Share

Dicintai Kakak Tiri Posesif
Dicintai Kakak Tiri Posesif
Penulis: Leo Nil

Ancaman?

"Sah!"

"Semoga Tuhan memberkati kalian berdua."

"Selamat ya!"

"Selamat menempuh hidup baru."

Itu adalah sorak-sorai yang memenuhi gendang telingaku. Entahlah, tapi aku merasa tidak bahagia melihat pria setengah baya si pemilik senyum gula itu menikah.

Tentu saja, bukan karena aku cemburu. Melainkan, aku takut Ayah akan semakin menjauh dariku.

Ya, pria itu. Yang kini tengah tersenyum manis dan dikerumuni para tamu undangan adalah Ayahku, Ervano Adeswara. Lalu, untuk wanita dewasa berambut sebahu yang kini berstatus Ibu tiriku adalah, Roselinus Devara.

Sejujurnya, mereka berdua tampak serasi. Apalagi dibalut dalam pakaian berwarna putih yang dihiasi manik-manik itu. Sungguh, keduanya ibarat ratu dan raja hari ini.

Hanya saja, aku seperti tidak memiliki ruang di tempat ini. Memang benar, Ayahku yang menikah sekarang. Harusnya aku lebih bahagia atau bisa berdiri di dekatnya hanya untuk mengambil take foto dalam album pernikahan nanti.

Tapi ...

Aku merasa seperti ada beribu sekat yang tak terlihat, membuat jarak diantara kami.

Padahal, jika dipikir-pikir. Aku tak terlalu jauh mengambil tempat berdiri. Tentunya, aku memilih mengasingkan diri di dekat meja kue agar sewaktu-waktu bisa mencomotnya satu jika mood-ku mendadak hancur.

Akan tetapi, kue cokelat bertabur meses itu tak menarik selera makanku hari ini. Aku hanya menatapnya jengah sambil sesekali menghela napas berat. Tentunya, menatap kearah dua insan yang tengah dipenuhi kebahagiaan itu di atas altar.

Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Mana berani, aku yang hanya anak ini menolak mentah-mentah perintah Ayah. Apalagi, itu menyangkut masa depan keluarga kami.

Walaupun sebenarnya, hati kecilku menentang pernikahan mereka. Namun, aku memilih untuk bergeming ditempat. Menyembunyikan rasa sakit tiap kali mengingat kenangan bersama Ibu dan memilih menahan isak tangis diam-diam dibalik pintu.

Ya, aku mengorbankan egoku untuk kebahagiaan Ayah.

Lihatlah senyum itu, bahkan diusiaku yang hampir menginjak tujuh belas tahun ini, aku baru melihat senyum lebar sekaligus tawa lepas Ayah lagi.

Bukan karena Ayah tak pernah tersenyum padaku. Hanya saja, raut lesunya lah yang sering aku lihat saat mengintip dirinya dari lubang pintu saat pulang.

Bisa dibilang hubungan kami tidak terlalu baik. Terlebih setelah Ibu meninggal saat diriku baru berumur sembilan tahun.

Ayah jadi semakin menjauh. Dirinya lebih memilih menyibukkan diri dengan bertemu banyak pengusaha baru atau mengerjakan berkas-berkas yang menumpuk di atas meja sampai larut. Tentunya, melupakan ribuan detik bersamaku waktu itu.

Untungnya, kali ini aku bisa melihat keceriaan memancar dari manik matanya. Apalagi, saat manik cokelat terang itu bersibobrok dengan iris mata gelap Roselin. Aku semakin sadar, jika Ayah begitu mencintai wanita berambut sebahu yang kini berdiri di sebelahnya melebihi Ibu.

Ya, setidaknya Ayah sudah punya kebahagiaan baru. Mau tidak mau aku harus ikut andil dalam hal ini.

"Odyl, apa yang kau lakukan di sana? Kemari, Nak!"

Tunggu!

Apa aku tidak salah dengar? Ayah baru saja memanggil namaku dan menyuruhku ke sana?

Hampir saja, aku yang sibuk membatu seperti orang bodoh di tempat kehilangan kata-kata. Namun, sepersekian detik setelahnya, kesadaranku kembali mengambil alih tubuh ini.

Dengan cepat, aku menganggukkan kepalaku lantas berlari menghambur kedekapan pria tua itu. Entah kapan, terakhir kali aku merasakan dekapan cinta pertamaku ini. Yang pasti, itu sudah sangat lama sekali.

