Baru saja mata Darren terangkat, Jihan langsung gelagapan. "Ah, aku teringat dengan dialog drama yang aku lihat."Darren menyeringai membuat Jihan mengerjapkan mata. "Kau bilang apa barusan? Cium? Kau ingin menciumku?"Kepala Jihan menggeleng cepat. "Bukan Mas. Sudah aku bilang kalau aku mengingat dialog drama."Jihan terkekeh. "Iya, begitu."Tangan Darren kembali mengelus pipinya dan tentunya Jihan meringis. Darren menatap wajahnya, kemudian tak lama suaminya ini mendekat. Satu hal yang membuat Jihan terkejut, yakni saat Darren tiba-tiba saja menjilat pipinya."Mas, kau sedang apa?" tanya Jihan kaget dan segera mendorong Darren supaya menjauh."Ini memberikan efek mendinginkan. Bukankah terasa dingin ketika diterpa angin AC?" tanya Darren.Jihan sedikit mengangguk, memang benar sih. Bekas jilatan Darren memberikan sensasi dingin karena terkena angin AC. Namun, Jihan langsung menggeleng kuat begitu melihat Darren yang menyeringai. Akhir-akhir ini Darren begitu suka mempermainkan Jihan
"Sialan!"Suara itu menggema di lorong perusahaan. Telinga Jihan yang mengenali membuat mata segera melirik, retina Jihan menangkap sosok Darren mendekat. Emosi yang begitu menggebu membuat Darren menarik paksa tubuh Abian hingga bibir saling terlepas.Abian tersungkur ke lantai dan Darren begitu marah langsung menaiki tubuh mantan suaminya itu hanya untuk memukul. Jihan sendiri memilih tak melerai, ia merasa kalau Abian pantas mendapatkannya. Bahkan sekarang Jihan menangis karena tidak bisa menolak."Berani sekali pria gila itu. Padahal ingin pun aku berusaha menahan diri," gumam Akio membuat Yohan melirik."Berani sekali kau mencium istri orang lain!" Darren benar-benar mengamuk dan memukul Abian dengan membabi buta.Yohan melirik sekitar, karyawan mulai berkerumun. Menyaksikan Darren yang memukuli Abian. Dari pada situasi semakin memburuk, Yohan segera mendekat dan memisahkan Darren yang mengamuk pada Abian."Pak Darren, sebenarnya salah saya apa? Ibu Jihan yang meminta saya untuk
Yuna tersenyum. "Tapi, jangan lupa. Kalau dapat uang ganti ruginya, kau juga harus membaginya padaku."Abian menatap Yuna antusias. "Ya tentu saja, aku akan memberikan setengahnya."Tangan Abian meraih dan merambat di pinggang Yuna. Membuat wanita itu terduduk di pangkuan Abian. Ketika Abian hendak mencium, terburu Yuna menghindar."Kenapa? Kan sudah lama juga kita tidak melakukannya," singgung Abian.Yuna menghela napas. "Aku tidak mau."Abian mengerutkan dahi dan wajah menjadi emosi. "Apa sekarang kau hanya melayani pria kaya saja? Tidak ingat kenapa aku menceraikan Jihan? Itu semua demi kau Yuna."Yuna tersenyum manis. "Benarkah? Aku kira kau menceraikan Jihan karena sudah bosan dengannya."Abian mengecup pipi Yuna. "Tentu saja bosan, wanita yang tidak pandai menyenangkan suami, sudah seharusnya dibuang dan diganti denganmu yang menyenangkan."Yuna terkekeh karena geli. Namun, ketika bibir Abian sibuk di cerukan leher, ekspresi Yuna berubah menjadi datar. Seolah tak suka lagi denga
Jihan menatap Darren yang nampak begitu serius. "Ya."Bella menoleh padanya dan berbisik, "adik Bella?"Mata Jihan memenjarakan Bella dalam diam. Apakah ... Winda bisa disebut adik untuk Bella? Sosok putri yang sudah tidak ada, tapi tetap membekas dalam ingatan Jihan. Meski hati sedih, tapi Jihan berusaha untuk tetap tersenyum dan mengangguk."Iya. Adiknya Bella."Bella tersenyum dan kembali berbisik, "di mana?"Meski berusaha tersenyum, tapi Jihan tak bisa membendung air matanya. "Di sisi Allah, karena Allah lebih sayang dari pada mama."Bella membisu, kata itu sepertinya cukup familiar di telinga sang putri. Hingga Bella turun dari kursi hanya untuk mendekat padanya dan memeluk pinggangnya. Jihan tersenyum dan menghapus air matanya. Namun, ia langsung menatap pada Darren ketika suaminya ini memberikan tisu padanya."Aku tidak menyangka, akan menangis di sini," tuturnya sembari tersenyum."Hapus air matamu dengan tisu. Bella mencemaskanmu," tutur Darren membuat Jihan menurut.Setelah
