Tringg!
'Teruntuk malaikat kecilku. Maaf karena kami berdua tidak bisa pulang nanti malam. Ayah ada penerbangan mendadak ke Busan bersama Ibu. Ini perjalanan bisnis yang penting, mungkin kami akan terlambat pulang selama 3 hari. Jangan lupa untuk makan malam yah, kami berdua mencintaimu.' ~Ervano My Sugar Dady.Sial!Aku mendesah, melempar benda pipih itu kesembarang arah lantas mengacak rambut kasar.Perjalanan bisnis apanya?Apa mereka pikir aku bodoh? Bilang saja jika itu bukan perjalanan bisnis, melainkan rencana bulan madu mendadak. Aish! Menyebalkan.Di saat emosiku hampir memuncak, kudengar pintu depan diketuk. Mau tak mau, aku segera berjalan ke arah ruang tamu. Lantas mengecek siapa yang berani bertamu malam-malam begini.Sebelum kubuka, terlebih dahulu kuintip sebentar dari balik korden. Antisipasi saja, jika yang bertamu bukanlah orang asing atau penjahat yang menyamar.Betapa terkejutnya aku saat mengintip dari balik korden. Apalagi saat melihat Jay yang berdiri di depan pintu dengan seragam sekolah basah kuyup. Surai hitamnya juga terlihat lepek serta ada luka lebam yang menghiasi wajah tampannya itu.Untuk sesaat aku terpaku, sampai kemudian manik segelap malam itu melihat diriku yang mematung di balik kaca."Buka!" bentak Jay dari luar.Tatapannya begitu tajam hingga bisa meremukkan tulang-tulangku. Bahkan senyum jahil miliknya yang biasa aku lihat, kini tak nampak diwajah itu. Yang ada hanya tatapan dingin serta menusuk.Cklek!"Buka pintu aja lama! Lo pikir gue nggak kedinginan apa?"Lo-gue?Entah mengapa, kata-kata itu terasa asing saat kudengar. Jujur, aku lebih nyaman saat Jay menggunakan kau-aku, untuk berbicara denganku. Sebab itu terkesan sedikit lebih sopan. Ya, meskipun lebih sering dia melontarkan kata-kata yang mengejek dari pada pujian, sih."Loh, muka Abang kenapa?" tanyaku khawatir, saat melihat luka-luka diwajahnya.Hampir saja tangan kananku reflek menyentuh luka lebam di bagian bawah mata kirinya. Namun, belum sempat jari-jemari tanganku sampai. Jay sudah menepisnya dulu dengan kasar."Mau apa lo?" tanya Jay sewot.Kentara sekali jika kakak tiriku itu tidak menyukai aku. Jay bahkan sempat mendecih sembari menatap diriku jijik. Hal itu terlihat saat dia memutar kedua bola matanya malas ke arah lain."Aku cuma mau mastiin luka lebam dimuka Abang aj-""Ck, emang lo siapa? Mendadak perhatian ke gue?" potong Jay."A-adek?" jawabku kemudian.Kulihat Jay menarik sudut bibirnya ke atas. Sebelum kemudian tertawa terbahak-bahak seperti orang setengah waras."Kocak, Ibu kandung gue aja tutup mata selama ini. Tapi, lo! Anak ingusan kemarin sore sok-sokan peduli?"Jay masih melayangkan senyuman mautnya, sampai di detik berikutnya pria jangkung itu mendorong tubuhku keras ke arah dinding mendadak."Sayangnya gue nggak peduli, minggir lo!"Bruks!"Aow! Abang bisa santai aja nggak, sih? Emangnya, Odyl ada salah apa, sampai harus Abang bentak-bentak terus di dorong kasar begini?" tanyaku akhirnya.Jujur, aku sudah menahan diri untuk tidak emosi saat berhadapan dengan Jay sore ini. Tapi, melihat pria itu yang minim tata krama membuatku naik pitam pada akhirnya."Cih, lo berani sama gue?" ucap Jay.Kulihat dia menghentikan langkah kakinya yang hampir menginjak anak tangga. Kemudian berbalik menghampiri diriku yang masih mengaduh di depan pintu sembari menatapnya sengit."Kenapa juga Odyl harus takut, emang Abang siapa?" kataku menantang.Jay kembali tersenyum. Berjalan semakin dekat, sampai-sampai hampir mengikis jarak di antara kami."Lo!" tunjuknya padaku tepat di depan mata."Udah tau pendek masih aja sok-sokan nantangin gue. Minum susu aja sono, cuci tangan, cuci kaki terus bobo, kelar kan?"Sumpah ya, Jay itu benar-benar makhluk paling menyebalkan di dunia. Hanya