"Sayang baju aku di .... " Wildan menggantung ucapannya saat mengetahui siapa yang berdiri di hadapan Rena. Mendadak lidahnya terasa kelu, Wildan tidak tahu harus berkata apa.
***Suasana masih hening, terlihat raut wajah panik antara Rena dan juga Wildan. Tetapi tidak dengan Alina, wanita berjilbab itu terlihat tenang. Meski hatinya sejujurnya hancur, tetapi ia berusaha untuk tetap tegar."Alina." Wildan meraih tangan Alina, tetapi dengan lembut Alina melepasnya."Mas aku ke sini untuk mengantar ini." Alina menyodorkan botol kecil yang berisi vitamin milik suaminya. Setiap akan tidur selalu Wildan minum."Terima kasih." Wildan menerima botol kecil itu."Kalau begitu aku pamit ya, maaf udah ganggu," ucap Alina. "Assalamu'alaikum.""Alina tunggu." Wildan mencekal pergelangan tangan istrinya itu."Ada apa, Mas. Ini sudah malam, lebih baik sekarang kamu istirahat saja, agar besok tidak kesiangan." Alina melepas cekalan suaminya, setelah itu ia memilih untuk pulang.Alina sudah ikhlas jika memang itu yang terbaik, Alina juga sadar, jika dirinya memang tidak bisa memberikan suaminya anak. Memang ini sangat berat, terlebih mengingat pernikahan mereka yang sudah lima tahun. Rasanya sangat sulit."Aku ihklas, mas. Mungkin ini yang terbaik untuk kita," batin Alina. Kini ia sudah dalam perjalanan pulang.Sementara itu, Rena masih terlihat kesal, ia khawatir jika nanti Wildan akan kembali lagi pada istrinya. Karena Rena melihat kalau Wildan masih memiliki rasa untuk Alina. Namun yang membuat Rena bingung, dari mana Alina tahu rumahnya."Sayang kamu kenapa?" tanya Wildan."Aku nggak apa-apa, Mas kamu tidak akan kembali lagi pada Alina kan." Rena menatap mata pria yang duduk di sebelahnya.Wildan menyipitkan matanya. "Maksud kamu.""Kamu akan menceraikan Alina kan, Mas. Karena keinginan kamu untuk punya anak sudah aku penuhi," ucap Rena. Mendengar itu Wildan cukup terkejut. Wildan sama sekali tidak pernah berpikir untuk menceraikan Alina."Cerai, itu tidak akan pernah. Aku sama sekali tidak berniat untuk menceraikan Alina," ujar Wildan."Memangnya kenapa, Mas. Untuk apa lagi kamu mempertahankan Alina, wanita mandul itu," sahut Rena yang cukup kesal mendengar jawaban dari suaminya itu."Enggak, Mas. Kamu harus menceraikan Alina, itu janji kamu dulu, Mas." Rena terus memaksa Wildan untuk menuruti keinginannya itu.Wildan menggelengkan kepalanya. "Rena, tolong jangan paksa aku untuk bercerai dari Alina.""Aku tidak peduli, itu keputusan aku. Kalau kamu tidak ingin ibu sakit gara-gara tidak bisa melihat cucunya nanti," ungkap Rena, tetapi lebih tepat mungkin ancaman.Wildan milih untuk diam, karena percuma jika terus menjawab, setelah itu Wildan menyenderkan kepalanya di sandaran sofa. Setelah kepulangan Alina, Wildan dan Rena memilih untuk menghabiskan waktu bersama di dalam kamar.***Malam yang kelam kini sudah tergantikan oleh terangnya cahaya matahari. Pagi ini Wildan baru saja bangun dari tidurnya, sementara Rena masih bersembunyi di balik selimut. Semalam Wildan tidak bisa tidur dengan nyenyak."Lebih baik aku pulang sekarang saja," gumamnya. Wildan bergegas turun dari tempat tidur lalu beranjak masuk ke dalam kamar mandi.Sepuluh menit kemudian, Wildan baru selesai mandi. Setelah itu, Wildan bergegas memakai pakaian, usai penampilannya sudah rapi. Wildan mengecek ponselnya, seketika ia terkejut saat melihat banyak sekali panggilan tak terjawab di ponselnya."Alina, kenapa perasaanku jadi