Langkah tungkai panjang Brahmana menghantarnya tiba di mansion milik Dananjaya tua.Hari itu Brahmana menerima panggilan dari sang kakek melalui asistennya. Kebetulan sekali, Brahmana pun ingin menyampaikan beberapa hal pada sang kakek.Langkahnya kemudian berhenti di depan dua daun pintu besar ruang kerja milik sang kakek.Pintu terbuka setelah Brahmana mengetuk.“Kalian boleh keluar.” Brahmana berujar pada dua pelayan yang berdiri di dekat pintu setelah ia masuk ke dalam ruang kerja tersebut.Kedua pelayan itu melirik pada asisten Dananjaya yang berdiri dekat meja kerja besar sang penguasa Dananjaya Group.Nuh --asisten Dananjaya Tua itu mengangguk.Kedua pelayan tersebut lalu membungkukkan badan pada Brahmana dan bergegas keluar dan menutup pintu perlahan.Brahmana memutar tubuh menghadap meja besar di ujung ruangan luas itu.Telah tampak di matanya, Dananjaya Tua yang duduk di kursi kebesaran miliknya den
Mobil yang membawa Brahmana, tiba di hotel bintang lima milik keluarga Robert.Fathan yang menemani Brahmana saat ini, turun mendahului Brahmana. Seorang laki-laki berseragam menghampiri mobil yang dikendarai CEO Dananjaya Group itu dan membukakan pintu sembari setengah membungkuk.Brahmana keluar dengan langkah mantap lalu berjalan masuk lalu mengikuti karpet merah tebal dari lobby menuju ke lift dengan didampingi Fathan dan dua orang bodyguard. Tidak lama setelah rombongan itu masuk dalam lift, Brahmana memiringkan kepalanya ke kanan, di mana Fathan berdiri satu langkah di belakang dirinya.Menerima kode itu, Fathan melangkah maju.“Sudah kamu pastikan semua siap?” tanya Brahmana pada Fathan.“Sudah Tuan.”Brahmana mengangguk. Lalu pandangannya kembali ke depan.Pintu lift terbuka, langsung menampilkan seseorang berseragam lainnya yang telah menunggu.Orang itu langsung merentangkan tanga
Melissa tertawa tanpa henti sepanjang perjalanan pulang menuju rumahnya. Sang suami --Harsa, menatap risih pada istrinya itu. “Diamlah, kau berisik sekali,” sungut Harsa mengomentari tingkah istrinya. “Kau yang diam. Apa kau tidak bisa lihat suasana hatiku yang sangat senang?” Melissa mendelik pada Harsa. “Kamu menertawakan sesuatu yang sesungguhnya tidak lucu,” protes Harsa. Ia membuang muka ke arah jendela mobil yang dikendarai seorang supir. “Apa kamu benar-benar polos?” Melissa menggelengkan kepalanya. “Tidakkah kamu lihat satu kesempatan bagus terhadap kejadian tadi?” “Kesempatan bagus apa? Bagaimana bisa acara pertunangan yang gagal disebut bagus?” Melissa berdecak jengkel. “Cucu tersayang ayah telah melakukan hal yang membuat malu ayah.” “Menurutku itu tidak terlalu membuat malu. Apa kamu tidak lihat muka serakah Robert tadi? Jelas-jelas dia sendiri senang dan dia juga yang membatalkan pertunangan dan memilih menerima tawaran kerjasama dari Bram!” dengkus Harsa. Melissa
“Kat!”Seruan suara seorang wanita tidak lantas membuat pemilik nama itu menoleh.Wanita cantik yang mengenakan dress tanpa lengan itu tetap asyik menatap gelas berkaki di tangan, sambil menggoyangkannya perlahan.“Hey Kat!” Dini menggoyangkan tangannya ke depan wajah Katrina.“Apa sih!” gerutu Katrina malas.“Kok ngelamun gitu?” Dini lalu mengambil tempat duduk di samping Katrina, begitu juga dengan Bella yang datang bersama Dini.Bella duduk di hadapan Katrina dan Dini.“Gue kagak ngelamun.” Katrina meneguk cairan kekuningan di dalam gelas berkaki itu.Dini dan Bella saling melempar tatap.“Eh iya, jadi kapan acara pertunanganmu dengan CEO DG itu?” Bella bertanya antusias.“Iya, bener Kat. Kemaren kan pertemuan keluarga kamu dan keluarga Dananjaya. Jadi gimana? Ceritain dong!” Tak kalah semangat, Dini pun melempar tanya.P
