“Karan, tunggu!” Bella yang mengenakan celana panjang, memudahkannya untuk berlari mengejar Karan.
Pria itu mengumpat, memasuki kamar di mana Jovan menginap. Asistennya yang baru hendak membuka pintu, langsung mundur keheranan.Dilihatnya Karan buru-buru mengunci pintu. Tak dihiraukan ketukan pintu, di mana Bella terus memaksa untuk masuk dan memanggilnya.“Karan, buka! Kita harus bicara! Karan!” Bella menjerit, membuat beberapa orang yang melintas memerhatikan. Wanita itu tak peduli, yang penting Karan keluar.“Tuan, apa yang terjadi? Siapa di luar?” tanya Jovan, membiarkan Karan mengintip dari lubang kecil di pintu.“Teman lama kita, Bella. Entah apa yang membuatnya sampai berada di sini.” Karan mengusap dagu.“Pasti dia ada hubungannya dengan Farel,” kata Jovan. Serta-merta wajah Karan berubah, tak mengerti kenapa Bella bisa ada sangkut-pautnya dengan Farel.Jovan menghela napas, mempersilakan Karan untuZamaan menghubungi Nayden untuk meminta bantuan. Sayangnya, Nayden berpihak pada Alex karena merasa lebih dianggap keluarga, bukan seperti Zamaan yang terkesan hanya memanfaatkan. “Ini masalah pribadimu. Sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganku. Aku dan Alex berteman jauh sebelum mengenalmu. Jadi, maaf-maaf saja.” Kalimat itu terngiang-ngiang di telinganya. Nayden dianggap pengecut dan tak bisa diandalkan. Sejak Alex menolak memberi gadis-gadis padanya untuk dijual, Zamaan merancang siasat untuk balas dendam. “Aku tidak mau tahu! Kalian harus datang sekarang juga dan bantu aku mengalahkan Alex!” titahnya pada seseorang yang kini membelakangi. “Berani bayar berapa? Ingat, Zamaan! Kau bukan lagi seorang polisi yang bisa memerintah dan bertindak seenaknya.” Seseorang itu mengingatkan bahwa kini posisi Zamaan tak lebih dari warga biasa sebab telah dipecat dari kepolisian dengan tidak hormat karena lalai dalam tugas.
"Kau serius membuat Ailyn marah?” Alex tersenyum puas mendengar Bella mengatakan ia berhasil membuat Ailyn pergi setelah melihatnya mengecup Karan. “Tentu. Aku yakin, mereka pasti sebentar lagi akan bertengkar.” Bella melipat kaki kanan dan kaki kiri, bersila. Wanita itu percaya diri telah melakukan tugasnya dengan baik. “Ini kabar gembira. Aku tak sabar ingin segera tahu. Apa mereka benar-benar akan pulang?” tanya Alex. “Ya. Aku lihat asistennya itu memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Mungkin karena kejadian malam itu mereka memutuskan untuk pulang,” papar Bella. Alex manggut-manggut, menghisap rokok sampai asap mengepul. Dilihatnya Yuki-Kun memasuki ruangan di mana mereka biasa duduk bersila. Bella melirik ponsel. Ia melihat panggilan masuk dari Kusuma, dan terpaksa harus mengangkatnya. “Aku permisi dulu,” ujarnya. Alex hanya menoleh. “Iya, Tuan.” Bella berdiri di depan rumah ala Jepang itu. “Di mana kau? B
Kusuma memerhatikan seluruh ruang kerja Karan. Apa dia melewatkan sesuatu? Pria itu berdiri mematung dengan kedua tangan di pinggang. “Di mana Karan meletakkan berkas untuk cabang perusahaan? Biasanya di lemari samping, tapi tidak ada.” Digaruknya bibir dengan jari telunjuk. Selalunya Karan meletakkan berkas sesuai urutan rapat atau kepentingan. Namun, berkali-kali diperiksa, Kusuma tidak menemukan berkas yang dicari. Menurutnya, tidak mungkin Karan akan membawa berkas penting saat liburan. Kalaupun ia, pasti ada yang tahu. “Kalau Farel tidak tahu, tidak mungkin Bella tahu. Dia datang setelah Karan pergi.” Kusuma merasa ada yang aneh. “Aku akan mengecek CCTV.” Berbalik ia hendak memeriksa. Namun, Farel yang sejak tadi bersembunyi di balik pintu dan mendengarkan, buru-buru menyusun rencana. “Kau di sini?” Kusuma menutup pintu. “Iya, Pa. Rencananya hari ini Farel ingin membahas mengenai sampel penelitian parfum. Ap
