengingat bagaimana Jace mencoba menahan pelukannya. Aku merasakan tangan kokohnya melingkari punggungku. Rasanya, seperti seseorang yang sedang melindungiku. Penuh proteksi, tegas, tetapi di saat yang bersamaan juga terasa lembut. Bagaimana bisa rasa berpelukan dengan seseorang bisa sangat seperti ini? Bahkan hanya dengan mengingatnya pun jantungku sudah kembali berdebar keras.
Namun, jika aku ingat-ingat, sampai kami tiba di rumah ini pun, tidak ada pernyataan apa-apa dari mulutnya tentang pelukan itu. Seolah, itu hanya ketidaksengajaan yang tidak berarti. Berbeda denganku yang sedikit terguncang karenanya. Hanya debaran jantungku sendiri yang tahu betapa aku masih merasa kacau karena hal itu.
Aku kira Jace akan segera pulang ketika handuk yang dia gunakan tadi sudah dikembalikan padaku. Namun, dia malah duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Aku ikut duduk kursi di sampingnya.
“Mau teh panas?” tawarku.
Dia menoleh padaku. “Boleh,” jawabnya pelan. Kemudian dia berpikir sebentar. “Gue ngerokok ya?”
Aku mengangguk tanda setuju kalau dia boleh merokok. Lalu beranjak ke dapur untuk membuatkan teh panas untuknya. Sekembalinya aku dari dapur, aku memberikan teh panas tadi untuk Jace. Dia sedang asik merokok sambil memandangi ribuan tetes air yang tumpah dari langit dengan tatapannya yang kosong.
“Kat, temannya suruh makan dulu sini.” Ibuku kembali berteriak dari dalam rumah.
“Iya, Ma.” Aku menjawab ibuku sebelum kembali duduk di samping Jace.
“Makasih,” ucapnya sambil menyeruput teh panas buatanku.
Dia kembali diam, membuat aku semakin merasa tidak nyaman dengan suasana yang terasa canggung seperti ini. Jika memang tidak ada yang dibicarakan, mungkin sebaiknya dia segera pulang. Dia punya jas hujan yang membuat dia tidak sekuyup diriku tadi. Lagi pula, aku merasa tidak enak pada Sheryl. Dia belum tahu kalau aku akhirnya diantar pacarnya pulang.
“Gue kabarin Sheryl kalau elo lagi di rumah gue, ya?” Suaraku memecah keheningan.
Baru saja aku akan mengambil handphone ketika tangan Jace tiba-tiba menahan tanganku. Aku tersentak kaget. Sentuhan yang terasa dingin oleh hujan itu mengalirkan sesuatu yang asing ke dalam aliran darahku. Aku tak bisa bayangkan jika dalam kondisi normal, tangan itu pasti terasa hangat dan aku semakin tak bisa membayangkan bagaimana reaksi tubuhku jika demikian.
“Jangan!” serunya.
“Hah? Kenapa?”
Aku terkejut karena tangannya yang tiba-tiba berubah tidak sekadar memegangku, tetapi kini menggenggam tanganku. Ini kedua kalinya dalam semalam kami melakukan kontak fisik. Buru-buru aku lepaskan tanganku yang dia pegang tadi.
Jace membuang muka dan menggosok wajahnya dengan kasar. “Enggak usah kasih tahu Sheryl kalau gue anterin lo pulang,” katanya.
Aku menatap Jace dengan bingung. Sempat berpikir bahwa Jace sedang menutupi sesuatu dari Sheryl, tetapi aku langsung enyahkan pikiran itu.
“Oke,” jawabku pelan.
Malam ini malam yang aneh bagiku. Selain karena kecanggungan yang begitu kental menyelimuti kami berdua, juga karena Jace yang bersikap tidak biasa. Dia banyak diam dan memandangku dengan tatapan yang membuatku salah tingkah. Beberapa kali dia bertanya tentang Zoey. Namun, tidak aku jawab dengan detail karena itu hal pribadi buatku. Terlebih, aku semakin merasa tidak enak pada Sheryl. Apa yang bakal dia pikirkan kalau tahu Jace tidak cuma antar aku pulang, tetapi juga mengobrol berdua sampai malam?
