“Kat!”Seruan suara seorang wanita tidak lantas membuat pemilik nama itu menoleh.Wanita cantik yang mengenakan dress tanpa lengan itu tetap asyik menatap gelas berkaki di tangan, sambil menggoyangkannya perlahan.“Hey Kat!” Dini menggoyangkan tangannya ke depan wajah Katrina.“Apa sih!” gerutu Katrina malas.“Kok ngelamun gitu?” Dini lalu mengambil tempat duduk di samping Katrina, begitu juga dengan Bella yang datang bersama Dini.Bella duduk di hadapan Katrina dan Dini.“Gue kagak ngelamun.” Katrina meneguk cairan kekuningan di dalam gelas berkaki itu.Dini dan Bella saling melempar tatap.“Eh iya, jadi kapan acara pertunanganmu dengan CEO DG itu?” Bella bertanya antusias.“Iya, bener Kat. Kemaren kan pertemuan keluarga kamu dan keluarga Dananjaya. Jadi gimana? Ceritain dong!” Tak kalah semangat, Dini pun melempar tanya.P
Bangunan bergaya klasik terpampang di hadapan Aruna. Wanita muda itu kemudian melirik pria bertubuh tinggi dan atletis yang berdiri di samping kirinya. “Kau melemparku ke salon selama berjam-jam dan membelikan serta memintaku memakai gaun ini, hanya untuk makan?” cetus Aruna dengan alis menurun. Pria tampan itu memiringkan kepalanya. “Ya,” ucapnya singkat. “Restoran ini berkonsep fine-dining.” “Aku tahu apa itu fine dining. Aku hanya gak nyangka harus mengorbankan waktu sebanyak itu untuk makan.” Aruna menggelengkan kepalanya. “Kau tidak suka makan di tempat seperti ini?” Brahmana melirik Aruna. “Bukan itu,” cetus si wanita. “Waktu kita itu, akan lebih berharga jika kita habiskan berdua. Rasanya kesal, berjam-jam aku membuangnya di salon…” Tangan kanan Brahmana meraih tangan Aruna dan menyisipkan jemarinya di setiap sela jemari wanita muda yang telah berdandan rapi itu. “Kau merindukanku?” “Waktu denganmu sangat berharga, Agha…” Aruna membalas remasan jemari Brahmana saat meng
Di sebuah kafe yang tidak ramai pengunjung. Satu sudut yang cukup tersembunyi dari pandangan dan lalu lalang pengunjung lain, satu meja dihuni oleh seorang wanita dan seorang pria berkacamata hitam. Wanita itu menatap amplop di atas meja dengan seksama, lalu mengangkat wajah, berganti melempar pandangan pada pria berkacamata yang duduk di seberangnya. “Jadi hanya itu aja yang harus aku lakukan?” Ferliana --wanita itu menatap seksama si pria. Pria berkacamata hitam mengangguk. “Tapi kamu tidak boleh membuka amplop itu.” Pria berkaca mata itu berkata datar. “Jika kamu membukanya, uang muka itu kami tarik kembali dan sisanya tidak akan kami berikan.” Ferliana menggeleng kuat. “Aku tidak akan membukanya.” Ia meregangkan bibirnya untuk membentuk senyuman --yang dia harapkan akan menawan dan meyakinkan. “Jangan kamu pikir kami tidak akan mengetahuinya. Jika kamu berani membuka amplop itu, kami akan tahu.” Pria itu menekankan kalimatnya. “Bukan saja kau tidak akan mendapatkan sepese
“Eh, sialan lu!” Bentakan nyaring terdengar dari belakang Aruna.Shanti yang tergopoh-gopoh segera menghampiri begitu ia mendengar adanya keributan di dekat pintu kafe.Ia terkejut bukan kepalang, saat mengetahui bahwa Aruna berada dalam sumber keributan itu.Tangan Shanti dengan cepat menarik Aruna ke belakang, sementara ia sendiri maju dan menantang ketiga wanita yang mencari ribut dengan sahabatnya.“Apa maksud lu nyiram temen gue?!” sentak Shanti pada Katrina dengan mata melotot.“Siapa yang nyiram? Aku hanya mengusir lalat yang menempel di wajahnya tadi,” jawab Katrina santai.“Nona, tadi Anda--”“Diamlah Pak!” Katrina menatap tajam pada pria paruh baya beserta istrinya yang hendak mengatakan sesuatu.“Sebaiknya kalian berdua lekas pergi dari sini,” desis Katrina dengan bola mata bergerak ke arah luar.Pria paruh baya itu hendak membantah, namun