karena dia punya tubuh jangkung kayak tiang listrik, bukan berarti dia bisa ngebully dong."Abang!!!" pekikku kencang ketika Jay mencubit hidungku tiba-tiba.Sungguh, itu sakit sekali. Tapi, kakak tiriku malah tertawa terbahak-bahak kembali kemudian segera berlari menaiki anak tangga. Tentunya meninggalkan diriku yang masih mengaduh di bawah dengan menghentakkan kaki kesal di atas lantai."Makanya, klo punya hidung itu yang mancung. Biar gue nggak gemes pengin narik wkwkkkw ..." kata Jay keras seraya menjulurkan lidah menggodaku dari lantai atas.Aku yang mendengar ejekannya itu, hanya mendelik sembari mendecih pelan."Nyebelin!"©©©Sudah hampir dua jam lebih aku berbaring di atas kasur sembari menatap langit-langit kamar yang dihiasi dekorasi bintang-bintang dan segala jenis pernak-pernik astronomi.Sialnya, rasa kantuk tak kunjung datang juga.Mendesah berat, kembali kugoyangkan kakiku. Menendang-nendang udara secara brutal, melampiaskan kekesalan saat bertemu Jay tadi. Ah, jika mengingat muka Kakak tiriku yang songong itu, sungguh membuat darahku kembali mendidih.Memang Jay tidak lelah apa, menggodaku setiap waktu? Padahal, jika pria jangkung itu bersikap cuek dan masa bodoh, akan jauh lebih bagus dari pada sifat aslinya yang petakilan. Pasti, akan banyak sekali wanita yang mengantri hanya untuk mengetuk pintu hatinya. Jujur, membayangkannya saja membuatku geleng-geleng kepala. Karena, hal itu hanya ada dalam imajinasiku saja.Seorang Jay? Jangan harap dia akan berubah. Itu terlalu mustahil.Disaat pikiranku masih sibuk berkelana. Samar-samar aku mendengar suara seperti benda yang terjatuh begitu keras. Asalnya, akupun tidak tahu. Hanya saja, aku memiliki asumsi, jika suara itu berasal dari kamar Jay.Apalagi, pintu kamarnya tertutup rapat. Itu malah membuat kecurigaan seketika menguasai diriku. Sebenernya, hal apalagi yang sedang pria jangkung itu lakukan di dalam sana?Penasaran, aku pun segera berjalan mendekati pintu kamar Kakak tiriku. Mendekatkan kepala ke arah daun pintu, berniat menguping jikalau ada suara-suara aneh yang kembali kudengar.Hanya saja, belum ada semenit aku berdiri. Pintu kamar berwarna cokelat itu mendadak terbuka sendiri dan menunjukkan hal gila padaku."Jay!" jeritku kemudian.Di sana, tepatnya di dekat meja belajar bagian kiri sisi ranjang. Kulihat Jay sudah terkapar tak sadarkan diri di atas lantai. Wajahnya terlihat pucat, dan bibirnya yang biasanya berwarna cerah alami, kini tampak keabu-abuanTak hanya itu, ada luka sayatan di pergelangan kiri tangan kakak tiriku yang terus-menerus mengucurkan darah segar.Gila. Aku hanya bisa membatu di tempat dengan tangan gemetar. Bukan karena aku tak mau membantunya, hanya saja darah salah satu kelemahanku.Sungguh, aku benci mengakui salah satu ketakutanku itu. Tapi, jika aku terus berdiri seperti orang bodoh begini. Nyawa Jay bisa saja keburu melayang.Dengan rasa takut dan gemetar, kudekati tubuh Jay yang terkapar itu. Meletakkan bagian kepalanya ke atas paha, kemudian menepuknya pelan. Aku bahkan tak peduli dengan t-shirt putihku yang kini berlumuran darah. Karena sekarang, hanya Jay yang aku pikirkan."Bangun! Kenapa Abang nekad banget, sih?" kataku sambil terisak malam itu.Masih dengan air mata yang mengalir, aku menangisi Jay yang masih terkulai lemas di atas pangkuan. Menggoyangkan bahunya berulangkali, berharap jika ini hanya leluconnya belaka.Hanya saja, aku tak mendapat respon apapun juga. Apalagi saat kuberanikan diri untuk mendekatkan kepala ke arah dada bidang Jay. Aku dibuat semakin kalut sekali lagi. Tak ada detak apapun yang kudengar, bahkan denyut nadinya seakan-akan pudar beberapa detik yang lalu. Apa benar, Jay sudah tiada?Kepalaku tanpa sadar menggeleng keras. Menentang semua pemikiran negatif yang seketika memenuhi isi kepala.'Odyl bodoh!' batinku menjerit.'Hentikan tangisanmu dan segeralah meminta pertolongan, setidaknya kau masih berusaha untuk menyelamatkan nyawa si Jay iblis ini.' Ya, mungkin kata hatiku ada benarnya. Jika aku hanya duduk di sini sambil menangis seperti orang bodoh. Aku hanya akan mengulur waktu, bisa jadi juga aku malah semakin membahayakan nyawa Jay. Hanya saja, saat tubuhku hampir beranjak untuk segera mera