Akhirnya kami kelaparan dan ibuku menyuruh kami makan. Di meja makan yang hanya ada kami berdua, Jace masih saja diam. Banyak pikiran yang menghantuiku. Pikiran terseramnya adalah, apa dia naksir aku?
Tentu saja itu menyeramkan. Aku tidak mau ada apa-apa pada hubungan pertemananku dengan Sheryl. Geng kami sudah lebih dari cukup untuk kami merasa nyaman menjalani hari-hari di SMA. Aku lebih memilih tidak punya pacar dibanding harus kehilangan Sheryl.
Oh my God, kenapa aku berpikir sejauh itu?
“Sorry ya, kalau seadanya.” Aku mencoba membuka pembicaraan. Jace tidak menjawab membuat kami kembali sama-sama fokus pada makanan masing-masing.
Suasana rumah semakin terasa hening karena televisi di ruang tamu sudah tidak bersuara. Sepertinya, ibuku sudah masuk ke dalam kamarnya. Beberapa saat kemudian, kami pun selesai makan.
“Nyokap lo ke mana?” tanyanya sebelum dia meneguk air putih di gelas yang dipegangnya.
“Kayaknya udah masuk ke kamar. Kenapa?” Aku balik bertanya.
Jace menggeleng lalu bangkit dari kursinya. Aku ikut bangkit untuk membereskan piring di meja makan dan membawanya ke tempat cuci piring di samping kompor. Usai dari itu aku menyusul Jace yang sudah duduk santai di kursi rotan di teras rumahku.
“Kayaknya gue pernah lihat nyokap lo,” ujar Jace ketika aku sudah duduk di sampingnya.
Aku mengerutkan kening dan menoleh ke arahnya. “Oh ya? Di mana?”
Jace diam sebentar sebelum mengangkat kedua alisnya dan mendesah pelan. “Enggak penting. Lupain aja.”
Keningku berkerut. Lagi-lagi Jace membuatku penasaran, tetapi akhirnya aku memilih tidak membahas lebih lanjut. Aku membiarkan Jace menikmati rokoknya kembali. Dengan gaya yang membuat dadaku berdebar, dia mengisap rokoknya dalam-dalam dan mengembuskan asapnya jauh ke atas. Entah kenapa hal itu memerangkap pandanganku. Terlebih saat dia mengibaskan tangan kirinya supaya asap rokok itu tidak menuju ke arahku.
“Boleh gue nanya?” tanyaku memecah keheningan.
Jace melirikku sebelum dia menekan ujung rokok di tangannya pada asbak kayu. “Tanya apa?”
Aku berdeham sebelum memulai pertanyaanku. “Kenapa Sheryl enggak boleh tahu elo di sini?” tanyaku akhirnya yang tak bisa menekan rasa ingin tahu.
“Kenapa dia harus tahu?” Dia balik bertanya dengan santai.
“Jangan membalikkan pertanyaan gue. ‘Kan gue tanya, kenapa dia enggak boleh tahu? Dia ‘kan pacar lo.”
“Enggak penting aja,” tukasnya sambil terkekeh pelan. Membuatku tidak mengerti di mana bagian lucu dari pertanyaanku tadi.
Obrolan kami lalu diinterupsi oleh suara dering handphone milikku. Aku melihat layar untuk mengetahui siapa yang menghubungiku. Nama Zoey tertera di sana.
“Halo,” kataku setelah mengusap ikon jawab di layar handphone.
Aku berdiri dan sedikit menjauh dari tempat Jace duduk. Melirik sejenak pada Jace yang ternyata melihat ke arahku. Lagi-lagi, aku tak bisa mencerna tatapan Jace. Memilih mengabaikan itu, aku pun melempar pandangan ke taman rumah.
“Maaf, Kat. Tadi aku lagi di jalan,” kata Zoey dari seberang. Aku mendengar nada menyesal pada suaranya.
“Iya enggak apa-apa,” jawabku menenangkan.
“Kamu udah di rumah, ‘kan?”
“Udah kok. Tenang aja.”
“Dianter siapa?”
Aku tidak langsung menjawab. Aku menoleh ke belakang ke tempat Jace duduk. Dia masih setia mengisap rokoknya dan sepertinya sudah tidak peduli dengan obrolanku di telepon.