Bangunan bergaya klasik terpampang di hadapan Aruna. Wanita muda itu kemudian melirik pria bertubuh tinggi dan atletis yang berdiri di samping kirinya. “Kau melemparku ke salon selama berjam-jam dan membelikan serta memintaku memakai gaun ini, hanya untuk makan?” cetus Aruna dengan alis menurun. Pria tampan itu memiringkan kepalanya. “Ya,” ucapnya singkat. “Restoran ini berkonsep fine-dining.” “Aku tahu apa itu fine dining. Aku hanya gak nyangka harus mengorbankan waktu sebanyak itu untuk makan.” Aruna menggelengkan kepalanya. “Kau tidak suka makan di tempat seperti ini?” Brahmana melirik Aruna. “Bukan itu,” cetus si wanita. “Waktu kita itu, akan lebih berharga jika kita habiskan berdua. Rasanya kesal, berjam-jam aku membuangnya di salon…” Tangan kanan Brahmana meraih tangan Aruna dan menyisipkan jemarinya di setiap sela jemari wanita muda yang telah berdandan rapi itu. “Kau merindukanku?” “Waktu denganmu sangat berharga, Agha…” Aruna membalas remasan jemari Brahmana saat meng
Di sebuah kafe yang tidak ramai pengunjung. Satu sudut yang cukup tersembunyi dari pandangan dan lalu lalang pengunjung lain, satu meja dihuni oleh seorang wanita dan seorang pria berkacamata hitam. Wanita itu menatap amplop di atas meja dengan seksama, lalu mengangkat wajah, berganti melempar pandangan pada pria berkacamata yang duduk di seberangnya. “Jadi hanya itu aja yang harus aku lakukan?” Ferliana --wanita itu menatap seksama si pria. Pria berkacamata hitam mengangguk. “Tapi kamu tidak boleh membuka amplop itu.” Pria berkaca mata itu berkata datar. “Jika kamu membukanya, uang muka itu kami tarik kembali dan sisanya tidak akan kami berikan.” Ferliana menggeleng kuat. “Aku tidak akan membukanya.” Ia meregangkan bibirnya untuk membentuk senyuman --yang dia harapkan akan menawan dan meyakinkan. “Jangan kamu pikir kami tidak akan mengetahuinya. Jika kamu berani membuka amplop itu, kami akan tahu.” Pria itu menekankan kalimatnya. “Bukan saja kau tidak akan mendapatkan sepese
“Eh, sialan lu!” Bentakan nyaring terdengar dari belakang Aruna.Shanti yang tergopoh-gopoh segera menghampiri begitu ia mendengar adanya keributan di dekat pintu kafe.Ia terkejut bukan kepalang, saat mengetahui bahwa Aruna berada dalam sumber keributan itu.Tangan Shanti dengan cepat menarik Aruna ke belakang, sementara ia sendiri maju dan menantang ketiga wanita yang mencari ribut dengan sahabatnya.“Apa maksud lu nyiram temen gue?!” sentak Shanti pada Katrina dengan mata melotot.“Siapa yang nyiram? Aku hanya mengusir lalat yang menempel di wajahnya tadi,” jawab Katrina santai.“Nona, tadi Anda--”“Diamlah Pak!” Katrina menatap tajam pada pria paruh baya beserta istrinya yang hendak mengatakan sesuatu.“Sebaiknya kalian berdua lekas pergi dari sini,” desis Katrina dengan bola mata bergerak ke arah luar.Pria paruh baya itu hendak membantah, namun
Shanti yang melihat Aruna berhasil keluar dan menjauh dari kafe itu menarik napas lega. “Hey! Mau kemana lu, bang?!” Shanti menarik lengan salah satu laki-laki yang hendak keluar mengejar Aruna. Laki-laki itu berusaha berkelit, namun tidak ia duga Shanti mengangkat kakinya dan satu tendangan cantik menghantam bawah perut laki-laki itu hingga mengaduh kesakitan. Laki-laki itu langsung membungkuk dan memegangi pusaka kesayangannya yang terkena hantaman kaki Shanti. “Brengsek!!” Katrina mengumpat saat melihat salah satu pengawalnya malah merunduk kesakitan. “Ngapain lu berdua diem aja?! Ringkus tu cewek, Sialan!! Kalo sampe gagal, kalian semua gue pecat!!” pekik Katrina pada kedua laki-laki berbadan besar yang tadi ikutan meringis ngeri melihat kawannya itu. Katrina lalu beralih pada Dini dan Bella. “Din, Bella! Kalian kejar cewek itu, seret dia kesini!” perintahnya dengan amarah yang meledak-ledak. Tanpa menunggu diperintah dua kali, Dini dan Bella berlari keluar untuk menyusul da