"Lo baik-baik aja, Ka?" tanyaku seraya berjongkok didepan cowok cupu bernama Juni itu. Entah mengapa, melihatnya yang diperlakukan seperti ini membuatku teringat dengan masa-masa kelam yang pernah kualami dulu sewaktu duduk di sekolah menengah tingkat pertama. Dan jujur saja, itu membuatku sedikit iba padanya. Hanya saja, saat tanganku terulur tulus untuk membantunya bangkit. Juni langsung menepisnya kasar hingga membuat tubuhku yang tak sigap, langsung jatuh terduduk di atas lantai koridor yang dingin."Nggak usah sok, deh. Toh, gue nggak butuh bantuan lo!" balasnya dingin, seraya bangkit berdiri. Sebelum akhirnya berjalan pergi, meninggalkan diriku yang masih menatap sosoknya itu dengan pemikiran penuh dikepala."Ada yah, orang macam gitu? Udah ditolong tapi nggak tau terima kasih." Setelah hampir dua jam menunggu diluar kelas. Akhirnya bel pulang sekolah pun berbunyi. Aku yang sudah buru-buru ingin sampai rumah. Segera berlari masuk, tanpa mengindahkan tatapan mata dari Bu Jasmin
"Apa kau secemas itu padaku?" Aku tertegun dengan mata membulat sempurna saat mendengar itu. Apalagi saat melihat sosok Jay yang sudah terduduk tegak dengan senyuman tipis yang tersungging dibibirnya saat menatapku tidak seperti biasanya. Sungguh itu terlihat begitu aneh sekali.Tapi, sentuhan lembut dari ibu jarinya yang masih menempel di atas permukaan pipiku. Membuatku seketika mengundurkan wajah, sampai membuat cowok itu terbahak di atas ranjang rumah sakit. "Kenapa ekspresi wajahmu kaget begitu? Kau tidak menganggap aku ini hantu 'kan, Adik?" tanyanya dengan senyumannya yang sangat menyebalkan. Membuatku mendengus sesaat seraya memutar bola mataku malas kebelakang. Dasar, iblis berparas malaikat! batinku sebal. "Bagus deh, kalau udah bangun. Odyl jadi bisa pulang ke rumah terus bobo cantik," balasku tanpa mengindahkan ucapannya barusan. Tampak dari ekor mataku, raut wajah Jay yang semula tersenyum berubah dingin. Selain itu, pandangannya selalu saja mengamati gerak-gerik tu
"Sejak kapan, lo deket sama Devan?" tanya Jay tiba-tiba, saat kami baru saja sampai di ruang tamu.Aku yang mendengar kata lo-gue lagi, Jay pakai. Buru-buru menolehkan kepala untuk menghadap ke arahnya dan memastikan."Abang bilang apa barusan, Lo-gue?" tanyaku balik yang tak cowok menyebalkan itu gubris. Terlihat jelas dari reaksinya yang hanya cuek saja, seolah-olah pertanyaanku barusan hanya angin lalu. Selain itu, alih-alih menjawabnya. Jay malah pergi begitu saja menaiki anak tangga, untuk pergi ke dalam kamarnya. Aku yang melihat tingkahnya berubah lagi menyebalkan begitu, hanya bisa geleng-geleng kepala. "Dasar labil!" seruku lirih, sengaja supaya tak Jay dengar. Tapi, entah bagaimana. Tiba-tiba langkah kaki Jay terhenti di anak tangga kelima, seperti saat pertama kali kami bertemu waktu itu. Lalu, sepersekian detik setelahnya. Kepala milik Jay menoleh sedikit ke arahku dengan senyuman tipis yang tak bisa kuartikan jelas itu apa.Malamnya, Ayah dan Roselin yang beberapa ha