“Jace,” jawabku pelan.
“Jace? Pacarnya Shery?!” Aku menduga Zoey terkejut karena nada bicaranya yang meninggi.
Aku mengangguk menjawab pertanyaan Zoey. Namun, buru-buru aku bilang, “Iya.” Setelah sadar Zoey tidak bisa mendengar anggukanku dari seberang.
“Naik motor? Hujan-hujanan?”
“Ummp, Iya.”
Aku mengigit bibir karena takut Zoey akan salah paham dengan situasi ini. Aku mendengar Zoey mendengkus kencang sebelum dia bicara. “Dia masih ada di situ?”
Aku tidak jawab. Aku biarkan dia melanjutkan kalimatnya. “Bisa bicara sama dia?”
“Mau apa?” Aku mengerutkan dahi.
“Mau bilang terima kasih karena udah anterin pacar gue pulang.”
Aku bisa mendengar nada kesal dari suaranya yang berbanding terbalik dengan kata terima kasih yang dia ucapkan tadi. Aku menjadi menyesal bicara jujur dengan mengatakan habis diantar pulang oleh Jace. Pantas Jace tidak mau Sheryl tahu tentang ini.
Sebelum melangkah mendekati Jace, aku sempat menangkap matanya yang sedang melirikku. Sepertinya dia juga memperhatikan apa yang sedang kami bicarakan di telepon. Dia sedikit bersikap waspada ketika aku mendekat dan memberikan handphone-ku padanya.
“Pacar gue mau ngomong,” kataku.
Jace memandangku ketika dia mengambil handphone dari tanganku. Sepertinya dia ingin bertanya ada apa. Aku jawab saja dengan mengangkat bahu. Tanda aku juga tidak tahu apa mau Zoey di telepon.
“Halo.” Suara serak Jace menyapa Zoey di seberang.
Jace masih berdiri di hadapanku. Menatapku dengan lekat walau bibirnya berkali-kali mengucapkan ‘iya’ atau ‘gue tahu’ pada orang yang sedang bicara dengannya di telepon.
“Gue pulang.” Ucapan Jace menyentak kesadaranku.
Dia menyerahkan handphone kepadaku dan tidak menjelaskan tadi bicara apa saja dengan Zoey. Hanya saja wajahnya seperti sedang kesal. Zoey pasti mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan padanya.
“Cowok gue ngomong apa?” tanyaku khawatir.
Jace tidak menjawabku. Dia malah menyeringai kemudian tertawa kecil seperti mengejek. Keningku semakin berkerut.
“Cowok lo mungkin salah paham. Tapi gue enggak peduli,” katanya sembari terus mempertahankan seringai misterius di bibirnya.
Jace bergerak mendekatiku dengan langkah pelan. Spontan aku melangkah mundur sampai aku terpojok di kursi kayu sudut teras. Jace membuang jarak di antara kami.
Aku mendongakkan kepala dan menyadari wajahnya hanya beberapa senti di atasku. Atas kedekatan ini, aku sampai dapat merasakan embusan napasnya yang hangat di wajahku. Jantungku sudah kembali berdetak liar, sampai-sampai aku mengepalkan tanganku karena gugup.
Jace lalu menunduk, mendekatkan wajahnya padaku melewati pundak, sampai aku dapat merasakan pipinya menempel di pipiku. Sepersekian detik kemudian Jace berbisik serak tepat di depan telingaku.
“Kabarin gue kalo kalian putus.”
