Share

Siluet Dibalik Kilat

Jederrr ...

Dep!

"Oh, shit!"

Aku hanya bisa mengembuskan napas kasar sembari mengumpati lampu kamar yang tiba-tiba padam.

Sungguh, aku amat membenci situasi seperti ini. Apalagi hujan deras di luar seolah-olah menggedor-gedor atap kamarku dari atas. Seperti bisa merobohkan rumahku kapan saja.

Sayangnya, aku tidak bisa berbuat apapun selain menarik selimut lebih rapat sampai menutupi seluruh tubuh. Jujur, aku takut. Terlebih suara petir yang saling bersahutan memecah malam membuat bulu kudukku semakin meremang saja.

Bodohnya, aku hanya bisa memejamkan mata rapat-rapat, sembari melantunkan lagu twinkle-twinkle little star mengingat apa yang sering ibu lakukan padaku dulu jika susah sekali terpejam.

Lebih dari satu menit, aku berhasil menjaga konsentrasiku dalam menyanyikan lagu itu. Sesekali mengatur napas agar tenang, juga berusaha mengabaikan suara dari hujan yang entah mengapa semakin memekakkan telinga.

Hanya saja, di detik berikutnya. Suara petir yang begitu besar membuatku mati kutu. Kontan, aku berteriak sekencang mungkin memanggil Ibu yang bahkan tak bisa lagi kulihat wujudnya.

Jederrr!

"Ibuuu!" jeritku.

Tapi tak ada siapapun yang mendengarnya. Jeritan yang kukira sudah keras seketika lenyap teredam bunyi hujan yang semakin menggila di luar.

Aku menangis. Beringsut ke arah kepala ranjang seraya memeluk lututku sendiri. Entahlah, aku juga tidak tahu mengapa aku begitu takut sekali pada hujan dan gelap. Yang pasti, aku begitu kacau sekarang.

Di saat aku butuh sosok Ayah di sini. Aku lupa jika pria tua itu pasti sedang sibuk bermain kuda-kudaan dengan Ibu tiriku.

Jika sudah begini, aku harus meminta tolong pada siapa?

Tak mungkinkan, aku dengan polosnya masuk ke dalam kamar orang tuaku seperti anak kecil yang sedang merajuk meminta susu untuk kembali tidur?

Aku cukup tahu diri dan mengerti etika. Terlebih mereka berdua masih pengantin baru, sudah bisa dipastikan akan selalu menempel bak perangko kemanapun itu.

Ya, mungkin aku hanya bisa berpasrah. Berharap sedikit, supaya Tuhan cepat memejamkan mata ini agar kembali merajut mimpi di alam bawah sadar.

Sialnya, insomiaku tiba-tiba kambuh. Jadilah aku hanya diam terpaku melihat langit-langit kamar sambil menggigit punggung tanganku sendiri agar tak ada yang mendengar isakan ini.

Saat netra cokelatku menjelajahi tiap penjuru kamar. Samar-samar aku melihat sebuah siluet yang terpantul saat ada kilatan cahaya sebelum petir besar muncul.

Bayangan hitam itu tampak berdiri di dekat knop pintu yang terbuka sedikit. Jujur aku tidak tahu siluet siapa? Namun, sebuah suara yang begitu dingin dan terdengar mengintimidasi seketika memasuki indera pendengaranku.

"Dasar cengeng! Lagian ini cuma matlis bukannya kiamat!"

Deg!

Detik itu juga aku berhenti terisak. Melirik sinis ke arah pintu kamar dimana sudah ada makhluk menyebalkan itu di sana.

Ya, tepat di ambang pintu kamar Jay berdiri. Sedikit menyenderkan punggungnya ke arah kusen, sembari bersedekap menatap diriku dengan tatapan meremehkan.

Lihat saja, dia bahkan menampilkan sebuah senyum tengil yang ingin kulempari boneka Bear yang sedang kupeluk saat ini juga.

"Aku tahu aku ini tampan, Adik. Tapi, jangan terlalu lama menatapku begitu, aku takut kau akan luluh dan menyerahkan dirimu malam ini padaku."

Uhukkk!

Apa katanya tadi?

Menyerahkan diri? Enak saja! Dia pikir aku ini wanita murahan apa?

Hampir saja aku menyumpah serapahi Jay dengan beribu makian. Tapi, melihat dirinya yang semakin tersenyum lebar membuat diriku mengurungkan niat.

Itu karena, manusia modelan Jay malah akan tambah semakin menjadi-jadi bila aku respon lebih. Sebaliknya, jika aku bersikap tak acuh dia akan pergi karena bosan pada akhirnya.