Awalnya, kukira Roselin adalah wanita yang pecemburu dan posesif. Namun, saat aku memalingkan wajah ke arahnya, dia juga membuka lebar tangannya padaku.

"Apa kau tak mau memelukku juga, Odyl?" tawarnya dengan suara yang begitu lembut.

Itu mengingatkanku pada suara Ibu. Mereka berdua punya jenis suara yang hampir mirip, yakni sedikit serak lembut dengan intonasi yang jelas. Pantas saja, Ayah menyukai wanita ini.

Apa karena warna suara mereka yang hampir sama?

Entahlah, akupun tidak tahu. Yang pasti aku punya harapan besar pada sosok Roselin yang kini berstatus sebagai Ibu baruku. Kuharap, dia bukanlah orang berwajah dua yang suka sekali menyiksa anak-anak dan hanya mengincar harta milik Ayah.

Tanpa buang waktu, akupun mendekat ke arah Roselin. Memeluk tubuh ramping Ibu baruku itu, sembari membisikkan kata selamat atas pernikahan mereka.

Roselin yang mendengarnya tertawa kecil. Mengusap puncak rambutku sayang sambil memuji-muji parasku yang tampak lucu.

Dia bilang, aku begitu menggemaskan sekaligus cantik diwaktu yang sama. Suaraku indah dan mampu memikat siapapun yang mendengarnya. Satu lagi, kata-kata darinya yang begitu terngiang-ngiang ditelingaku sampai detik ini.

"Dia pasti akan senang bertemu denganmu. Semoga kalian bisa berhubungan baik, ya!"

Siapa?

Siapa yang Roselin maksud?

Di saat, rasa penasaranku membeludak sampai ke ubun-ubun. Ingin segera meminta penjelasan dari Roselin. Wanita itu sudah diseret Ayah kembali ke arah tamu undangan.

Yang tentunya, sudah bisa kupastikan jika para tamu di kursi VIP itu adalah rekan bisnis keduanya.

Huft, jadilah aku memilih meninggalkan ruang pesta. Berjalan ke arah balkon hotel yang terbuka di lantai tiga. Kemudian menikmati pemandangan kota Jakarta.

Dari atas sini, aku bisa melihat jalanan kota Jakarta yang selalu sibuk tiap harinya berhiaskan lampu jalan. Kelap-kelip lampu yang berpadu dengan rona jingga dari ufuk barat membuat senyumku tanpa sadar terkembang.

Tentunya, sebelum diriku melihat sosok itu. Seorang pemuda yang berpakaian hitam dari atas rambut sampai ujung kaki, membuatku sedikit bergidik ngeri.

Hampir saja, aku berteriak melihat kehadirannya yang tiba-tiba itu di atas balkon. Namun, saat mata setajam elang itu menyadari kehadiran diriku. Detik itu juga aku langsung memalingkan wajah ke arah lain. Berharap, jika pria mencurigakan itu mengabaikan diriku dan segera beranjak dari tempatnya berdiri.

Untuk beberapa saat, aku masih memalingkan wajah ke arah lain. Sedikit mendengar suara gerutuan samar dari bibirnya sekaligus decihan yang dilayangkan entah untuk siapa.

Sampai di detik berikutnya, aku tak mendengar suara pria itu lagi. Bahkan yang membuatku heran, aku tak mendengar derap langkah dari sepatu sneakers hitamnya saat berjalan pergi. Pria mencurigakan itu, seolah lenyap di telan kebisingan kota Jakarta begitu saja.

Akan tetapi, aku menemukan setetes noda darah di dekat gorden balkon sekaligus sayatan di permukaan tembok hotel yang bertuliskan, 'You died, Ervano!'

Detik itu juga mataku melotot. Bukan tanpa alasan, tapi yang tertulis jelas di sana adalah nama Ayahku.

Apa iya, pria mencurigakan tadi punya dendam tertentu pada Ayah? Atau, dia salah satu dari beribu pihak yang ingin menjatuhkan Ayah?

Sesaat aku menggelengkan kepala. Menolehkan wajah ke arah Ayah yang masih tersenyum bahagia bersama Roselin di dalam sana.

Kuharap, aku bisa melihat binar bahagia itu selamanya. Dan jika, Roselin ikut andil dalam urusan menjatuhkan Ayah. Aku tidak akan tinggal diam saja.

Ya, aku harus mengawasi wanita itu lebih teliti lagi, meskipun dia terlihat begitu baik sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status