“Bukankah aku sudah bilang berhentilah berbicara seperti itu?” tegur Prims kemudian kembali memfokuskan diri untuk membuat dasi di leher Arley. Yang ditegur demikian hanya tersenyum saja, sibuk mengamati wajah Prims yang tak hentinya memerah sedari tadi.“Aku akan pulang cepat hari ini,” ujar Arley saat Prims selesai membentuk dasi untuknya.“Iya.”“Mau pergi ke suatu tempat?”“Ke mana?”“Ke manapun yang kamu inginkan. Ada banyak tempat yang bisa kamu pilih untuk dihabiskan berdua.”“Hm ...” Prims memiringkan kepalanya sekilas ke kiri, mempertimbangkan tawarannya. “Aku bingung memilih tempat yang bagus.”“Apakah tidak ada tempat yang sangat ingin kamu datangi?”“Sudah pernah semua jika itu denganmu,” jawabnya yang seketika membuat kedua alis lebat Arley berkerut.“Sudah pernah semua? Ke mana saja itu, Primrose?”“Bioskop, pameran, makan malam, bukankah semuanya sudah pernah kita datangi? Bagaimana kalau kita ... kencan di tempat yang lebih sederhana saja?”Mendengar kata ‘kencan’ dis
Prims memeluk seprai itu erat-erat. Dia pikir, dia harus mencucinya sebentar guna menghilangkan tanda kemerahan itu, agar tak sejelas sekarang.Ia menutup wajahnya dengan seprai yang ia peluk, malu karena Arley bisa saja menilainya sedang mencari perhatian atau bersikap sok polos padahal ia benar-benar tidak bermaksud seperti itu.Ia berlari pergi menuju ke kamar mandi, sebisanya menghilangkan yang tadi ia lihat dengan menggunakan sabun mandi.Beberapa lama di dalam sana, barulah ia keluar dan meletakkann seprai ke dalam keranjang pakaian kotor.Saat Prims memasuki kembali ruang ganti, ia mendengar dering ponselnya. Saat ia menghampirinya, sebuah nama menyeruak memanggilnya. Nama yang tentu saja tidak pernah terpikirkan di dalam benak Prims untuk bisa menghubunginya seperti ini.“Kita baru saja ssaja bertemu, apa maunya menghubungiku?” gumam Prims sendirian saat melihat itu adalah Aston yang memanggilnya.‘Baiklah, aku akan menjawabnya agar cepat selesai,’ batinnya yakin sebelum ia me
Prims menggigit bibirnya, merasa bodoh dan menertawakan dirinya sendiri atas apa yang ia lakukan dengan memaksa Arley masuk ke dalam bilik kamar mandi bersamanya sehingga mereka berdua terjebak di dalam sini dan tidak bisa keluar.Ia menataap Arley yang dagunya sedikit terangkat, prianya itu tidak marah, tetapi seberkas rasa kesal tampak pada netranya yang beriris kelam.“Maaf,” ucap Prims agar ia tak marah. “Aku ceroboh dengan memaksamu masuk ke dalam sini dan membuat kita terjebak,” lanjutnya. Yang sebenarnya tidak dijelaskanpun Arley juga sudah tahu alurnya—dan itu sedikit menggelikan.Kedua bahunya yang kokoh terlihat merosot, kepalanya sebentar miring ke kiri dan bertanya pada Prims yang menarik wajahnya dengan cepat ke belakang sebab ia mengatakan, “Ataukah Kamu memang sengaja ingin berada di dalam sini denganku?” wajah mereka sangat dekat, hidung tinggi Arley nyaris saja menyentuh hidungnya saat prianya itu merunduk mensejajarkan pandangan mereka berdua.“Tidak!” elak Prims deng
Gadis itu berjalan mendekat pada Prims dan Arley yang mengamatinya hingga ia berhenti. Gestur tubuhnya terlihat kaku, bibirnya yang merah masih bungkam sedang matanya yang berair menatap Prims dan dengan suara yang sedikit parau akhirnya ia mengeluarkan suara, "Aku mau bicara denganmu."Kakinya yang terbalut oleh stiletto mengayun pergi, meninggalkan Prims yang bisa memandang punggung adik tirinya yang sedikit terbuka. Dilihat dari gaun malam yang ia kenakan, gadis itu mungkin saja baru saja bertemu dengan seseorang di sini.Rasanya, siapa yang ditemui oleh Alice ia tahu, seorang wanita dengan rambut yang setengah tergerai dan tangannya yang menenteng tas mahal berkilauan, kehadirannya seperti sebuah kartu nama yang lebih dulu menyebut bahwa dirinya adalah Katie Miller. Ibu mertuanya itu berdiri beberapa jarak di belakang Prims, matanya terlihat tidak siap dengan pertemuan secara tiba-tiba ini.Prims menatap Arley yang sejenak kemudian tersenyum, barangkali tak ingin membuat Prims kh
