“Kamu tidak perlu menjadi orang lain, karena aku suka denganmu saat kamu adalah Primrose, bukan dia, atau mereka.” Adakah yang bisa menguntaikan kata lebih baik daripada saat pria irit bicara telah menunjukkan seperti apa perasaannya? Prims tidak bisa mengatakan bagaimana hatinya sekarang, ia sibuk menguraikan sesak yang bergejolak di dalam dadanya oleh getaran yang ia nikmati. Pengakuan, sebuah kata yang barangkali tidak akan pernah dibayangkan oleh Prims keluar dari bibir Arley, tetapi malam hari ini pria itu mengubah angannya tak hanya menjadi sebatas angan karena ia telah mengakui rasanya. “Kamu tidak ingin menjawabku?” tanya Arley dengan diiringi sepasang tangan yang merengkuh pinggangnya semakin erat. Mereka tak lagi memiliki jarak. Kedua tangan Prims yang semula menahan dada bidang Arley sekarang pun tak lagi berada di sana. Prims memindahnya ke leher Arley karena takut jatuh dari pangkuannya. Sekaligus membuka portal yang semula membatasi mereka dan mengungkung mereka di
Arley mengangkat salah satu alisnya saat bertanya demikian pada Prims, membiarkan gadis itu memberinya keputusan dan tidak memaksanya mengiyakan atau menolak keinginannya. Sedangkan Prims meremas tangan mereka yang telah saling menggenggam sebelumnya hingga terasa kebas. Matanya memindai Arley sebelum sesaat kemudian mengangguk. Sekali lagi ia terpejam, batas yang tadinya telah hancur dan menyisakan kelambu tipis kini benar-benar tidak lagi ada. Prims menutup matanya sekali lagi, ia merasakan bibir Arley yang menyapanya, mengantarkan rasa manis yang memenuhi dadanya oleh perasaan berdebar. Perutnya membeku, darah berpindah pusat kepada wajahnya saat sentuhan lembut Arley seolah mengatakan bahwa ini adalah sebuah awal dari apa yang telah mereka sepakati sebelumnya tentang, ‘menjadi suami dan istri yang sesungguhnya.’ Bibir prianya—oh bolehkah Prims menyebutnya sebagai ‘pria’ miliknya sekarang? Bibirnya berpindah ke lehernya. Rasanya sedikit dingin, tetapi tubuhnya justru malah mema
“Ekhem!” Jodie berdeham sebelum beranjak mundur dari samping Prims dan Arley yang baru saja menyuguhkan kepadanya pemandangan pagi yang tidak biasa yang membuatnya merasa salah tingkah. Wanita paruh baya berpakaian serba hitam itu mundur dan meminta pada anak buahnya yang lain untuk memberikan ruang pada mereka berdua. Bukan hanya Jodie yang pergi, tetapi keinginan itu timbul di dalam hati Prims, ia pikir ... prianya terlalu kuat memeluknya. Dan debar jantungnya ini ia khawatir jika Arley akan mendengarnya. Sehingga bukankah hal paling benar yang seharusnya ia lakukan adalah pergi? Meski itu rasanya tak mungkin berjalan dengan mulus. “Selamat pagi,” bisik Arley dengan bibir yang mendarat di pipi Prims yang terasa hangat. “Selamat pagi,” balasnya dengan meraih tangan Arley yang ada di pinggangnya, menepuknya sebanyak beberapa kali sembari berujar, “Kamu terlalu kuat memelukku.” Maka Arley kemudian melonggarkan tangannya. Sebelah tangannya terurai pergi sedangkan tangannya yang lain
“Bukankah aku sudah bilang berhentilah berbicara seperti itu?” tegur Prims kemudian kembali memfokuskan diri untuk membuat dasi di leher Arley. Yang ditegur demikian hanya tersenyum saja, sibuk mengamati wajah Prims yang tak hentinya memerah sedari tadi.“Aku akan pulang cepat hari ini,” ujar Arley saat Prims selesai membentuk dasi untuknya.“Iya.”“Mau pergi ke suatu tempat?”“Ke mana?”“Ke manapun yang kamu inginkan. Ada banyak tempat yang bisa kamu pilih untuk dihabiskan berdua.”“Hm ...” Prims memiringkan kepalanya sekilas ke kiri, mempertimbangkan tawarannya. “Aku bingung memilih tempat yang bagus.”“Apakah tidak ada tempat yang sangat ingin kamu datangi?”“Sudah pernah semua jika itu denganmu,” jawabnya yang seketika membuat kedua alis lebat Arley berkerut.“Sudah pernah semua? Ke mana saja itu, Primrose?”“Bioskop, pameran, makan malam, bukankah semuanya sudah pernah kita datangi? Bagaimana kalau kita ... kencan di tempat yang lebih sederhana saja?”Mendengar kata ‘kencan’ dis
