“Apa-apaan kalian! Cari yang benar!!” Kelima bodyguard Brahmana membungkukkan badan lalu keluar ruangan sang CEO. Sementara dua lainnya keluar untuk berjaga di depan ruangan sang Bos Besar itu. “Gunakan GPS yang terpasang di ponsel miliknya. Bagaimana bisa kamu tidak menemukan keberadaan Aruna?” Pria tampan itu memarahi Fathan yang berdiri di sampingnya. Dua jam telah berlalu, tanpa Brahmana bisa menghubungi Aruna melalui ponselnya demikian dengan keberadaannya yang tidak diketahui. Ia juga tidak mendapat kabar apapun dari wanita muda pengasuh Maira yang belum lama menjadi kekasihnya itu. “Ponsel nona Aruna tidak aktif, Tuan. Posisi terakhir yang bisa kami dapatkan ada di dua ratus meter dari kafe itu.” Fathan menunduk. “CCTV jalan? Atau toko-toko sekitarnya?” “Tidak ada CCTV di jalan. Hanya ada satu CCTV milik mini market di seberang jalan. Namun sudut pandangnya tidak menjangkau keberadaan kafe tempat nona Aruna berada.” Brahmana membuang napas gusar. “Ceritakan ulang kronol
Suara ban mobil berdecit nyaring. Menandakan kecepatan tinggi yang dihentikan secara mendadak dan tergesa. Kaki panjang dan kokoh milik Brahmana melompat turun dari mobil dan tanpa mematikan mesin atau bahkan menutup pintu, ia berlari menuju pintu rumah yang dihuni Aruna. “Runa!” Tangan Brahmana memencet bel, lalu mengetuk pintu sembari tiga kali memanggil nama Aruna. Setelah mengetuk beberapa kali lagi, daun pintu terbuka pelan dan menampilkan sosok Aruna. “Runa..” Brahmana menghela napas luar biasa lega saat melihat wanita muda itu di depannya. Namun matanya terpicing dengan kening berkerut, melihat wajah pucat Aruna. “Runa, kau sakit?” tanya Brahmana dengan nada panik yang nyaris tidak bisa ia tutupi. Aruna menggeleng lemah. Ia memutar tubuh dan berjalan masuk menuju ruang tengah, diikuti Brahmana yang masuk tanpa menunggu diizinkan. Ia hanya akan menerima omelan Aruna nanti --tidak tahan untuk mengetahui kondisi dari Aruna dan mengabaikan aturan Aruna yang cukup ketat meng
“Tuan, saya berhasil mendapatkan satu keterangan bahwa nona Aruna dibawa oleh dua orang dan dibawa masuk ke dalam mobil jenis minibus berwarna hitam. Saksi mengatakan tidak begitu yakin, tapi ia melihat nona Aruna seperti tidak sadarkan diri saat dibawa masuk ke dalam mobil itu. Saya sedang mencoba melacak keberadaan mobil itu dan pemiliknya.” Brahmana diam mendengar penjelasan Fathan. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia meremas berkas yang tengah ada dalam genggamannya. Kedua matanya menutup sesaat dengan tarikan napas yang dalam. Masih sangat segar dalam ingatan, ia mendapat penjelasan berbeda dari Aruna yang hanya mengatakan bahwa dirinya kecopetan, lalu berdiam diri beberapa waktu. Bibirnya terkatup saat akhirnya ia berkata pada Fathan. “Lanjutkan penelusuran.” Kalimat itu tidak dikatakan dengan suara keras dan tanpa panjang lebar. Namun itu menghantarkan aura dingin yang mematikan dengan tatapan yang berkilat seakan hendak merobek segala sesuatu di
“Apa kau baik-baik saja?”Pertanyaan yang meluncur dari bibir Ardiya itu dijawab oleh anggukan kepala Aruna.Mereka berdua berada dalam satu kafe yang sedikit jauh dari pusat kota.Ardiya sebelumnya tengah bersantai di apartemen miliknya, ketika Aruna mendatangi dirinya di sana.Aruna kehilangan nomor kontak Ardiya karena ponselnya yang hilang, lalu berkata ingin berbicara khusus dengan Ardiya, namun menolak bicara di dalam apartemen milik Ardiya tersebut.Tentu saja Ardiya memahami kekhawatiran Aruna. Akhirnya pria muda sepupu Brahmana itu mengajak Aruna berbicara di luar.Usulan itu diterima Aruna, namun tetap meminta Ardiya untuk menuju kafe biasa yang tidak berada di pusat kota.“Aku baik.”Suara Aruna mengayun pelan untuk menjawab pertanyaan pembuka dari pembicaraan mereka.Ardiya menyipitkan matanya. “Yakin? Kau terlihat pucat, Runa.”“Ya. Aku baik-baik saja Diya.&rd