tidak enak," gumamnya. Wildan melirik Rena yang masih tertidur pulas."Rena, aku pulang dulu ya," ucap Wildan. Mendengar suara Wildan, seketika Rena membuka matanya."Mau ke mana, Mas?" tanya Rena, lalu bangkit dan duduk."Aku pulang sekarang ya, nanti sore aku ke sini lagi," jawab Wildan."Tapi jangan lama-lama," sahut Rena."Iya, ya sudah." Wildan mencium kening Rena, setelah itu ia beranjak keluar dari kamar."Mudah-mudahan Alina tidak apa-apa," gumamnya. Kini Wildan sudah dalam perjalanan pulang. Rasanya ia tidak sabar ingin segera sampai di rumah.Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, kini Wildan sudah tiba di rumah. Gegas Wildan berlari masuk ke dalam, setibanya di dalam, rumah nampak sepi. Wildan berjalan ke lantai atas, tapi langkahnya terhenti saat melihat asisten rumah tangganya."Bi, Alina baik-baik saja kan?" tanya Wildan."Semalam mengeluh sakit perut, Tuan. Tapi sudah minum obat, sepertinya tidur lagi setelah shalat subuh tadi," jawab bi Inah."Ya sudah, terima kasih bi," sahut Wildan, sementara bi Inah hanya mengangguk, lalu kembali mengerjakan tugasnya.Wildan bergegas naik ke lantai atas, setelah itu ia segera masuk ke dalam kamar. Terlihat jika istrinya masih terlelap, perlahan Wildan melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Wildan menyipitkan matanya, saat melihat Alina tidur dengan mengenakan jilbab, padahal biasanya akan ia lepas."Tumben Alina tidur tetap pakai jilbab." Wildan berjalan menuju tempat tidur, lalu duduk di sebelah istrinya.Tiba-tiba saja mata Wildan beralih pada botol obat yang berada di atas meja. Ada rasa penasaran dengan botol obat tersebut. Setelah itu Wildan bangkit dan mengambil botol tersebut, belum sempat memeriksa botol tersebut, tiba-tiba ponselnya berdering.[Maaf cepat pulang, aku mau melahirkan, perut aku sakit banget][Apa?! Melahirkan, iya iya aku ke sana sekarang]"Alina, aku pergi dulu ya, aku janji nanti malam aku tidur bersamamu." Wildan mencium kening istrinya, setelah itu ia bergegas keluar dari kamar tersebut."Ternyata dugaanku benar, kamu lebih mementingkan dia dibandingkan denganku," batin Alina. Tangan kanannya bergerak meremas perutnya yang kembali terasa sakit."Ya Allah perut aku," ucap Alina, rasa sakit di perut bagian bawah semakin kuat."Ya Allah perut aku," ucap Alina, rasa sakit di perut bagian bawah semakin kuat. ***Kini Wildan dan Rena sudah berada di rumah sakit, bahkan Erika, ibunda Wildan juga sudah ada di sana. Setibanya di rumah sakit, Rena langsung mendapatkan penanganan, tapi sayang. Rena tidak bisa melahirkan secara normal, tapi harus operasi. Setelah Wildan mengurus semuanya, kini operasi sedang berlangsung. Sementara Wildan dan ibunya tengah menunggu di depan ruangan operasi. Erika terus berdo'a agar operasi berjalan dengan lancar, lalu anak yang Rena lahirkan berjenis kelamin laki-laki, untuk bisa menjadi pewaris ayahnya kelak. "Alina, maafkan aku, aku janji setelah operasi selesai. Aku akan pulang menemui kamu dan menjelaskan semua ini," batin Wildan. Hatinya benar-benar tidak tenang, bayangan Alina terus berputar di benaknya. "Wildan kamu kenapa sih kaya orang bingung begitu. Kamu tidak perlu khawatir, operasinya pasti berjalan lancar," ucap Erika. "Iya, Bu. Aku kepikiran dengan Alina saja, soa
Sementara itu, Wildan masih berdiri mematung dengan berbagai pertanyaan. Untuk apa Alina menyuruh mang Asep mengantarkan koper miliknya. Apa mungkin Alina mengusir