“Kenapa kamu tidak menjawabku?” tanya Prims sebab Arley hanya memberikan keheningan yang rasanya akan membekukan ruangan dan juga jatuhnya air hujan yang ada di luar.Prims menatap matanya, berharap pria itu menyangkalnya agar ia tak perlu memiliki kebencian padanya. Namun, bukan jawaban yang diberikan Arley, melainkan nihil suara yang menumbuhkan rasa jenuh bagi Prims.Dia menggerakkan kakinya, mengajaknya enyah dari hadapan Arley. Langkahnya terasa gamang saat dia tiba di luar ruangan. Kala tubuhnya hampir saja diguyur jatuhnya air hujan, dia berhenti saat panggilan Arley yang singgah di indera pendengarnya.“Primrose.”‘Barangkali dia telah memutuskan untuk menjawab,’ setidaknya begitu yang dipikirkan oleh Prims sehingga dia memutar tubuhnya. Manik mata mereka saling bertemu kembali, Prims bisa menjumpai badai yang besar di dalam iris kelamnya.“Primrose,” panggil Arley sekali lagi, tangannya mengarah ke depan, meraih Prims agar satu jarak lebih dekat kepadanya sebab tempias hujan
Hanya genangan darah yang hari itu disaksikan oleh Prims. Tujuh tahun silam, kenangan itu masih menghantuinya hingga kini. Meski samar bayangannya coba ia tepis ribuan kali dan acapkali berhasil, tetapi luka akan kematian Jasmine, ibunya tetap saja meninggalkan bekas. Ribuan hari terlewati, darahnya yang meluap di bawah hujan hari itu sering kali memasuki mimpinya. Merah pekat yang tak bisa menjadi pembeda antara yang gelap dan yang terang, yang nyata atau fatamorgana, dalam sadar atau dalam terlelapnya. Satu windu hampir genap dengan dia yang perlahan terlena dengan sibuknya dunia dan memungkiri kematiannya masihlah menyisakan misteri. Berita yang—dulu—setiap harinya dia tunggu dengan harapan dia tahu siapa yang menyebabkan mobil ibunya terbalik di persimpangan, lambat laun telah lenyap. Prims yang saat itu masih muda telah berpikir bahwa pelakunya tak pernah dihukum karena pelan-pelan tenggelam seiring bertambahnya tahun. Hanya satu wajah yang tak akan bisa dilupakan oleh Prims
Prims terjebak dalam situasi yang tak menguntungkannya sebab dia sedang berada di tempat yang asing bersama dengan pria tak dikenal. Dia mencoba melepaskan diri tetapi rasanya tidak berhasil. Barulah saat mereka tiba di dekat gang tak berpenghuni yang dekat dengan pemakaman dia dilepaskan. Telapak tangan pria yang tadi membungkam bibirnya sekarang tak lagi berada di sana, tetapi sebagai gantinya, tubuhnya jatuh terhempas di atas rerumputan basah yang tak jauh dari pagar pembatas gang tersebut dengan pemakaman di sebelah baratnya. Napas Prims terengah, otot di jantungnya menegang hingga terasa sakit saat membayangkan hal paling buruk yang akan dia terima pada pagi celaka ini. Matanya mengedarkan pandang pada tiga pria bertubuh kekar yang berdiri mengelilinginya yang sedang duduk dengan tak berdaya. Hujan yang mengguyurnya membuat jarak pandangnya mengalami keterbatasan. Namun satu hal yang bisa dipastikan oleh Prims, tak ada seorang pun di antara mereka bertiga yang dikenalnya. “S-
Ben lah yang membentur nisan salib berukuran tinggi itu. Dia mengaduh kesakitan karena memang lelaki itu seperti melayang akibat tendangan kaki seorang pria yang datang dari antah berantah dan menggagalkan rencana mereka untuk membuat Prims ternodai. Sedang Cal yang tadinya berada di dekatnya tiba-tiba tertarik menjauh, pria itu berteriak saat jatuh terperosok pada area pemakaman yang jauh lebih rendah. Prims meraba tanah di sekitarnya, jemarinya mendapatkan sebuah balok kayu yang dia akan dia gunakan sebagai senjata seandainya Matt, satu lelaki yang tersisa itu akan mendekat kepadanya. Tetapi itu tak berguna sebab Matt memiliki nasib yang sama dengan dua orang sebelumnya. “SIAL!” umpatnya setelah dia baru saja merasakan kepalanya beradu kuat dengan nisan tak jauh dari Ben berlutut dan mencoba bangkit. Prims masih tak bisa menemukan wajah pria yang menolongnya itu dengan jelas, matanya terhalang jarak, retinanya tak bisa mengenali siapa pria tinggi menjulang yang bergerak dengan pa