Alex memukul wajah Zamaan hingga darah segar keluar dari hidung dan mulutnya. Pria itu semakin marah saat Zamaan tersenyum dalam keadaan terluka. “Kau memang mencari mati!” Alex kembali melayangkan pukulan telak pada wajah dan perut pria itu. Zamaan menggerakkan tangannya yang gemetaran, meraih pisau yang terjatuh. Ditusuknya dada Alex saat pria itu lengah. “Ah!” Alex memekik. Di belakangnya, Yuki-Kun bersalto dan menendang anak buah Zamaan. Dengan sekali tendangan, ia berhasil membuat dua lawannya tumbang dan ambruk ke tanah. Suasana masih heboh saat semua orang sibuk melawan musuh, termasuk Karan. Pria itu menembak beberapa orang dan berhasil mengambil alih pistol lawan. “Semua harus diselesaikan segera,” lirihnya. “Karan!” Ailyn berlari mendekat, membuat Karan melotot. Bukan karena istrinya muncul, melainkan ada yang mengejar tanpa Ailyn sadari. “Ailyn, awas!” teriak Karan. Berlari ia hingga kakinya
Ailyn dan Karan mengetuk pintu. Setibanya dari Jepang, keduanya langsung menuju ke rumah. “Iya, sebentar.” Suara Yunita membuat Karan menoleh pada pintu yang kini dibuka. Wanita itu langsung tersentak melihat siapa yang datang. “Ka-kalian sudah pulang?” tanyanya, membuka pintu lebar-lebar. “Kenapa Tante terlihat tidak suka?” Karan balas bertanya. Dirabanya pipi yang sedikit ngilu akibat pertarungan kemarin.Bahkan luka di kakinya memaksa Karan untuk pura-pura sehat dan berjalan normal agar Ailyn tak khawatir. Pria itu memasuki rumah diikuti Ailyn dan Jovan. Di dalam, Kusuma menyambut kedatangan mereka dengan napas panjang, lega. “Bagaimana bulan madunya?” Kusuma bertanya saat melihat kedua orang itu terlihat biasa saja. Tidak ada tanda-tanda bahagia setelah pulang bulan madu hampir seminggu. “Berantakan,” jawab Karan, duduk di kursi. Sejenak ia melepaskan lelah setelah semua yang terjadi. Ailyn duduk di sebelahnya,
"Hati-hati, Karan.” Ailyn mengikuti suaminya yang berjalan cepat menuruni tangga. Baru saja tiba, mereka kembali mendapatkan masalah. “Apa yang terjadi?” Kusuma mendekat. “Kiran ditemukan di kamar, Pa. Dalam lemari,” jawab Ailyn. “Hah?” Kusuma terkejut, mengikuti keduanya menuju ke parkiran. Sebelum menutup pintu mobil, Karan melihat Yunita mengintip dari jendela kamar. ‘Awas kau! Aku yakin ini pasti perbuatanmu!’ batin Karan, mulai memasuki mobil. “Papa akan menyusul,” kata Kusuma. Karan tak menjawab, melainkan mengemudi dengan kecepatan tinggi. “Kiran, bangunlah, Dik. Aku takut. Kiran!” Ailyn memeluk sambil menepuk pelan pipi itu. “Aku tak akan tinggal diam. Siapa pun yang melakukan ini pada Adikku, aku pasti akan membalasnya!” Karan melirik dari kaca spion. “Telepon Om Alex!” titah Karan, mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu menyerahkannya kepada Ailyn. Ailyn mengangguk, langsung menelepo
Alex menelepon Karan, bertanya di ruang mana anaknya dirawat. Karan yang tengah menggenggam tangan Kiran, memberitahu bahwa Kiran masih berada di ruang IGD. Buru-buru Alex berlari menuju ke ruang IGD. Dilihatnya sang anak memejamkan mata. Wajahnya memucat, dengan tubuh lebih kurus. “Kiran,” lirihnya, membuat Ailyn dan Karan mengalihkan perhatian. Keduanya kompak berdiri, membiarkan Alex mendekati Kiran. “Maafkan Papa, Nak.” Alex mengelus rambut dan pipi Kiran. Digenggamnya tangan itu sambil mengecupnya. “Om baik-baik saja?” tanya Ailyn, mengingat peristiwa kemarin. Alex hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap Kiran sembari duduk. Anak buahnya menunggu di luar berjaga-jaga. Karan menarik lengan Ailyn agar menjauhi Alex. Pria itu berdiri di antara keduanya agar Alex tak berniat mendekati istrinya. “Katakan padaku, apa yang terjadi? Kenapa Kiran sampai terkunci di dalam lemari? Mengurus anak kecil saja tid
Karan memalingkan wajahnya saat melihat Ailyn keluar dari kamar mandi. Pria itu memasang arloji tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ailyn tahu betul apa yang suaminya rasakan. Semalam ia menolak untuk berhubungan badan karena mendadak Mohan menelepon akan pulang. Jadilah Karan merajuk, tak bicara sejak pulang menjemput mertuanya. “Karan, kau masih marah, hm?” Ailyn memeluk dari belakang. Tak ada reaksi. Karan menyemprotkan parfum ke pergelangan tangan. Parfum kenanga yang berasal dari idenya ternyata memberi keharuman alami yang membuat rileks. “Karan!” Ailyn mengikuti sang suami yang mengambil tas kantor, lalu menuju ke pintu. Buru-buru Ailyn mencegah. “Kau tidak boleh pergi sebelum memaafkan aku.” Wanita itu merentangkan kedua tangannya. “Aku malas berdebat. Kau juga harus ke kantor, kan. Bersiaplah sana.” Karan hendak membuka pintu, tapi Ailyn menggeleng. “Ckckck!” Karan berkacak pinggang. “Ayolah,