"Aku orang yang rasional," ujar Darren membuat Jihan menoleh.Darren menatap Jihan serius. "Meski hatiku masih mencintainya, bagaimana pun dia orang yang sudah meninggal. Aku hanya perlu mengurus orang yang masih hidup, yakni Bella. Aku akan melakukan apa pun demi Bella.""Termasuk membuat namaku tertulis di akta kelahiran Bella?" tanya Jihan.Darren mengangguk. "Ya. Sebagai ibu kandung."Jihan tertegun. Kenapa harus ibu kandung, jika ibu tiri bisa dicantumkan? Namun, untuk akta kelahiran apakah bisa nama Jihan dicantumkan sebagai ibu tiri? Tapi, yang jadi masalahnya adalah, apa tidak apa-apa kalau Jihan dipalsukan sebagai ibu kandung."Apa tidak apa-apa Mas? Masalahnya itu bisa dianggap pemalsuan data," cemasnya."Memang, tapi Bella tidak punya ibu. Jadi tidak masalah, selama itu bukan pemaksaan," sahut Darren begitu santai.Masalah mengganti Jihan sebagai ibu kandung, nampaknya begitu mudah bagi Darren. Bukan masalah sama sekali. Jihan tertegun ketika tangan Darren terulur untuk men
Sore itu. Jihan dan Darren sedang berendam bersama di dalam bathub, namun tidak benar-benar hanya berendam saja. Tangan Darren membantu Jihan bergerak di atas. Sementara Jihan mencengkram erat pundak Darren.Bibir Darren tersenyum sinis dan berbisik, "kenapa? Tadi bilangnya mengajak mandi bersama. Tapi diajak begini malah mau."Jihan berusaha mengumpulkan fokusnya yang tercecer. "Mas juga yang katanya hanya bakal mandi bersama saja, kenapa malah mengajak?"Darren menyeringai dan mendekat hanya untuk menggigit bibir Jihan. Gigitan itu lumayan keras, jadi membuat Jihan sedikit meringis dan memukul Darren. Hingga Darren melepaskan gigitan dan berubah menjadi menyesap, tangan Darren juga semakin liar membantu Jihan bergerak. Membuat Jihan benar-benar tak bisa fokus lagi dan terburu menutup mulutnya yang ingin mengeluarkan suara.***Di meja makan, Bella sibuk menatap kedua orang tua yang nampak ceria, tidak seperti biasanya. Meski tidak tahu apa yang membuat Darren dan Jihan seperti itu,
"Menginap di hotel? Kenapa?" tanya Jihan tanpa menjauhkan kepala dari pundak suaminya."Karena hujan. Tidak mungkin kita balik ke rumah."Saat itu juga, Jihan langsung mengerutkan dahi. Apa hubungannya menginap di luar karena hujan? Bukankah mereka pergi dengan mobil? Tidak akan basah juga kalau mengemudi sampai rumah."Apa karena Bella yang sedang tidur? Makanya kita menginap di luar?" tanya Jihan.Darren sedikit meliriknya. "Bukan. Jalanan pasti licin kalau hujan sederas ini, terus pandangan juga terganggu. Jadi, lebih baik mencari penginapan terdekat.""Benar juga."Akhirnya, setelah melakukan reservasi secara online. Darren membawa Jihan dan Bella ke hotel terdekat, tentunya dengan mengemudi hati-hati. Hujan masih saja belum reda, namun ketika Jihan telah siap untuk membuka payung yang diberikan oleh Darren. Tiba-tiba saja hujan malah mulai berhenti.Hingga mata Jihan dan Darren saling bertatapan. Darren menatap sekitar yang benar-benar sudah tidak hujan. Kemudian Darren mengambil
Tengah malam, ketika Jihan tertidur sangat nyenyak. Darren nampak membuka mata dan turun dari ranjang hanya untuk menggeser sofa ke dekat kasur. Dengan perlahan, Darren memindahkan tubuh Bella untuk menjauh dari Jihan. Lantas, Darren merebahkan diri di sebelahnya. Bahkan, Darren dengan sengaja menarik Jihan ke dalam pelukan.Darren menoleh saat Bella menggeliat, tangan pun mengelus kepala sang putri. "Tidur Sayang."Jihan sedikit membuka matanya. Bibirnya langsung mengulas senyum ketika yang pertama kali dilihatnya adalah wajah Darren. Kemudian Jihan semakin masuk ke dalam pelukan Darren. Suaminya nampak sedikit kesulitan bernapas, namun Darren memilih untuk tidak menyingkirkan Jihan.Namun, ketika pagi tiba. Jihan melotot terkejut saat membuka mata, ia menemukan Darren berada tepat di depan matanya. Bahkan tangan Darren sedang memeluk tubuhnya. Jihan benar-benar tak menyangka kalau semalam itu bukanlah mimpi. Jihan memeluk Darren saat tidur."Bagaimana bisa aku tidur sambil memeluk D