"Udah Bu, udah. Biar Odyl aja yang pergi buat nenangin Bang Jay." "Kamu yakin? Dyl, Jay itu ..." Tampak Roselin menatapku lekat serta kurang percaya diri. Dia juga memegangi kedua bahuku ragu. Hanya saja ucapannya langsung tergantung, saat aku menyelanya dengan cepat."Percaya sama Odyl, oke. Toh, Odyl yakin kalau Bang Jay itu bukan orang yang jahat. Selain itu, dia juga Abang Odyl. Jadi, Odyl bakal berusaha buat nenangin Bang Jay dengan cara apapun," jelasku meyakinkan Roselin dan ayah. Untuk sesaat keduanya terlihat saling menatap satu sama lain, sebelum akhirnya menganggukkan kepala mereka kompak, menyetujui usulanku barusan."Oke, semoga berhasil yah." Tak berselang lama setelah itu, akupun membalikkan badan. Kemudian bergegas menaiki anak tangga untuk menuju kamar Jay di lantai 2.Sesampainya di depan pintu kamar milik kakak Tiriku. Aku sempat merasa resah. Seperti ada keraguan yang membuatku ingin mengurungkan niat hanya untuk mengetuk pintu berwarna biru itu. Apalagi mengin
"Sesuatu? Sesuatu seperti apa?" Aku bertanya spontan, tanpa tahu konsekuensi apa yang akan aku dapatkan pada beberapa menit berikutnya.Jay sendiri yang mendengar ucapanku barusan menyunggingkan sebuah seringaian mematikan. Yang dengan cekatan mendekatkan wajahnya ke arah mukaku hingga membuat tubuhku refleks mundur dan jatuh ke atas ranjang empuk miliknya."Bhaks!" Dia terkekeh ringan, dengan tangan kiri yang menutupi seluruh permukaan wajahnya. Lantas dari sela-sela jari tangannya, aku melihat iris matanya yang gelap menatapku kelaparan pada waktu yang sama."Padahal kalau kau bilang ingin tahu, aku tidak akan sungkan loh," lanjutnya yang membuatku tak bisa untuk mengernyitkan sebelah alisku, kebingungan. "Mak-maksud Abang apa?" tanyaku pada akhirnya. Sungguh aku benar-benar tidak tahu apa maksud dari perkataannya itu. Tapi sentuhan tangan Jay yang tiba-tiba menyentuh permukaan kulit leherku dengan perlahan. Kemudian menjalar kebelakang bahu, lalu dengan tiba-tiba menarikku untu
Semenjak kejadian semalam, aku belum juga berani bertemu atau sekadar bersitatap dengan Jay. Meskipun dia hanya mengecup ujung bibirku yang sudah dilapisi dengan ibu jarinya sebagai jarak, lebih dulu. Namun, tetap saja. Rasanya begitu nyata hingga sampai detik ini, ujung bibirku masih merasakannya. Bagaimana dingin serta lembutnya bibir milik kakak tiriku itu yang menempel dengan cepat, kemudian meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus dalam ingatan.Sial! Bahkan saat aku menatap diri sendiri didepan cermin. Aku masih teringat seringaian nakal milik Jay, setelah dia berhasil menggodaku semalam. Yang bodohnya langsung kutinggal pergi dengan berlari seperti orang kesetanan, masuk ke dalam kamar milikku sendiri. "Harusnya kau tampar atau tonjok saja pipinya. Kenapa malah lari sih, Odyl!" monologku, mengutuk kebodohan diri sendiri di depan cermin."Odylia, kenapa masih belum turun buat sarapan? Nanti kamu bisa telat loh, Sayang!" teriak Roselin seraya mengetuk-ngetuk pintu kamarku dari
"Bisa nggak, lo jauhin milik gue?" kata Jay dingin, sembari menekankan kata 'milik gue' secara gamblang di hadapanku serta Devan yang langsung menatap cowok itu tak percaya. "Milik gue?" ulangku, tak kalah terkejutnya. Yang membuat sosok kakak tiriku itu langsung memalingkan wajahnya yang semula melihat ke arah Devan, menjadi terpusat padaku seorang. Namun alih-alih menjawab pertanyaanku barusan. Jay justru dengan tiba-tiba menarik bahu kananku, sampai membuat tubuh kami yang tadinya berjarak menjadi sangat dekat. Saking dekatnya, kepalaku berada di depan dadanya yang terbalut seragam putih abu-abu itu."Tunggu!" sergah Devan, seraya bangkit dari posisi jatuhnya tadi.Kulihat cowok berandal itu, berjalan ke arah kami. Kemudian memisahkan aku serta Jay dalam sekali tarikan."Maksud lo apaan, datang-datang terus ngeklaim si imut milik lo, huh?" tanyanya kesal. Yang entah sejak kapan, berdiri dihadapan tubuhku, untuk menghalau Jay. Jujur, melihatnya membuatku teringat dengan kejadian