Karan memalingkan wajahnya saat melihat Ailyn keluar dari kamar mandi. Pria itu memasang arloji tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ailyn tahu betul apa yang suaminya rasakan. Semalam ia menolak untuk berhubungan badan karena mendadak Mohan menelepon akan pulang.Jadilah Karan merajuk, tak bicara sejak pulang menjemput mertuanya. “Karan, kau masih marah, hm?” Ailyn memeluk dari belakang.Tak ada reaksi. Karan menyemprotkan parfum ke pergelangan tangan. Parfum kenanga yang berasal dari idenya ternyata memberi keharuman alami yang membuat rileks.“Karan!” Ailyn mengikuti sang suami yang mengambil tas kantor, lalu menuju ke pintu. Buru-buru Ailyn mencegah.“Kau tidak boleh pergi sebelum memaafkan aku.” Wanita itu merentangkan kedua tangannya.“Aku malas berdebat. Kau juga harus ke kantor, kan. Bersiaplah sana.” Karan hendak membuka pintu, tapi Ailyn menggeleng.“Ckckck!” Karan berkacak pinggang.“Ayolah,“Panggil Bella ke sini!” titah Karan pada Jovan saat keduanya baru saja memasuki ruangan CEO. Jovan mengangguk, berbalik dan langsung keluar. Langkahnya tegap melewati beberapa orang. Semakin ia mempercepat langkahnya saat berbelok dan masuk ke ruangan Bella tanpa mengetuk pintu. “Tuan? Ada apa? Kenapa tidak memanggil saya saja?” Bella berdiri, menundukkan pandangan. “Tuan Karan memanggilmu ke ruangannya. Sekarang juga!” Jovan membuka pintu lebar-lebar, pertanda ia tak mau ada alasan Bella sampai tak menemui Karan. “Ta-tapi, pekerjaan saya belum selesai. Ah, maksudnya, baru akan saya kerjakan,” ujarnya, memasang alasan. “Apa kau mau aku menyeretmu keluar, baru kau akan pergi? Cepat, Bella!” teriak Jovan. Bukan hanya Bella yang kaget, tapi Farel yang mengintip dari jauh pun tersentak. “Bahaya! Kalau Bella mengadu semuanya, aku dan Mama akan dipermalukan. Setidaknya, aku harus lebih dulu mengambil berkas.” Fa
Farel tengah memerhatikan Bella. Wanita itu malah mengatakan tak mau lagi bekerja sama dengan Farel yang hanya membawa sial. “Kau tidak bisa mengurus Karan, tidak seperti aku.” Bella menambah riasan di wajahnya, lantas memasukkan alat make up ke dalam tas. “Apa, katamu? Kau lupa, aku sudah membayarmu?” Farel mencekik Bella sampai sedikit terangkat. “K-kau tidak bisa melakukan apa pun, tapi aku bisa. Karan mengajakku kencan sebentar lagi. Jadi, a-aku harus segera per-gi!” Bella menepuk tangan Farel hingga dilepaskan. “Bodoh! Apa kau pikir dia akan benar-benar mengajakmu kencan? Dia pasti sudah merencanakan sesuatu. Kuliah di luar negeri, tapi tetap saja bodoh!” rutuk Farel. “Bilang saja kau iri. Aku sudah terlambat. Aku pergi.” Bella meraih tas yang terjatuh, lalu keluar dari ruangan Farel. Setelah berdandan rapi dan berpakaian yang bagus, Farel malah memaksanya bertemu. Pria itu hanya menghambat rencananya pergi kenca
Siang yang terik, di mana, Karan dan Ailyn yang baru pulang dari kantor sedang dalam perjalanan pulang. “Kau mau jalan-jalan?” tanya Karan. “Ke mana?” Ailyn mengelus dada suaminya. “Ke suatu tempat. Tuan Louis berbaik hati memintaku menginap di risort baru miliknya.” Karan mengecup kening Ailyn, membaui aroma rambut yang wangi. “Oh, ya? Di mana itu?” Ailyn tampak antusias. Terakhir bersenang-senang hanya saat ke Jepang. Itu pun berakhir dengan insiden baku tembak. “Di Bogor. Kita ke sana sekarang? Mumpung masih siang.” Karan memeriksa arloji yang jarumnya menunjuk angka 13.08. “Boleh. Aku sudah lama tidak bersantai. Uuuhh! Menjadi model ternyata susah juga. Untung saja Hadid mau jadi managerku.” Ailyn merasa lega. Sesaat ia lupa pada pria bernama Alex yang selalu punya rencana untuk mendapatkannya. Sudah seminggu ini Hadid bekerja sebagai manager Ailyn. Hitung-hitung, sebagai tanda terima kasih telah m