dirinya dari rumah itu, karena rumah yang mereka tinggali, atas nama Alina. ***"Maksud Alina apa, kenapa dia ... apa jangan-jangan Alina meminta cerai," gumamnya. Setelah itu, Wildan menaruh kopernya ke dalam, lalu ia bergegas keluar. Wildan berniat untuk ke rumah menemui Alina, sekaligus meminta penjelasan darinya. Karena sampai kapanpun Wildan tidak akan pernah rela berpisah dengan Alina. "Alina, sampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskan kamu." Wildan membatin. Saat ini ia dalam perjalanan pulang. Dalam perjalanan pikiran Wildan benar-benar tidak tenang. Ini memang salahnya, selama tiga hari Wildan tidak pulang, karena memang Rena tidak mengizinkannya. Wildan pikir Alina akan mengerti, tetapi ternyata dugaannya meleset. "Alina, maafkan aku. Maaf karena sudah membuat kamu marah, membuat kamu kecewa," batin Wil
Jika rahim Alina diangkat, itu artinya Alina tidak punya kesempatan untuk hamil. Wildan tidak menyangka jika kejadiannya akan seperti ini, apa ini yang membuat istrinya itu berubah. Apa ini arti diam yang Alina lakukan, diam yang pada akhirnya membuat luka. ***Alina menyeka air matanya yang sempat menetes, setelah itu ia bangkit dan berjalan menuju laci untuk mengambil map berwarna merah yang sebelumnya sudah Alina siapkan. Setelah itu Alina berjalan menghampiri Wildan, lalu duduk di sebelahnya. "Mas aku boleh minta tanda tangan kamu," ucap Alina. "Tanda tangan? Tanda tangan apa?" tanya Wildan. "Aku mau nyumbangin sebagian harta kita ke panti asuhan, Mas. Bukan itu saja, aku juga berniat menyumbangkan tanah kosong kita, agar dibangun sekolah untuk anak-anak yang menderita disabilitas, Mas." Alina menjelaskan. Wildan terdiam sejenak. "Ok, di mana aku harus tanda tangan.""Di sini, Mas." Alina menyodorkan map tersebut. Tanpa membacanya terlebih dahulu, Wildan langsung menanda tang
"Maaf ya, Mas. Tapi aku tidak rela jika harta yang kamu miliki jatuh semua ke tangan Rena. Aku yang menemani kamu mulai dari nol, jadi aku yang lebih berhak. Jika Rena ingin hidup bersama kamu, dia juga harus memulai dari nol juga, sama sepertiku dulu." Alina memotong ucapan suaminya. Seketika Rena terkejut mendengar hal tersebut. ***Suasana mendadak hening, Rena benar-benar tidak menyangka jika semua harta kekayaan Wildan sudah berpindah ke tangan Alina. Rena juga tidak menyangka kalau Alina ternyata juga licik. Ia pikir jika Alina hanya wanita lemah yang mudah untuk dibodohi. Wildan mengusap wajahnya dengan gusar. "Aku tidak menyangka kalau kamu setega itu.""Apa aku tidak salah dengar, bukankah kamu yang lebih tega, Mas." Alina menatap pria yang sudah lima tahun bersamanya. "Kamu licik, bisa-bisanya kamu mengambil semua harta milik, Mas Wildan. Apa kamu tidak sadar, aku berhasil melahirkan seorang putra yang nantinya akan menjadi pewaris ayahnya. Tapi dengan licik kamu mengambi
"Aku tidak takut dengan tantangan kamu itu." Wildan menatap tajam pada wanita yang duduk di hadapannya itu. Suasana benar-benar tegang, bukan hanya Erika dan Wildan yang kecewa, tetapi juga dengan Rena. Kecewa dan kesal telah berubah menjadi satu. ***"Dikasih pilihan yang enak kok nggak mau," ucap Erika dengan sinis. Sementara Alina hanya tersenyum, sejak dulu ibu mertuanya memang seperti itu. "Rena, Bu lebih baik kita pulang saja, karena percuma bicara dengan perempuan keras kepala seperti dia," ucap Wildan. Setelah itu mereka bertiga segera berpamitan, tatapan sinis dari mereka kembali Alina dapatkan. Bahkan mungkin sekarang mereka bertambah benci terhadap Alina atas masalah tersebut. Namun bagi Alina itu tidak menjadi masalah. "Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah," gumamnya. Setelah itu Alina beranjak masuk ke dalam kamarnya. Setibanya di kamar, Alina meletakkan tasnya setelah itu ia berjalan menuju lemari untuk mengambil berkas penting yang akan ia jadikan satu. Alina jug
