Terkadang aku heran, saat mendapati sikap Jay yang begitu lembut serta perhatian padaku. Meskipun tidaklah sering, namun tetap saja. Hal itu bisa membuat hatiku menghangat. Selain itu, jantungku juga kerap berdesir aneh tatkala manik mata kami tidak sengaja bertemu tatap. Belum lagi, gejolak layaknya kupu-kupu berterbangan didalam perut, saat wajah tampannya itu berada tepat didepan wajahku. Sekaligus rona merah hebat diatas permukaan pipi, dan sikap salah tingkah saat berada didekatnya. Hm, sebenarnya aku ini kenapa, sih? "Gimana, enak?" tanya Jay kembali, setelah aku mengambil salah satu camilan mini itu kedalam mulut.Mengunyahnya perlahan, seraya mengangguk-angguk sebagai jawaban atas pertanyaannya itu."Kalau gitu, besok gue beli lagi buat lo." "Huh?" Mataku mengerjap, merespon alami saat mendengar ucapan dari mulut kakak tiriku itu, yang tidak seperti biasanya. "Abang bilang apa barusan?" tanyaku memastikan. Kulihat Jay justru tersenyum. Lagi-lagi tampak tak seperti dirin
"I love you, Odyl." Siapa? Cowok yang tiba-tiba membisikkan kata-kata seperti itu ditengah bisingnya sekitar. Cowok yang dengan lugunya mengambil kesempatan dalam kesempitan, dan bersembunyi didalam gelap malam.Jujur, aku masih memikirkannya sampai detik ini. Kejadian semalam yang kuanggap layaknya sebuah mimpi manis. Tiba-tiba membuat pagiku yang biasanya cerah tanpa beban. Berubah sedikit mendung dengan berbagai macam pemikiran.Jelas, aku masih memikirkannya. Bahkan saat, guru sedang menerangkan beberapa penjelasan tentang games yang akan dilakukan pada pukul 09.00 nanti. Pikiranku seolah-olah tak berada di tempat ini.Walaupun begitu, aku masih saja bersikap seolah-olah aku mendengarkan semua penjelasan beliau dengan baik, dari awal sampai akhir. Sekitar sepuluh menit setelah pengumuman tadi, kami dikumpulkan kembali ditengah lapangan tempat api unggun semalam. Untuk dibagi menjadi beberapa regu yang berisikan dua sampai tiga orang anggota. Kudengar sih, akan ada acara jelaja
Aku terbangun saat merasakan rintik hujan membasahi permukaan pipi. Juga karena bunyi gemuruh petir yang cukup memekakkan gendang telinga. Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri, namun saat aku mencoba melihat sekeliling. Rupanya aku masih berada ditempat yang sama, dimana aku jatuh dan mulai kehilangan kesadaran diri. Hal pertama yang memaksa semua panca inderaku bekerja bukan hanya dari sentuhan tetesan hujan. Melainkan karena rasa sakit yang masih sangat terasa diarea kaki, hingga menggeser posisi pun begitu sulit bagiku. Meringis pelan, aku mencoba sebisa mungkin untuk mengatur posisi tidurku menjadi setengah duduk. Dengan cara menyeret tubuh ini ke arah akar pohon yang mencuat keluar, sebagai tempat untuk menyandarkan punggung. Kulihat langit makin menggelap, selain karena tertutup mendung. Sepertinya malam hampir tiba. Hal yang tiba-tiba mengingatkanku dengan keadaan sebelumnya. Jika benar ini hampir petang, itu berarti aku sudah seharian tak sadarkan diri di sini. S
"Katakan padaku, siapa yang melakukan ini padamu?" Pertanyaan singkatnya itu, seketika membuat tangisanku pecah. Aku tidak tahu, kenapa bila bersama dengan Jay. Aku menjadi sosok yang begitu lemah dan manja. Seolah-olah aku sedang menunjukkan jati diriku padanya, jika yah, ini aku, seorang gadis tujuh belas tahun yang benar-benar butuh kasih sayang. Bukan seperti Odyl yang kebanyakan orang kenal, jika aku ini anak yang ceria dan suka ikut campur dalam urusan orang lain. Terlebih lagi, dalam urusan menegakkan keadilan. Seolah-olah, Jay itu sesuatu. Yang mampu membuatku menunjukkan sikap asliku. Yakni, salah satu sikap yang memang tak pernah aku tunjukkan pada siapapun, bahkan ayahku sendiri.Kulihat dia masih menatap wajahku lekat, tanpa sekalipun ingin mengalihkan perhatiannya itu barang sedetik pun dariku. Kedua tangannya juga terulur, yang dengan cepat menangkup wajahku supaya tetap menatap lurus ke arah kelereng hitamnya itu, yang jika semakin kuselami dalam-dalam, aku tak tahu