Yunita mengadu pada Kusuma tentang sikap Karan yang berubah. Semenjak peristiwa pelecehan terhadap Ailyn oleh Farel, ditambah apa yang Kiran alami, Karan semakin menjauhinya. “Pa, lakukan sesuatu. Mama tidak mau ada dinding pemisah di antara kami. Kita kan keluarga.” Yunita mengambilkan secangkir kopi yang ia letakkan di meja. “Maumu apa? Kau kan tahu sendiri, Karan keras kepala. Emosinya juga belum stabil.” Kusuma menyeruput kopi hingga menimbulkan suara. Diserahkannya cangkir pada Yunita. “Sepertinya, Karan merencanakan sesuatu, Pa. Percaya pada Mama,” kata Yunita. “Kau jangan sembarangan bicara. Nanti malah jadi fitnah. Yang kau bicarakan ini Anakku.” Kusuma mengingatkan. “Ih, Papa. Masa tidak tahu? Kemarin Mama dengar, berkas kontrak dengan PT Prima dialihkan pada berkas Karan. Apa dia bicara dulu pada Papa?” “Karan belum bicara apa pun, selain Bella yang menggodanya.” Kusuma tampak berpikir. Selalunya
Ailyn yang memang tak menaruh kecurigaan apa pun, mengikuti Jauhar dan Firman menuju ke sebuah rumah yang letaknya agak ke dalam hutan. “Di sini jauh dari para tetangga, ya?” tanya Ailyn, tak melihat satu pun orang sejak tadi. Yang ia lihat hanya hutan, sejauh mata memandang. “Iya, Non. Hanya ada satu rumah, itu pun rumah tua. Itu dia.” Firman menunjuk ke rumah mungil di depannya yang kurang lebih berjarak 50 meter. “Wah, ini sih estetik. Halamannya luas, ya.” Ailyn masih mengikuti sampai Jauhar membukakan pintu untuk mereka agar masuk. “Silakan, Non. Maaf kalo kurang nyaman.” Firman mempersilakan wanita itu untuk duduk. Ailyn hanya tersenyum, memandangi banyak foto dipajang di dinding. Ailyn berpikir mungkin itu foto para pemetik teh yang bekerja di perkebunan, mengingat Firman mengaku sebagai mandor. “Lila, buatkan minum. Ada tamu, Sayang,” panggil Firman, lantas duduk di depan Ailyn, di sebelah Jauhar. L
Dilihatnya seorang wanita keluar rumah mengenakan daster. Wanita yang tak lain adalah Lila, langsung bisa menebak apa yang mereka lakukan sampai ke rumahnya. Wajahnya yang sempat tegang, pura-pura menampilkan senyuman. “Ada apa ini, ramai-ramai?” tanyanya. “Pagi, Bu. Apa Ibu melihat wanita berjalan di sekitar hutan? Mungkin dia tersesat saat mengambil foto,” tanya Karan. Dicobanya menunjukkan foto Ailyn di ponsel, lalu memberikannya pada Lila untuk dilihat. Lila mengambil ponsel, bersikap seperti tengah berpikir. “Maaf, saya tidak lihat. Saya baru keluar setelah masak. Mungkin di sekitar hutan sebelah sana.” Lila menunjuk hutan yang lebih gelap karena ditumbuhi pepohonan rindang. Karan menoleh sambil menelan ludah. Tidak mungkin Ailyn sampai ke sebelah sana, pikirnya. “Baiklah kalau begitu, kami permisi dulu. Terima kasih.” Karan tersenyum, kembali melanjutkan pencarian. “Tuan, sepertinya ada yang aneh. Sek
Karan terkejut membaca pesan dari Jovan tentang para sandera, tapi pura-pura tersenyum saat membacanya. “Saya permisi dulu. Katanya mereka tak menemukan istri saya.” Karan berdiri, diikuti Lila. Diantarnya Karan sampai ke depan pintu. Namun, rasa was-was dalam diri Lila membuatnya menoleh ke belakang. Alhasil, ia melihat sekelebat bayangan keluar dari kamar. “Hei, siapa itu?” Lila langsung berlari, sementara Karan menepuk kening, buru-buru menyusul. Jovan yang terkejut, bersembunyi di dalam kamar mandi. Sayang, Lila menyadarinya dan langsung siaga dengan pentungan di tangan. “Siapa pun kau, awas saja kalau kau berani mengganggu!” Wanita itu menunggu di depan pintu, sementara Karan mendekat. “Ada apa, Bu?” tanyanya, berlagak tak tahu apa-apa. “Ada orang di dalam. Jangan-jangan salah satu dari orang yang bersamamu. Atau ... kalian bersekongkol?” Lila langsung curiga. “Apa yang Ibu katakan?” Karan semakin mend
"Ini dia wanita terbaik kita malam ini. Namanya Ailyn. Masih perawan, cantik, mulus, dan tentunya incaran kalian." Firman tersenyum lebar, seolah memamerkan barang dagangan. Tangannya bergerak mengelus pipi Ailyn yang belum sadar. "Kita mulai dengan harga 500 juta,” kata Firman.. Abram dan beberapa pria mengangkat tangan, bersiap untuk membeli. “550 juta!” Pria tua berbaju cokelat bicara. “600 juta!” Pria lainnya menimpali. “750 juta!” sahut Abram penuh semangat. Alex masih diam dengan pikiran kacau. Bagaimana Ailyn bisa berada di sini? Dilihatnya wanita itu terpejam, dipegangi dua pria. “750 juta? Ada yang bisa lebih tinggi? Kalau tidak ada, wanita ini terjual 750 juta,” ujar Jauhar. Beberapa saat hening. Alex mengepalkan tangannya. Beraninya ada yang menculik Ailyn dan melelangnya! Alex memanas. Tak mungkin Ailyn akan ada di tempat itu tanpa alasan. Yang pasti hanya satu, dia diculik entah saat berada di man