Malam itu semua tetangga hadir untuk menghadiri acara syukuran di rumah Rangga dan Risa."Mbak Kinan, kamu kok belum siap-siap? Emang gak mau ikut ke acaranya Mas Rangga?" tanya Dinda."Enggak, aku di rumah saja sama Caca. Tuh Mbak Ranti kamu ajak sekalian biar dia bisa terhibur," ucap Kinan enggan."Ih, gak seru tahu! Mbak Ranti dan Ibu memang ikut, kok. Mbak Kinan di rumah sendirian, loh." ucap Dinda lagi."Enggak apa-apa, Din. Mbak gak kesepian kok, 'kan ada Caca yang nemani," jawab Kinan yang sedang memangku Caca.Kinan memang sengaja tak mau ikut, dia ingat pesan Rangga dan Risa tempo hari. Akhirnya Bu Rina dan kedua putrinya pun pergi tanpa Kinan.****Caca bermain mengejar bola karet yang dilemparnya. Kinan menemani bocah itu dengan riang gembira."Tuh bolanya gelinding, Ca! Diambil dulu ya, Sayang," ucap Kinan lembut.Caca berjalan perlahan untuk mengambil bola itu. Sedangkan Kinan memperhatikan pola laku si kecil."Ma, ada Ayah," ucap Caca yang sudah pinter ngomong."Siapa,
Kinan menggendong Caca dan berjalan beriringan bersama Bu Rina. Acara syukuran masih belum selesai, masih sesi pembacaan doa saat mereka datang.Rangga menatap Kinan yang baru datang, senyum tipis terbit di wajahnya yang tampan. Meskipun Kinan sama sekali tak melihatnya, bahkan tak mengetahui keberadaannya.Kinan mengambil duduk di samping Bu Rina. Tampak Bu Yuni-Ibu dari Risa-melirik sinis ke arahnya. Bu Yuni memang datang ke acara itu atas permintaan putrinya.Bu Yuni merasa geram dengan hadirnya Kinan, lantas perempuan paruh baya itu menghampiri Kinan dan berbicara pelan di sampingnya."Ngapain kamu ke sini? Masih belum menyerah juga kamu rupanya?" bisik Bu Yuni.Kinan lantas melirik wanita itu, dia tahu benar dengan maksud Bu Yuni."Mbak Risa sendiri yang sudah mengundang kami semua ke sini, Bu," jawab Kinan datar."Iya, kecuali kamu wanita perusak rumah tangga orang," tutur Bu Yuni tak lagi pelan.Beberapa orang di samping Kinan mendengar perkataan Bu Yuni bahkan Bu Rina juga me
"Ngapain kamu ke sini? Apa belum jelas apa yang Ibu bilang tempo hari?" seru Bu Nur emosi kepada Bagas.Pak Rahmat dan Santi-adik Bagas-hanya terdiam menyaksikan kemarahan Bu Nur."Bu, aku cuma—," ucap Bagas terputus."Cuma apa? Bukannya kamu sendiri yang bilang untuk tidak mencampuri hidupmu. Jadi mulai sekarang urus sendiri keperluanmu," sela Bu Nur sebelum Bagas menyelesaikan ucapannya.Pak Rahmat menghampiri istrinya dan memintanya untuk bersabar."Sabar to, Bu. Mungkin Bagas cuma ingin sarapan, kan biasanya jam segini dia memang ke sini untuk sarapan terus berangkat kerja," ucap Pak Rahmat menenangkan istrinya.Bu Nur mendengkus kesal mendengar ucapan suaminya."Biar dia makan di luar saja, Pak. Sesekali kita harus memberinya pelajaran, agar dia tidak selalu semena-mena pada istrinya dan bisa berpikir lebih dewasa lagi." ucap Bu Nur tegas.Pak Rahmat akhirnya hanya bisa terdiam dan tak membantah lagi ucapan istrinya.Bagas menunduk lesu, setelah itu dia memilih pergi karena meman
Saat Kinan melakukan perawatan, Bu Niken dan Alya menjaga Caca secara bergantian. Di sana ada ruang tunggu yang disediakan untuk arena permainan khusus bagi anak-anak agar tidak merasa jenuh.Alya juga melakukan perawatan wajah, namun tidak menghabiskan waktu lama seperti Kinan karena Kinan memang melakukan perawatan seluruh tubuh.Setelah selesai melakukan perawatan, Kinan keluar dengan tubuh yang lebih segar dan wajah yang lebih bersih bersinar.Bu Niken dan Alya merasa puas dengan perubahan pada diri Kinan. Selanjutnya Bu Niken mengajak mereka untuk makan."Kalian pasti sudah lapar, 'kan?" Kita cari makan di sekitar sini ya," ucap Bu Niken."Iya, Ma. Aku lapar banget, aku yakin Kinan dan Caca juga sama tuh," sahut Alya seraya melirik Kinan dari kaca spion."Iya, Mbak. Saya juga lapar," sahut Kinan dengan tersenyum malu.Mereka memilih restoran yang menyediakan menu masakan khas jawa. Untuk Caca, mereka memesankan soto yang memang aman untuk anak kecil.Sedangkan Kinan dan Alya mas