“Ya. Sebaiknya segera Anda lakukan apa yang saya minta.” Syam lalu menutup sambungan teleponnya pada seseorang. Ia menekan nomor kontak lain dan mulai berbicara lagi secara singkat. Entah apa yang dibicarakannya, namun saat ia telah selesai, ia mengempas tubuh dengan kasar di atas sofa panjang ruang tengahnya. Tangannya mengusap wajah dengan gelisah, berusaha mengenyahkan rasa bersalah dan juga gundah yang terus menerpa dirinya sejak semalam. “Tuan Pandhu.. maafkan aku. Aku tidak punya jalan lain untuk menyelamatkan putraku satu-satunya,” bisik lirih pria paruh baya itu seolah berbicara pada seseorang di depannya. “Dia satu-satunya harta berharga milikku…” desahnya lagi dengan kelopak mata yang menutup, seakan hal itu bisa meredam rasa berat di kepalanya. Syam baru saja menikmati berat di kepalanya itu beberapa menit, ketika ponselnya kembali mengeluarkan suara. Satu panggilan masuk memaksa Syam untuk membuka mata kembali. Ia bangkit dan meraih ponsel miliknya. Keningnya berke
‘Ayaaaah!! Tidak!’‘Korban telat mendapatkan penanganan, Dok. Kondisinya mungkin tidak tertolong.’‘Kami mohon maaf karena menyampaikan ini. Bapak Erwin dalam keadaan koma.’‘Kasian kamu Nak. Berdoa saja agar ayah kamu bisa segera bangun kembali..’‘Kamu anak cantik, mungkin bisa sedikit membantuku. Coba ke ataskan rok kamu. Mungkin saya akan pertimbangkan untuk mengusut kasus ini lebih jauh…’‘Ingat kata-kataku baik-baik anak kecil. Jika kamu datang lagi membuat keributan, maka kami tak akan segan-segan menyeretmu ke dalam kurungan!’‘Lepaskan aku!! Lepaskan!’Pandangan sekeliling seketika gelap.“Hah!!”Aruna meraup udara sebanyak-banyaknya.Ia bangun terduduk dengan peluh jagung di pelipisnya.Kedua tangan kemudian terangkat dan meremas rambut di sisi kanan dan kiri, dengan napas tersengal.Matan
Langkah kaki itu terhenti di depan pintu dalam salah satu ruangan di lantai dua. Tangan rampingnya mendorong pelan setelah memutar handel pintu, hingga membuka. Aruna menahan napas ketika pintu itu terbuka lebar dan menampilkan ruang gelap tanpa pencahayaan. Setelah sarapan bersama Brahmana tadi pagi dan memastikan Brahmana pergi bekerja, ia menguatkan hati untuk tetap naik ke atas dan mencari tahu apa yang telah mengganggunya belakangan ini. Ia tidak terlalu mengkhawatirkan akan ada yang mengganggunya, karena ia yakin --meskipun tanpa dikatakan, Ima mengetahui Aruna mendapat perlakuan khusus dari Brahmana. Dan itu membuat wanita paruh baya yang telah mengabdi di kediaman ini mungkin akan berpikir ulang untuk menegurnya, sekalipun Aruna kedapatan memasuki ruangan ini. Tangan Aruna terangkat dan menekan saklar lampu, hingga membuat ruangan itu seketika terang. Pandangannya teredar ke sekeliling dan lagi-lagi berhenti pada pigura besar yang memajang gambar diri seorang wanita cant
“Semua berjalan sesuai yang kita harapkan. Syam telah menggerakkan orang-orang yang loyal pada Pandhu untuk menjualnya pada kita.” Joe tersenyum puas. Matanya lekat pada tablet di tangannya memantau laporan yang masuk di sana. Ardiya menghirup dan menyesap minuman berwarna kuning keemasan yang sedari tadi ia pegang. Heningnya Ardiya membuat Joe berpaling pada pria muda itu dengan alis menurun. “Kau mendengarkan?” “Hm.” Joe lalu meletakkan tablet dan berpindah duduk di sisi kanan Ardiya. “Apa yang kau pikirkan? Apa ada masalah dengan proses ini?” Ardiya menyesap lagi minuman dalam gelas berkaki itu. “Tidak ada masalah,” ucapnya santai. “Kau terlihat tidak fokus.” “Tidak. Aku fokus. Hanya menunggu sesuatu.” “Menunggu sesuatu?” Tepat setelah ujung kalimat Joe itu, ponsel milik Ardiya berdering. Pria muda itu tidak tergesa meraih ponsel dan menjawab panggilan tersebut. ‘Diya…’ Suara bergetar itu lalu terdengar. “Ya. Aku di sini. Ada apa?” Ardiya menjawab dengan nada intens.