Prims memeluk seprai itu erat-erat. Dia pikir, dia harus mencucinya sebentar guna menghilangkan tanda kemerahan itu, agar tak sejelas sekarang.Ia menutup wajahnya dengan seprai yang ia peluk, malu karena Arley bisa saja menilainya sedang mencari perhatian atau bersikap sok polos padahal ia benar-benar tidak bermaksud seperti itu.Ia berlari pergi menuju ke kamar mandi, sebisanya menghilangkan yang tadi ia lihat dengan menggunakan sabun mandi.Beberapa lama di dalam sana, barulah ia keluar dan meletakkann seprai ke dalam keranjang pakaian kotor.Saat Prims memasuki kembali ruang ganti, ia mendengar dering ponselnya. Saat ia menghampirinya, sebuah nama menyeruak memanggilnya. Nama yang tentu saja tidak pernah terpikirkan di dalam benak Prims untuk bisa menghubunginya seperti ini.“Kita baru saja ssaja bertemu, apa maunya menghubungiku?” gumam Prims sendirian saat melihat itu adalah Aston yang memanggilnya.‘Baiklah, aku akan menjawabnya agar cepat selesai,’ batinnya yakin sebelum ia me
Prims menggigit bibirnya, merasa bodoh dan menertawakan dirinya sendiri atas apa yang ia lakukan dengan memaksa Arley masuk ke dalam bilik kamar mandi bersamanya sehingga mereka berdua terjebak di dalam sini dan tidak bisa keluar.Ia menataap Arley yang dagunya sedikit terangkat, prianya itu tidak marah, tetapi seberkas rasa kesal tampak pada netranya yang beriris kelam.“Maaf,” ucap Prims agar ia tak marah. “Aku ceroboh dengan memaksamu masuk ke dalam sini dan membuat kita terjebak,” lanjutnya. Yang sebenarnya tidak dijelaskanpun Arley juga sudah tahu alurnya—dan itu sedikit menggelikan.Kedua bahunya yang kokoh terlihat merosot, kepalanya sebentar miring ke kiri dan bertanya pada Prims yang menarik wajahnya dengan cepat ke belakang sebab ia mengatakan, “Ataukah Kamu memang sengaja ingin berada di dalam sini denganku?” wajah mereka sangat dekat, hidung tinggi Arley nyaris saja menyentuh hidungnya saat prianya itu merunduk mensejajarkan pandangan mereka berdua.“Tidak!” elak Prims deng
Gadis itu berjalan mendekat pada Prims dan Arley yang mengamatinya hingga ia berhenti. Gestur tubuhnya terlihat kaku, bibirnya yang merah masih bungkam sedang matanya yang berair menatap Prims dan dengan suara yang sedikit parau akhirnya ia mengeluarkan suara, "Aku mau bicara denganmu."Kakinya yang terbalut oleh stiletto mengayun pergi, meninggalkan Prims yang bisa memandang punggung adik tirinya yang sedikit terbuka. Dilihat dari gaun malam yang ia kenakan, gadis itu mungkin saja baru saja bertemu dengan seseorang di sini.Rasanya, siapa yang ditemui oleh Alice ia tahu, seorang wanita dengan rambut yang setengah tergerai dan tangannya yang menenteng tas mahal berkilauan, kehadirannya seperti sebuah kartu nama yang lebih dulu menyebut bahwa dirinya adalah Katie Miller. Ibu mertuanya itu berdiri beberapa jarak di belakang Prims, matanya terlihat tidak siap dengan pertemuan secara tiba-tiba ini.Prims menatap Arley yang sejenak kemudian tersenyum, barangkali tak ingin membuat Prims kh
Begitu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Alice, Prims meraba rambut adik tirinya itu. Sebagai sebuah pembelaan agar dirinya tidak mati di sini karena Alice bisa saja menggila, Prims menarik rambut Alice jauh lebih kuat daripada yang gadis itu lakukan.“PRIMROSE!” jeritnya saat Prims berhasil membalik keadaan dan membuatnya merasakan sesakit inilah yang dia lakukan.Beberapa petugas keamanan datang disertai dengan pengunjung restoran yang penasaran apa yang terjadi di luar.Prims melepas Alice, ia berdiri lebih dulu sedangkan gadis berambut cokelat gelap itu masih berada di lantai.“Dia gila!” teriak Alice lengkap dengan jari telunjuknya yang mengarah pada Prims. “Dia menarik rambutku seperti orang gila!” lanjutnya dengan menyentuh rambut yang nyaris terkelupas dari kulit kepalanya.Pengunjung yang berdiri di sekitar mereka terkesiap mendengarnya. Mereka pasti terpengaruh dengan yang disampaikan oleh Alice bahwa Prims sudah gila karena melakukan penyerangan.Termasuk di sana