Aku terduduk di atas kasur dengan pandangan mata kosong menatap ke arah luar jendela. Yang tanpa sadar mengulang kembali memori dimana aku hampir mati malam itu. Mungkin ini sudah tiga hari semenjak acara camping keakraban tempo hari. Yang membuat Ayah dan Roselin, langsung melarangku untuk tidak pernah ikut lagi dalam acara sekolah apapun itu. Terlebih jika ada kegiatan di luar ruangan. Mereka berdua menjadi overprotektif dalam sekejap. Apalagi saat melihat kondisi kakiku yang bengkak dan baru terlihat sembuh beberapa hari kemudian. Ayah dan Roselin, entah mengapa menjadi lebih ketat.Lalu soal Jay? Aku belum melihat batang hidungnya semenjak kejadian dia menggendong tubuhku untuk keluar dari hutan, sampai detik ini. Fyi, apa jangan-jangan dia merasa bersalah karena gagal menjaga aku? Sampai diberi hukuman oleh Ayah dan Roselin juga? Namun, jika melihat karakternya yang suka melawan, harusnya sih, Jay masa bodo.Ah, sial! Aku jadi merasa khawatir. "Odyl!" Kulihat pintu kamarku d
Aku masih mengetuk pintu kamar kakak tiriku ini dengan kerasnya. Berharap jika pria tampan berparas malaikat itu segera membukanya dari dalam sana.Namun, lagi dan lagi. Usaha yang aku lakukan tak mendapatkan apapun. Malah Roselin tiba-tiba menarik pergelangan tanganku dengan kencangnya, hingga membuat tubuhku seketika berputar, menjadi menghadap ke arahnya yang kini menatap wajahku marah."Odyl!" bentaknya keras, yang membuatku detik itu juga tersentak saking kagetnya.Sebab, ini kali pertama aku melihat Roselin menatap mataku begitu penuh emosi. Hingga rasanya aku tak sanggup membalas tatapan matanya yang tajam itu."Kenapa kamu susah sekali diatur, sih? Dan satu lagi, berhenti bertanya soal Jay. Karena dia sudah tidak tinggal lagi di rumah ini!" Tidak ada kebohongan dibalik kata yang Roselin ucapkan padaku. Justru, aku makin merasa jika ibu tiriku ini benar-benar sangat marah sekali, serta tak peduli. Tapi, kenapa?Memang apa yang sudah Jay perbuat, selama aku tak sadarkan diri se
"Sah!" "Semoga Tuhan memberkati kalian berdua." "Selamat ya!" "Selamat menempuh hidup baru."Itu adalah sorak-sorai yang memenuhi gendang telingaku. Entahlah, tapi aku merasa tidak bahagia melihat pria setengah baya si pemilik senyum gula itu menikah.Tentu saja, bukan karena aku cemburu. Melainkan, aku takut Ayah akan semakin menjauh dariku.Ya, pria itu. Yang kini tengah tersenyum manis dan dikerumuni para tamu undangan adalah Ayahku, Ervano Adeswara. Lalu, untuk wanita dewasa berambut sebahu yang kini berstatus Ibu tiriku adalah, Roselinus Devara. Sejujurnya, mereka berdua tampak serasi. Apalagi dibalut dalam pakaian berwarna putih yang dihiasi manik-manik itu. Sungguh, keduanya ibarat ratu dan raja hari ini.Hanya saja, aku seperti tidak memiliki ruang di tempat ini. Memang benar, Ayahku yang menikah sekarang. Harusnya aku lebih bahagia atau bisa berdiri di dekatnya hanya untuk mengambil take foto dalam album pernikahan nanti.Tapi ...Aku merasa seperti ada beribu sekat yang
Aku tidak pernah menduga jika hal yang paling aku benci akhirnya terjadi juga. Hari ini, pada tanggal 16 Desember 2021 Ayah tiba-tiba menyuruhku untuk segera mengemasi barang. Entah, kenapa dia melakukan hal mendadak itu tanpa memberitahu atau meminta pendapatku dulu. Yang pasti, alasan utamanya adalah agar aku tak membantah ucapannya.Dengan rasa dongkol yang amat sangat. Kujejalkan asal semua pakaianku ke dalam koper berwarna abu itu. Tak lupa, aku juga mengambil beberapa barang yang aku perlu, sekaligus buku diary bergambar Winnie de Poo milikku. Tin ...Tin ...Tin ...Sial!Ingin sekali aku mengumpat sekaligus menyumpah serapahi kelakson mobil di depan pintu. Tidak bisakah dua insan yang tengah berbahagia itu menghargai privasiku. Aku bahkan belum menemukan foto Ibu.Tapi, mereka berdua dengan pikiran dan ego yang sedang diselimuti kabut cinta, seolah-olah mendorong diriku jatuh ke dalam jurang kehidupan. Damn it! Apalagi, suara teriakan dari Ayah yang menyuruhku segera berge