Begitu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Alice, Prims meraba rambut adik tirinya itu. Sebagai sebuah pembelaan agar dirinya tidak mati di sini karena Alice bisa saja menggila, Prims menarik rambut Alice jauh lebih kuat daripada yang gadis itu lakukan.“PRIMROSE!” jeritnya saat Prims berhasil membalik keadaan dan membuatnya merasakan sesakit inilah yang dia lakukan.Beberapa petugas keamanan datang disertai dengan pengunjung restoran yang penasaran apa yang terjadi di luar.Prims melepas Alice, ia berdiri lebih dulu sedangkan gadis berambut cokelat gelap itu masih berada di lantai.“Dia gila!” teriak Alice lengkap dengan jari telunjuknya yang mengarah pada Prims. “Dia menarik rambutku seperti orang gila!” lanjutnya dengan menyentuh rambut yang nyaris terkelupas dari kulit kepalanya.Pengunjung yang berdiri di sekitar mereka terkesiap mendengarnya. Mereka pasti terpengaruh dengan yang disampaikan oleh Alice bahwa Prims sudah gila karena melakukan penyerangan.Termasuk di sana
“Astaga, kamu membuat kakiku rasanya berubah menjadi jelly,” ucap Prims setelah ia meneguk minuman dari dalam gelas berkaki yang ia raih dengan sedikit gemetar.Arley yang mendengarnya hanya tertawa sebelum mengatakan, “Kemarikan tanganmu, Primrose!” pintanya yang sesaat kemudian dikabulkan oleh Prims dengan memberikan tangan kanannya.Jemari mereka segera saja saling bersentuhan, Arley menyambutnya lalu memasangkan cincin yang cantik itu di jari manisnya.Prims mengamati cincin yang kini tersemat di sana, terlihat sangat manis, persis dengan senyum pria yang memberikan cincin itu untuknya.“Terima kasih,” ucap Prims kemudian memandang Arley yang mengangguk tak keberatan. “Ini sangat cantik.”“Hal-hal yang cantik memang cocok untuk kamu.”Prims menyentuh pipinya yang menghangat dengan menggunakan punggung tangannya, bisa terbakar jika Arley terus saja melakukan hal seperti ini.Tapi untungnya, mereka mengambil jeda berbicara saat makanan utama datang. Rasanya sangat nikmat, Prims piki
Hangat, dekapan tangan Arley yang melingkar di pinggangnya terasa selalu hangat. Melewati satu malam yang manis, pagi ini Prims bisa melihat wajahnya yang tampak damai saat terpejam.Di sebelah kirinya, hidung Arley yang tinggi hampir saja bersentuhan saat Prims memandang ia yang tidur miring menghadapnya.Ia masih terlelap, sedangkan Prims baru saja bangun dan tersenyum melihat bagaimana otot bisep yang seolah tak ingin melepaskannya.Prims memberanikan diri untuk mendekat dan mengecup bibirnya, mumpung orangnya belum bangun, Prims bisa sesekali melakukan ini.Ia tersenyum, wajahnya memanas mengenang apa yang mereka lakukan semalam. Benar ... itu adalah mengulang malam manis seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Wangi Arley masih tertinggal di leher dan seluruh tubuhnya, meraba dirinya yang tidak terlindung dalam seutas benang di bawah selimut yang menutupi mereka, Prims sekali lagi dibuat berdebar-debar. Ia masih belum mengakui bahwa semua ini adalah sebuah kenyataan.Rasanya ter
“Alice, Pak Will?” ulangi Prims dengan segera memandang ke depan.“Benar, Nona Primrose,” jawab Will seraya menunjuk pada seorang perempuan yang datang dari arah kanan mereka menyeberang jalan dengan setengah berlari.“Dia kenapa?” tanya Prims dengan alis yang berkerut, pertanyaan yang sama yang disampaikan oleh Arley sehingga terdengar bersamaan bagi Will.“Bukankah itu gaun yang dia pakai tadi malam?” tanya Prims kemudian menoleh pada Arley yang mengangguk membenarkannya.“Iya.”“Kenapa dia berlari seperti itu?”“Tidak tahu. Biarkan saja. Mungkin dia ada urusan yang pelik dengan partner kencannya?” tanya Arley balik sembari menunjuk pada seorang pria yang berdiri di tepi jalan dan memandang kepergian Alice dengan raut yang sedikit marah.Dugaan yang disampaikan oleh Arley membuat Prims membenarkannya, “Benar juga ya?”“Jangan hiraukan dia,” ucap Arley setelah Will mengemudikan mobilnya melewati persimpangan jalan, “Apa yang ingin kamu katakan?” lanjutnya.Prims memandang Arley, mera