Shanti yang melihat Aruna berhasil keluar dan menjauh dari kafe itu menarik napas lega. “Hey! Mau kemana lu, bang?!” Shanti menarik lengan salah satu laki-laki yang hendak keluar mengejar Aruna. Laki-laki itu berusaha berkelit, namun tidak ia duga Shanti mengangkat kakinya dan satu tendangan cantik menghantam bawah perut laki-laki itu hingga mengaduh kesakitan. Laki-laki itu langsung membungkuk dan memegangi pusaka kesayangannya yang terkena hantaman kaki Shanti. “Brengsek!!” Katrina mengumpat saat melihat salah satu pengawalnya malah merunduk kesakitan. “Ngapain lu berdua diem aja?! Ringkus tu cewek, Sialan!! Kalo sampe gagal, kalian semua gue pecat!!” pekik Katrina pada kedua laki-laki berbadan besar yang tadi ikutan meringis ngeri melihat kawannya itu. Katrina lalu beralih pada Dini dan Bella. “Din, Bella! Kalian kejar cewek itu, seret dia kesini!” perintahnya dengan amarah yang meledak-ledak. Tanpa menunggu diperintah dua kali, Dini dan Bella berlari keluar untuk menyusul da
“Apa-apaan kalian! Cari yang benar!!” Kelima bodyguard Brahmana membungkukkan badan lalu keluar ruangan sang CEO. Sementara dua lainnya keluar untuk berjaga di depan ruangan sang Bos Besar itu. “Gunakan GPS yang terpasang di ponsel miliknya. Bagaimana bisa kamu tidak menemukan keberadaan Aruna?” Pria tampan itu memarahi Fathan yang berdiri di sampingnya. Dua jam telah berlalu, tanpa Brahmana bisa menghubungi Aruna melalui ponselnya demikian dengan keberadaannya yang tidak diketahui. Ia juga tidak mendapat kabar apapun dari wanita muda pengasuh Maira yang belum lama menjadi kekasihnya itu. “Ponsel nona Aruna tidak aktif, Tuan. Posisi terakhir yang bisa kami dapatkan ada di dua ratus meter dari kafe itu.” Fathan menunduk. “CCTV jalan? Atau toko-toko sekitarnya?” “Tidak ada CCTV di jalan. Hanya ada satu CCTV milik mini market di seberang jalan. Namun sudut pandangnya tidak menjangkau keberadaan kafe tempat nona Aruna berada.” Brahmana membuang napas gusar. “Ceritakan ulang kronol
Suara ban mobil berdecit nyaring. Menandakan kecepatan tinggi yang dihentikan secara mendadak dan tergesa. Kaki panjang dan kokoh milik Brahmana melompat turun dari mobil dan tanpa mematikan mesin atau bahkan menutup pintu, ia berlari menuju pintu rumah yang dihuni Aruna. “Runa!” Tangan Brahmana memencet bel, lalu mengetuk pintu sembari tiga kali memanggil nama Aruna. Setelah mengetuk beberapa kali lagi, daun pintu terbuka pelan dan menampilkan sosok Aruna. “Runa..” Brahmana menghela napas luar biasa lega saat melihat wanita muda itu di depannya. Namun matanya terpicing dengan kening berkerut, melihat wajah pucat Aruna. “Runa, kau sakit?” tanya Brahmana dengan nada panik yang nyaris tidak bisa ia tutupi. Aruna menggeleng lemah. Ia memutar tubuh dan berjalan masuk menuju ruang tengah, diikuti Brahmana yang masuk tanpa menunggu diizinkan. Ia hanya akan menerima omelan Aruna nanti --tidak tahan untuk mengetahui kondisi dari Aruna dan mengabaikan aturan Aruna yang cukup ketat meng
“Tuan, saya berhasil mendapatkan satu keterangan bahwa nona Aruna dibawa oleh dua orang dan dibawa masuk ke dalam mobil jenis minibus berwarna hitam. Saksi mengatakan tidak begitu yakin, tapi ia melihat nona Aruna seperti tidak sadarkan diri saat dibawa masuk ke dalam mobil itu. Saya sedang mencoba melacak keberadaan mobil itu dan pemiliknya.” Brahmana diam mendengar penjelasan Fathan. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia meremas berkas yang tengah ada dalam genggamannya. Kedua matanya menutup sesaat dengan tarikan napas yang dalam. Masih sangat segar dalam ingatan, ia mendapat penjelasan berbeda dari Aruna yang hanya mengatakan bahwa dirinya kecopetan, lalu berdiam diri beberapa waktu. Bibirnya terkatup saat akhirnya ia berkata pada Fathan. “Lanjutkan penelusuran.” Kalimat itu tidak dikatakan dengan suara keras dan tanpa panjang lebar. Namun itu menghantarkan aura dingin yang mematikan dengan tatapan yang berkilat seakan hendak merobek segala sesuatu di