Sudah berapa jam Prims tak sadar? Rasanya sudah terlalu lama.Saat matanya terbuka, Ia menatap langit-langit kamar yang tidak asing, selimut yang hangat dan bau wangi ruangan yang memenuhi indera penciumannya. Ranjang ini, Prims juga tahu betul milik siapa. Ranjang milik Arley.Memutar ingatannya sebentar ke belakang, hal terakhir yang dia ingat di bawah mendung kelam dan hujan lebat saat itu adalah kedatangan Arley. Pria itu memberikan jasnya dan mengangkatnya pergi. Dan ke mana pemberhentiannya, bukankah Prims tak perlu bertanya akan di bawa ke mana dia?Ke tempat inilah jawabannya, kembali ke rumahnya.Ia meraba keningnya yang saat itu berdarah telah terbalut oleh kapas dan plester yang terasa nyaman. Luka yang dia terima pasti telah mendapatkan perawatan.Pakaiannya pun sudah bukan pakaian yang ia kenakan terakhir kali. Seseorang pasti menggantinya. 'Siapa yang melakukan ini semua?' tanyanya pada diri sendiri, matanya memandang jendela yang kelambunya masih terbuka. Tempias hujan
“Bukan maksudku untuk membuatnya seperti ini, Primrose. Maaf,” ucap Arley dengan kepala yang tertunduk. Prims menatap kedua tangannya yang terkepal, suara baritonnya yang terbiasa tegas dan mengintimidasi sekarang tidak terdengar demikian. Prims tahu jika pria ini pun juga sedang berada pada fase dilema antara harus mengatakan kejujuran ataukah merahasiakannya dari Prims. “Aku menikah denganmu bukan hanya karena ingin menebus kesalahan di masa lalu saja,” ucapnya perlahan mengangkat pandangan. “Aku tahu kamu berada di keluarga yang tidak melihatmu dan memperlakukanmu dengan buruk,” katanya dengan alis tegasnya yang tertaut dan dibubuhi oleh rasa bersalah. “Aku tidak ingin melihatmu tersiksa di sana sehingga mencari cara untuk membawamu pergi. Aku pikir, setidaknya dengan kamu hidup di sini bersamaku tidak akan membuatmu seperti itu lagi.” Prims tersenyum getir. Apa yang dikatakan oleh Arley tidak salah. Dia memang membawa Prims terbebas dari keluarga yang telah mematahkan hatinya b
Prims menghela napasnya dengan sedikit dalam sebelum dia kembali memandang Jodie, “Kenapa dia tidak memintaku saja yang pergi dari rumah?” tanyanya yang membuat Jodie menunjukkan senyum, menunggu Prims selesai bicara. “Kenapa dia yang harus pergi?”“Tuan Arley bilang jika di luar sana belum tentu aman untuk Nona Primrose sehingga tuan membiarkan Nona ada di sini yang bisa dijamin keamanannya. Tuan hanya tidak ingin Nona seperti yang terakhir kali ditemukannya,” jawab wanita paruh baya yang mengenakan pakaian serba hitam dan rambut sebahu itu.Prims terhening selama beberapa saat sebelum tangan Jodie yang terasa hangat menyentuh punggungnya, “Apakah Nona Primrose sekarang sudah baik-baik saja?”Melihat wajahnya yang tampak cemas membuat Prims dengan cepat memberinya jawaban dengan anggukan kepala, “Iya, Bu Jodie.”Wanita itu menunduk, menyembunyikan matanya saat Prims masih tak berpaling darinya, “Saya minta maaf kepada Nona Primrose, saya juga bersalah untuk sudah ikut merahasiakan pe
Prims melihat sesaat keraguan di mata Jayden, seperti pemuda itu sedang melakukan tindak kriminal dengan datang ke sini, yang jelas tidak mengatakannya pada Arley. “Pak Arley,” katanya begitu panggilan mereka tersambung. Prims tidak mendengar suara Arley atau apa yang dikatakan oleh pria itu dari seberang telepon. Tetapi dia pasti menanyakan di mana keberadaan Jayden sekarang ini. “Aku ada di rumah mamaku. Pak Arley ada perlu denganku?” Keheningan kembali terjadi selama beberapa detik sebelum Jayden kembali bersuara, “Baiklah, aku tutup panggilannya kalau begitu.” Panggilan mereka mati, Jayden meletakkan ponselnya kembali ke atas meja dan menunduk penuh dengan sesal di hadapan Prims. Ia tampak menghela napasnya sebelum suaranya yang terkesan dalam, menghancurkan keheningan sepersekian detik yang bergulir di antara mereka, “Nona Primrose ingin membicarakan sesuatu dengan saya?” tanyanya. “Iya,” jawab Prims singkat, dengan seulas senyum yang terlihat getir. Yang barangkali terkes