“Katy!” Aku menoleh ke arah suara orang yang memanggilku berasal. Ada Sheryl yang sedang melambaikan tangannya dan mengejarku dengan langkah cepat. Aku berhenti melangkah demi menunggunya menyusulku. “Tumben enggak telat.” Aku menyambut tangannya yang lebih dahulu melingkari pundak. Sheryl mengerucutkan bibirnya. “Gue enggak pernah telat. Lo aja yang kepagian. Orang normal tuh, dateng ke sekolah saat detik-detik gerbang akan di tutup.” Aku tertawa kecil sambil kembali melangkah menuju ruang kelasku. “Eh, Semalem Zoey jadi jemput lo kan?” tanya Sheryl tiba-tiba. Seketika jantungku berhenti berdetak. Ingatanku kembali pada kejadian malam tadi yang membuatku tidak bisa tidur. Pada tatapan mata Jace yang mengurungku di bawah kendalinya. Pada sentuhannya yang menarik semua oksigen di sekitarku. Lalu pada kalimatnya yang memporak-porandakan keyakinanku bahwa aku sudah bisa melupakan perasaanku pada kekasih sahabatku ini. Aku mengambi
Aku melenguh pelan. Rasa sakit yang tidak tertahankan segera menyerang kepalaku. Rasanya seperti habis dibenturkan dengan kencang. Aku mengerang dan mencoba untuk membuka mataku perlahan. Beberapa detik kemudian akhinya aku bisa menangkap beberapa cahaya yang menulusup masuk lewat bulu-bulu mataku. “Argh.” Suaraku terdengar serak. Mataku mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terbuka dengan sempurna. Tunggu, aku tidak kenal ruangan ini. Mataku menyapu sekeliling ruangan tanpa jendela yang berukuran empat kali tiga meter ini. Dua buah lemari buku usang. Beberapa vas bunga retak. Bahkan ada yang hancur sama sekali. Lalu ada sebuah grand piano penuh debu. Lengkap dengan tumpukan partitur yang sudah menguning. Aku terbatuk beberapa kali. Rasanya, tenggorokanku kering dan sakit. Aku juga merasa nyeri di pergelangan kakiku. Aku raba dan melihat di tempat sakit itu berasal. Ada lebam dan guratan bekas tali yang mengikat kakiku. Jelas sekali kakiku
“Bisa ceritakan kembali apa yang anda lihat di sana?” sudah ke sekian kalinya polisi di depanku ini bertanya padaku. Aku ingin ceritakan semua. Namun, lidahku tiba-tiba terasa kelu. Tanganku masih gemetar dan fokusku masih belum kembali. Aku masih bingung harus memulai cerita mengerikan tadi malam itu dari mana. Seorang perawat mendekatiku dan berbisik dengan ramah. “Tarik napas dalam-dalam dan keluarkan perlahan. Ceritakan saja apa yang kamu ingat. Selebihnya bisa menyusul nanti.” Aku melirik ibuku yang duduk di sampingku. Dia menggenggam tanganku erat dan mengangguk pelan. “Enggak apa-apa. Pelan-pelan aja ceritanya. Yang penting kamu bikin laporan dulu. Supaya kasus ini bisa cepat diproses.” Ibu memelukku sedikit lebih erat. Ternyata, hanya pelukannya lah yang aku butuhkan. Pelukan yang bisa meredakan ketakutanku saat ini. “Temanku gimana, Sus?” tanyaku dengan suara parau. “Kondisinya sudah stabil. Sudah masuk ruang rawat. Tinggal me
“Kalian pernah pulang bersama saat malam?” Sheryl mengulangi pertanyaan yang sempat aku alihkan tadi. Dia memicingkan matanya padaku dan Jace secara bergantian. Membuatku tidak mampu berkilah atau membuat alasan yang bagus dalam waktu singkat. “Jace?” panggil Sheryl, karena si tersangka utama ini malah terlihat tidak peduli. “Itu udah lama. Enggak perlu dibahas lagi,” jawabnya santai. Lalu memejamkan mata seolah keadaan ini tidak terlalu penting untuk dibahas. Seiring dengan itu, Zoey masuk ke dalam ruangan. Memotong ketegangan yang sedang berlangsung di ruangan ini. “Sher, lama banget cuma bawa handphone doang,” celetuk Zoey sebelum menyadari ada yang tidak beres dari ekspresi kami bertiga. “Ada apa nih?” Sheryl membuang wajahnya ke arah Zoey. “Lo tahu mereka pernah pulang bersama malam-malam?” Wajah Zoey seketika berubah. Dia menatap lurus padaku, seolah ingin mengatakan bahwa aku seharusnya sudah membereskan hal ini