"Akhirnya kita bisa berdua saja, Sayang," ucap Radit menatap kekasihnya lembut."Terus Caca dianggap apa, dong?" tanya Kinan seraya menunjuk Caca yang tertidur di pangkuannya."Eh, iya. Maksudku ... Ehm ... kita bisa ngobrol lebih leluasa berdua saja tanpa merasa malu pada yang lain," Radit menjelaskan.Kinan mengangguk dengan senyum yang terpatri di wajahnya. Sejujurnya dia selalu merasa nyaman bersama pria yang ada di hadapannya itu."Kinan, saat ini aku cuma ingin berbicara tentang kita, tentang masa depan kita nanti," ucap Radit memandang lekat wajah kekasihnya.Kinan mencoba menghindari tatapan Radit. Dia tak pernah bisa berhadapan dengan pria itu, entah apa alasannya. "Sayang, sekali ini saja tatap mataku. Apa sulit bagimu untuk memandangku? Jika tidak menunduk, maka kamu akan melihat ke arah lain," ucap Radit seraya menelisik wajah di depannya.Kinan mendongak, menatap Radit yang memohon kepadanya. Bisa dihitung jari berapa kali Kinan menatap ke dalam bola mata Radit setelah
Ranti menceritakan perihal Bagas yang menghampirinya di tempat kerja. Bu Rina dan Kinan mendengarkan ceritanya dengan seksama."Apa menurut kalian Mas Bagas benar-benar sudah berubah dan menyesali kesalahannya selama ini?" tanya Ranti meminta pendapat.Bu Rina dan Kinan nampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Ranti."Sebenarnya sulit dipercaya, sih kalau Mas Bagas bisa berubah secepat itu secara kita sendiri tahu bagaimana tabiatnya selama ini. Bahkan orangtuanya sendiri pun sudah seringkali menasehatinya tapi dia tetap abai." Kinan mengutarakan uneg-unegnya."Iya, entah kenapa Ibu juga masih belum percaya kalau belum ada bukti. Ibu sudah terlanjur kecewa padanya," sahut Bu Rina."Lalu bagaimana, Bu? Aku butuh pendapat kalian. Mas Bagas sudah menyerahkan ATM-nya padaku dan saat aku cek tadi sepulangnya kerja, memang semua gajinya masih utuh," tanya Ranti ragu."Mbak, lebih baik kamu tanyakan sama hati kamu sendiri. Apa kamu merasa yakin sama dia soalnya jujur aku sangat tr
Saat Kinan pulang dari warung, dia melewati rumah Risa. Dia melihat Dion yang baru saja keluar dari rumah Risa. Dia mengamati lelaki itu yang sepertinya pernah dilihatnya. Dion lalu berjalan ke seberang jalan dan pandangannya bertemu dengan Kinan.Kinan menghampirinya dan menelisik wajah itu."Kamu lelaki yang pernah mencoba menculikku, 'kan?" tanya Kinan menginterogasi."Kamu salah lihat," jawab Dion berusaha menghindar."Tidak, aku tidak salah lagi. Benar kamu orangnya. Ngapain kamu di sini? Atau jangan-jangan kamu merencanakan sesuatu yang buruk di lagi?" tanya Kinan waspada."Hei, jangan GR deh kamu, kamu pikir aku mau nyulik kamu lagi gitu?" cerocos Dion terpancing emosi."Kenyataannya itu yang pernah kamu lakuin!" seru Kinan masih tak terima."Hei, Mbak. Aku gak ada urusan sama kamu ya, aku cuma ada perlu sama Risa jadi jangan ikut campur masalahku jika tidak—," Dion berusaha mengancam Kinan."Jika tidak apa? Kamu mau apa, kamu pikir aku takut, saat ini juga aku bisa berteriak d
Radit selalu saja mencari alasan agar bisa berkunjung ke rumah Kinan. Meskipun Bu Niken sudah melarangnya karena hari pernikahan mereka sudah semakin dekat. Pamali kata orang tua dan adat itu masih dipercayai oleh banyak orang termasuk keluarga Radit."Ma, Mama masak apa sih? Harum banget sampai bikin perut lapar," tanya Radit saat menghampiri sang mama yang sedang berkutat di dapur."Mama lagi masak gulai ikan, Dit. Papa kamu kan suka," sahut Bu Niken.Radit nampak berpikir dan muncul ide baru di kepalanya."Wow ... gulai ikan, sedap banget pastinya, Ma. Sayangnya Kinan gak ikut makan bareng kita ya, Ma. Dia suka banget loh sama gulai ikan," tutur Radit beralasan. Sesekali dia melirik mamanya untuk melihat reaksinya."Jadi Kinan suka sama gulai ikan, Dit?" tanya Bu Niken dengan mata berbinar."Iya, Ma. Suka banget dia," sahut Radit dengan wajah sumringah."Ya udah nanti kamu bawa sebagian buat dia ya, bentar Mama siapin rantang dulu," sahut Bu Niken dengan senyum mengembang."Iyesss,