Bagas mondar-mandir di depan rumah Nita. Sudah beberapa hari ini rumah wanita itu dan warungnya yang ada di depan rumahnya tutup, Nita pun sama sekali tak terlihat batang hidungnya, demikian juga dengan anak-anaknya. "Kemana sih kamu, Nit? Ditelepon juga gak diangkat," gerutu Bagas seraya memainkan ponselnya mencoba menghubungi Nita kembali. Datang Bu Marni-Ibu dari Nita- yang ingin membersihkan rumah anaknya. "Bagas, ngapain kamu mondar-mandir di depan rumah Nita? Punya maksud buruk kamu ya?" seru Bu Marni. "Nggak, Bu. Nita ke mana ya, kenapa beberapa hari ini aku gak liat dia?Biasanya kan aku ngopi di sini, Bu." Bagas menjelaskan maksudnya. "Oh jadi kamu mau cari Nita? Belum bisa ngelupain dia ya? Asal kamu tahu, sekarang Nita dan anak-anaknya nyusul suaminya ke Kalimantan. Di sana suaminya dapat kerjaan yang gajinya gede," cibir Bu Marni. Dari dulu memang Bu Marni tak menyukai Bagas dan memilih menjodohkan anaknya dengan orang lain y
Risa sangat marah dengan ulah suaminya. Semua barang yang ada di kamar menjadi sasarannya. Dilemparkan gelas yang ada di dekatnya hingga pecah berkeping-keping. "Br*ngsek kamu, Mas!!" teriak Risa disela kemarahannya. Perempuan itu menangis histeris merasakan sakit hatinya. Luka yang ditorehkan Rangga sangat dalam menusuk kalbu. "Tega kamu, Mas ...." ucap Risa ditengah isak tangisnya. Rangga mendekati Risa ingin menenangkannya. Dia merasa bersalah dengan menyebut nama wanita lain saat mereka tengah bercinta. "Maafkan aku, Ris," ucap Rangga dengan raut wajah kacau. Risa masih menangis histeris. Rangga takut jika keluarga yang lain ikut mendengar teriakan istrinya. "Ris, tenangkan dirimu. Kita bicara baik-baik jangan seperti anak kecil," ucap Rangga dengan penuh penekanan. Beruntung semua anggota keluarga di situ tertidur nyenyak dan tak mendengar suara berisik di kamar itu. Mungkin karena hanya kamarnya yang berada di lanta
Pagi itu Bagas seperti biasa sarapan di rumah orangtuanya. Dia duduk di samping Bu Nur dan adiknya. Sedangkan Pak Rahmat sudah selesai sarapan dan mengurus burungnya. "Bu, aku kangen dengan Caca," ucap Bagas tiba-tiba. Secara serempak Bu Nur dan Santi mendongakkan kepalanya tak percaya pada ucapan Bagas. "Kangen sama Caca atau sama Mamanya," ledek Santi dengan ekspresi mengejek. Sontak Bagas melotot pada adiknya itu."Anak kecil jangan sok tahu kamu," Santi mencebik mendengar ucapan Bagas. Bu Nur menghentikan sarapannya, dia mengingat Caca yang selama ini dirindukannya. "Ibu juga kangen banget sama Caca," sahut Bu Nur dengan mata berkaca-kaca. Bagas tersenyum mendengar perkataan ibunya. Muncul ide yang melintas di kepalanya. "Bagaimana kalau kita menjenguk Caca di rumah Neneknya, Bu?" tanya Bagas berharap. "Iya nanti Ibu akan bicara pada Bapakmu," sahut Bu Nur. "Horeee ... aku juga ikut ya, Bu." Santi girang denga
Sedangkan Kinan adik kelas mereka bisa dekat dengan Radit karena tergabung dalam 1 organisasi yang sama. Dari sanalah awal mula mereka menjadi sahabat. Ranti mendekati Radit dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Dia tak menyangka jika pria cupu yang selalu diremehkan olehnya dulu kini bisa menjadi sekeren ini sekarang. Radit menerima uluran tangan Ranti. "Sumpah kamu beda banget sekarang, Dit!! Hampir saja aku gak mengenalimu," ucap Ranti terkesima. Radit kembali tersenyum menanggapi perkataan Ranti. Hampir semua teman yang menemuinya juga berkata seperti itu. "Jangan bilang kamu ke sini untuk menemui Kinan? Atau memang benar kamu mau menemui dia?" tanya Ranti dengan tatapan menyelidik. "Aku ke sini memang ingin menemui Kinan, Ran. Aku nawarin dia kerja di apotek di mana klinikku berada," sahut Radit. "Apa!? Gak salah denger kan aku? Jadi dia meminta kerjaan sama kamu? Modus itu, Dit! Dia memang gitu belum resmi cerai udah kega