Zoey mendesak, dan mendorong badanku ke belakang. Ini membuatku tidak lagi menyukai apa yang sedang Zoey perbuat padaku. Aku tidak nyaman dan merasa terancam. Zoey sudah melewati batasnya Aku tidak membuka bibir ketika Zoey terus mendesaku. Dia mencari kesempatan dan sedikit memaksa. Sampai akhirnya aku mampu mendorongnya dan menyudahi apapun kegiatan kami itu. “Zoey stop,” erangku dengan suara serak. Zoey menghentikan ciumannya ketika sadar aku menekan dadanya dengan tanganku. Dia menatapku penuh tanya. Kemudian menarik napas dan mengembuskan dengan kasar. “Maaf, aku enggak bisa ...” “No, It’s on me. Aku yang minta maaf.” Zoey memotong ucapanku. Suaranya masih terdengar bergetar. Lalu kami saling diam. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal hatiku atas perlakuan Zoey tadi. Apa aku belum siap? Atau memang aku tidak terlalu menyukai Zoey? Oh, Tuhan. Ide yang kedua terdengar san
Aku dan Zoey bergandengan tangan menuju tempat di mana mobil Zoey terparkir. Wajahnya dipenuhi senyuman karena kami baru saja berkomitmen untuk saling memperbaiki komunikasi satu sama lain. Itu memang hal yang bagus karena Zoey pantas mendapatkan perlakuan yang lebih baik dariku. Dia itu cowok baik-baik yang tidak seharusnya menjadi pria ke dua di hatiku.Zoey tidak memarkirkan mobilnya di tempat parkir sekolah, melainkan di bahu jalan tepat samping gor. Membuat kami berjalan sedikit lebih lama. Namun, aku menikmati itu karena langkah kami di temani obrolan ringan dan senda gurau.“Kita ke mall dulu ya sebelum pulang,” ajaknya. Aku tersenyum dan mengangguk setuju.Seperti kataku tadi, aku harus memperbaiki perlakuanku pada Zoey. Jadi aku harus mau untuk sekedar hang out di mal bersamanya. Lagi pula ini masih siang dan tidak ada kegiatan lain yang harus aku lakukan setelah ini.“Aku tahu kedai dimsum yang enak. Mau coba?
“Aku dan Jace enggak ada apa-apa.” Kataku dengan spontan. Padahal Zoey tidak bertanya apapun sepeninggalnya Jace barusan. Sebetulnya ekspresi Zoey yang membuatku bicara begitu. Ekspresi seseorang yang seperti sedang menanggung kekalahan bahkan sebelum dirinya bertanding. Apalagi ketika Jace dengan santai berkata padanya bahwa aku dan dia sudah selesai. Seolah sebelumnya telah terjadi sesuatu yang tidak Zoey ketahui. Dia tidak membantah ucapanku. Matanya masih terpaku pada punggung yang semakin bergerak menjauh. Aku duga, Mungkin dia ingin mendengarkan pengakuanku lebih lanjut. “Tadi Jace bilang, aku harus menjauhinya. Dia takut aku bakal terlibat masalah lagi kalau berada di sekitarnya.” Aku diam sebentar seraya menunggu perubahan ekpresi pada wajah Zoey sebelum melanjutkan kalimatku. “Lagi pula aku sama dia memang enggak terlalu akrab kalau bukan karena Sheryl. Jadi seharusnya dia enggak perlu bilang begitu.” Zoey menunduk dan menekan bibirnya sehing
Jace tidak pernah absen untuk selalu membuatku jantungan. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu membuat hubunganku dengan Zoey seperti berada dalam roller coaster. Dia seperti dalang yang bisa membuat kami berdua menukik dan menanjak sesuka hatinya.Sampai hari berganti, aku tidak bisa berhenti memikirkan maksud Jace bicara seperti itu pada Zoey. Kenapa dia bisa tahu masalah ciuman pipi yang menjadi kesepakatan aku dan Zoey saat di kantin? Apa ada yang menguping dan melaporkannnya pada Jace?Aku tahu Jace punya teman-teman yang loyal. Namun, kalau mereka sampai menguping obrolanku demi memenuhi kemauan Jace, itu sangat keterlaluan. Privasiku terganggu dan aku sangat tidak suka itu.Lagi pula, Jace tidak berhak bicara seperti itu. Dia tidak berhak mengatur Zoey dalam bersikap padaku. Memangnya dia pikir dia itu siapa?“Kenapa sih, Kat? Dari tadi meringis sambil geleng-geleng kepala mulu.” Seseorang membangunkanku dari lamunan