"Apa." Wildan terkejut saat tahu jika isi amplop itu adalah surat perceraian dari Alina. Wildan tidak menyangka jika diam-diam Alina menggugat cerai dirinya. Bahkan Alina juga menjual rumah yang sudah lima tahun mereka tempati bersama. ***"Alina kamu benar-benar tega, diam-diam kamu menceraikan aku," gumamnya. Wildan meremas kertas yang ia pegang. Setelah itu, Wildan mengambil ponselnya berniat untuk menghubungi nomor Alina. Namun, setelah dicoba, hasilnya nihil, nomor Alina sudah tidak aktif lagi. Wildan mengerang frustasi, setelah itu ia berlari ke dalam untuk mengambil sertifikat rumah miliknya itu. "Ada apa, Tuan?" tanya bi Inah. "Ada sesuatu yang akan saya ambil, Bi." Wildan berlari masuk ke dalam menuju ruang kerjanya yang berada di lantai dua. Setibanya di ruang kerja, Wildan langsung mencari yang ia butuhkan. Setelah cukup lama mencari, akhirnya yang ia butuhkan dapat ditemukan. Wildan langsung mengeceknya, beruntung sertifikat tersebut masih ada dan tidak ada yang berub
Saat Wildan hendak keluar dari butik, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, lantaran matanya tidak sengaja menangkap sosok perempuan yang sangat ia kenal. Perempuan berjilbab yang wajahnya sangat mirip dengan Alina, tetapi yang membuat Wildan heran, perempuan itu tengah berbadan dua, bahkan tangan kanannya menuntun anak kecil yang mungkin usianya tiga tahun. ***"Alina, tidak mungkin. Ini pasti mimpi," gumamnya. Mata Wildan tak lepas dari wanita berjilbab yang ada di hadapannya itu. "Mas ayo." Amara menarik tangan Wildan dan membawanya keluar dari butik tersebut. "Kenapa wajahnya sangat mirip, tapi apa mungkin dia Alina," batinnya lagi. Pikiran Wildan mendadak kacau gara-gara wanita berjilbab itu. Namun yang membuat heran, jika itu adalah Alina, kenapa perutnya besar, seperti orang hamil. Bukankah Alina dulu sempat menjalani operasi angkat rahim, jadi mustahil jika Alina hamil. "Mas kamu kenapa sih, kok dari tadi diem terus." Amara menepuk pundak Wildan, seketika pria berkemeja p
Selama ini Amara tidak tahu jika Alina adalah mantan istri Wildan. Amara juga tidak tahu kalau istri sepupunya itu adalah Alina, karena mereka memang tidak menikah di jakarta. Amara baru pertama kali melihat istri Adam, hal ini membuat Wildan terancam. ***"Selamat ya, semoga langgeng," ucap Adam, seraya menjabat tangan Wildan. "Iya, terima kasih," sahut Wildan. "Selamat ya," ucap Alina seraya menjabat tangan Amara. Ia melirik mantan suaminya yang terlihat gugup. Awalnya Alina terkejut kalau Wildan menikah dengan sepupu Adam, suaminya. Namun, Alina memilih untuk diam, dan bersikap biasa saja, Wildan adalah masa lalu terburuknya. Yang membuat Alina heran, kenapa Wildan menikah lagi, lalu bagaimana dengan Rena. Ternyata bukan hanya Wildan yang terkejut saat melihat kehadiran Alina. Namun Erika pun demikian, perempuan itu tak kalah terkejut. Erika khawatir jika nanti mantan menantunya itu akan mengadu jika Wildan adalah mantan suaminya. "Iya, terima kasih. Nafisa salim nggak." Amar