"Bagaimana apa kamu bersedia kembali bersamaku, Kinan?" tanya Bagas tak sabar menunggu jawaban Kinan. Kinan terdiam, pikirannya berkelana mengingat masa-masa saat bersama Bagas dulu. Dua tahun lebih waktu yang dia habiskan sudah cukup membuatnya mengenal kepribadian sang suami. Dua tahun lebih dia berusaha menuruti setiap perkataan dan keinginan suaminya bahkan ia rela meninggalkan dan membantah orangtuanya demi bisa bersamanya. Bukan hanya uang belanja yang sangat terbatas, namun juga sikap Bagas yang tak bisa menghargainya sebagai seorang istri. Dengan alasan tak pandai merawat diri, dia diperlakukan semena-mena. Selalu bersabar dan mengalah sudah dilakukannya selama ini namun tak juga membuat suaminya berubah. Bagas semakin banyak tuntutan tanpa memenuhi hak yang harusnya dia lakukan. Kasih sayang suaminya nyaris tak pernah ia dapatkan semenjak dia hamil, begitu pun Caca jarang sekali bocah kecil itu tersentuh tangan ayahnya. "Kinan!! Apa
Risa dan Rangga telah mengurus surat perceraian mereka. Rangga memutuskan untuk pergi dari rumah mertuanya saat itu juga. "Mas, lebih baik kamu pergi dari rumah ini secepatnya. Soal Andika aku akan memberinya pengertian, kamu tak perlu khawatir," ucap Risa tanpa menatap lelaki yang diajaknya bicara. "Baiklah, Ris. Mungkin memang lebih baik aku keluar secepatnya. Aku akan cari rumah atau kontrakan untuk sementara waktu," ucap Rangga lirih. Setelah itu Rangga keluar dengan menggunakan mobilnya. Dia berencana untuk mencari tempat tinggal tak jauh dari rumah orangtua Kinan agar bisa memantau perempuan yang dicintainya. Setelah beberapa kali bertanya kepada tetangga Kinan soal rumah yang disewakan, akhirnya dia menemukan kontrakan yang hanya berjarak sekitar 5 rumah dari kediaman orangtua Kinan. Dari sana juga tak begitu jauh dari tempatnya bekerja.******* Rangga mengemas bajunya dan memasukkannya ke dalam sebuah koper. Setelah memastikan barang
"Semalam saya intip dari dalam rumah dia datang sendiri kok, Bu. Bisa jadi dia lajang atau duda kan, jadi saya punya kesempatan buat PDKT kan, Bu?" sahut Gendis perempuan dengan tubuh seksi itu. "Pas banget kalau duda, Mbak. Sama -sama kesepian butuh belaian," Mereka yang ada di sana sontak tertawa, dan mereka terdiam saat ada Kinan datang bergabung. "Tumben belanja, Mbak Kinan?" tanya Bu Rukin. "Iya, Ibu kakinya sedikit linu, Bu. Jadi saya yang gantiin." ucap Kinan seraya memilih ikan pindang yang ada di depannya. "Mbak, maaf nih ya katanya Mbak Kinan sudah pisah sama suaminya ya makanya sekarang balik lagi ke sini?" tanya Bu Sis mulai kepo. Kinan keget kenapa mereka bisa tahu tentang statusnya padahal selama ini dia tak pernah keluar rumah. "Jangan ditutupi Mbak Kinan, kita semua sudah tahu kok, asal jangan lirik suami tetangga aja ya," ucap Gendis sinis. "Eh sadis amat omongannya Mbak Gendis. Takut saingan sama Mbak
Ranti senyam-senyum sendiri melihat ponselnya. Dia berbalas pesan dengan Bagas. Saking asyiknya dia tak menyadari jika Dinda sedang dibelakangnya mengamati setiap gerak geriknya. "Ehem, lagi ngapain, Mbak?" tanya Dinda mengambil posisi duduk di depan Ranti. "Gak liat aku sedang apa? Pakai tanya lagi," jawab Ranti, tatapannya tetap fokus pada ponselnya. "Oh, asyik bener. Gimana kabarnya Mas Bagas?" tanya Dinda memancing. "Baik—" Ranti tak meneruskan perkataannya, dia baru sadar jika sudah terpancing oleh adiknya. Ranti melotot, Dinda tertawa dan meninggalkan kakaknya yang mulai mengomel. "Dasar bocah, mau tau aja urusan orang dewasa, pasti kamu ngintip pesanku sama Bagas ya, Dinda!!" Ranti berteriak di depan kamar Dinda. Kinan tak sengaja mendengar Ranti yang berteriak di depan kamar adiknya dengan menyebut nama Bagas. "Apa, Mbak?! Kamu berkirim pesan sama Mas Bagas!?" tanya Kinan terkejut saat mendengar kakaknya berbic