Aku masih menatap Jay yang rupanya menatap balik diriku juga. Terlihat senyum setan terpatri dibibir miliknya.

Sial!

Kenapa aku jadi salah fokus begini?

Jujur melihat Jay dalam gelap serta berpenampilan begitu membuatku susah sekali menelan saliva. Rasanya aku ingin mengumpati diri ini saat hatiku terus-menerus meneriaki ketampanan si makhluk Tuhan tak tahu diri itu.

Sungguh!

Malam ini Jay tampan sekali. Apalagi, rambut basahnya sehabis keramas yang sengaja ia sugar kebelakang. Membuat diriku semakin berteriak histeris di dalam hati. Terlebih, pose bersedekapnya itu yang tanpa sadar membuat ujung kaosnya tersikap. Mata suciku jadi melihat otot-otot perutnya, meski hanya sebagian saja.

Ugh! Menyebalkan.

Tanpa sadar aku menepuk kedua pipiku sendiri. Menggeleng pelan, berharap semua ini hanyalah mimpi.

Namun, suara derap langkah kaki milik Jay yang semakin mendekati ranjang membuatku susah sekali bernapas. Aku dibuat semakin gusar. Dan sepersekian detik setelah itu. Kurasakan bagian kiri sisi kasurku sedikit bergelombang. Pertanda jika ada yang duduk di sana tanpa permisi.

"Adik ..."

Suara itu menyeruak memenuhi telingaku. Tak hanya sampai disitu, aroma semanis permen karet ikut-ikutan menguar di dekat permukaan wajahku.

Bodohnya, aku malah mati kutu. Terdiam beberapa saat, dengan mata yang terpejam erat menunggu Jay melakukan sesuatu entah apa itu.

Bukannya aku tak mau melawan atau kehilangan berani. Hanya saja, pesona Jay sekaligus aura intimidasinya itu begitu kuat. Jadi, aku lebih memilih diam. Sembari, mengamati gerak-geriknya itu pelan-pelan dari balik selimut.

"Lampunya sudah menyala," ucapnya kembali yang langsung membuatku membuka mata.

Benar. Listriknya memang sudah kembali menyala. Hanya saja, aku tidak suka dengan tampang Jay yang tengah tersenyum meledekku begitu.

Dia bahkan tanpa tahu malu, menyenderkan kepalanya ke arah kepala ranjang dengan satu tangan sebagai tumpuan. Seolah-olah, jika kasur dan bantal itu adalah miliknya.

"Apa?" ucap kami kompak.

Sudut bibir Jay semakin meninggi membuat seutas senyum yang begitu menawan. Tentunya, bila dilihat dengan mata gadis normal. Karena bagiku, senyum itu adalah tipuan.

"Kupikir kau itu membosankan, tapi ..."

Jay mengentikan ucapannya kembali. Mendekatkan wajahnya padaku, membuatku lagi-lagi kehilangan konsentrasi.

Hampir saja, aku mengira jika Jay akan mencium bibirku di saat seperti ini. Nyatanya, kakak tiriku itu hanya mengambil buku novel yang tergeletak tepat di belakang bantal.

"Cih, genre romance! Bukankah akan lebih baik jika kau membaca buku bergenre scifi? Atau yang sedikit berbau gore?"

Jay melirik sekilas saat berbicara. Tentu, itu membuatku yang ingin mengumpat, lagi-lagi terbungkam dengan parasnya. Apalagi jarak kami yang hanya beberapa centi karena Jay belum juga beranjak dari dekat tubuhku.

Rasa-rasanya, oksigen ditempat ini seperti menguap entah kemana.

"Terserahku dong! Lagi pula aku yang membaca, bukan kau!" bantahku pada akhirnya, tentunya dengan menarik paksa novel berjudul 'My Jerk Step-Brother' dari tangan Jay.

"Ya, ya itu terserah dirimu!" balasnya cuek.

Dia langsung beranjak dari posisinya, kemudian berjalan ke arah pintu kamar tanpa menolehkan wajahnya sama sekali.

Aku bahkan, tak bisa melihat raut wajahnya untuk terakhir kali. Karena, setelah Jay pergi, kulihat pintu kamar ia tutup dengan tidak manusiawi.

Brak!

Saking kerasnya, foto Ibu yang sengaja kugantung di belakang pintu, terjatuh dan pecah.

"Jay, kau benar-benar menyebalkan!" teriakku dari dalam kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status