Alex memukul anak buahnya yang kedapatan melalaikan tugas sampai nyaris ditangkap polisi. “Bodoh!” Alex memelototi. Pria yang kini lebam itu meringis saat Alex menendang kakinya dengan keras.
“Kau sudah membuat keberadaan kami tidak aman. Akan lebih baik kalau kau dihabisi,” katanya, meremas kerah.“Ja-jangan , Bos! Maafkan aku. A-aku akan mengatasi semua,” lirihnya, ketakutan.Alex tak peduli. Siapa pun yang sudah membahayakan pekerjaannya, maka mati adalah balasan. Tidak ada ampun bagi yang bersalah.Alex mengambil pistol dari balik punggung dan mengarahkannya pada dahi pria itu.“Bos, jangan!” Lusi mendekat.“Katakan padaku, siapa yang tahu kau mengirim narkoba? Cepat!” Alex tak mengindahkan Gandhi dan Lusi yang berusaha mencegah.“A-aku tidak tahu, Bos. Dia ... dia hanya mengintai dari jauh. Aku yakin, dia tidak tahu siapa aku,” jawabnya.“Ya, ya. Jangankan dia, seluruh dunia juga tak akan tahKaran memasuki rumah Alex dengan tergesa-gesa. Kaki panjangnya berlari menaiki tangga menuju ke kamar, di mana pintunya terbuka. “Kiran!” Karan berhenti ketika melihat Alex mencoba membuka pintu kamar mandi. Pria itu menoleh, dengan tatapan kesal. Perlahan Karan mendekat. Diaturnya napas yang sejak tadi memburu. Panik, ditambah berlari membuatnya bernapas tersengal. “Bagaimana?” bisiknya. Alex menaikkan pundak. Bisa saja dia mendobrak pintu agar Kiran keluar. Namun, itu terlalu beresiko. Bisa jadi nanti Kiran semakin takut padanya. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Karan ikut menguping dengan mendekatkan telinga pada pintu. “Kiran melihatku menembak seseorang.” Alex memelankan suara, setengah berbisik. “Dasar! Ceroboh sekali!” gerutu Karan, yang malah membuat Alex berdecak. “Kau ke sini untuk membantu mengeluarkan Kiran, atau memarahiku? Aku ini Ayah tirimu. Setidaknya, begitu kenyataannya.” Bahu Alex sedikit
Ailyn turun dari mobil Bima. Wanita itu merasa resah, mengingat apa yang mereka bicarakan di rumah pohon tadi. Bisa-bisanya Bima menawarkan kesepakatan tak masuk akal. Asal dia kembali pada Bima, maka kontrak kerja sama dengan Karan akan berjalan lancar. “Titip salam pada suamimu, minta dia temui aku besok di kantor,” ujar Bima, menurunkan kaca mobil. Ailyn menoleh, tak menjawab. Dilihatnya Bima mengedipkan sebelah mata padanya, terkesan sangat nakal. “Kau ... tidak akan macam-macam dengannya, kan?” Ailyn mendekat. Pria itu menaikkan pundak, meminta sopir untuk segera pergi. “Kalau kau berani macam-macam padanya, aku akan membuat perhitungan!” teriak Ailyn. Ia menghentakkan kaki, merasa sangat kesal. Sesaat dicobanya mengatur napas. Dirasa tenang, Ailyn berbalik menatap rumah mewah itu. Apa pun yang akan dikatakan nanti, dia harus berbicara sebaik mungkin agar Karan tidak marah. Kala hendak melangkah, menda
"Sayang, kau mau bilang apa? Jangan membuatku mati penasaran.” Karan sudah tak sabar menunggu penjelasan. “Begini. Sebenarnya, ada temanku yang namanya Bima. Dia ... dia ternyata CEO Athena Corporation,” ujarnya, memulai dengan memberi tahu hal yang juga baru diketahuinya. “Apa? Dia temanmu? Kenapa kau baru bilang sekarang?” Karan membetulkan posisi duduk sampai Ailyn bersandar padanya. “Aku baru tahu tadi. Kami sudah lama tak ada komunikasi,” lirihnya. Jelas mustahil memberi tahu Karan bahwa Bima yang sama juga adalah mantannya yang masih berharap. “Lalu? Apa yang kau takutkan sampai memintaku untuk tidak marah?” Karan mengecup pundak Ailyn dengan keras hingga wanita itu melonjat kaget. “Dia menawarkan kesepakatan kerja dengan syarat aku harus kembali padanya, maka kontrak kerja itu akan disetujui.” Ailyn bicara lewat mata, sedangkan bibirnya kelu. “Apa? Kenapa menatapku?" Karan menyandarkan kepala pada leher sang is
Karan menemui Farel di ruangannya. Pria itu langsung pucat saat Karan melempar surat kontrak tepat mengenai wajah sang adik tiri. Gelagapan Farel menangkap. Kepalanya tertunduk, tak bisa berkata-kata. Gagal sudah ia mendapatkan kontrak dengan Athena Corporation. “Kau ingat apa yang aku katakan waktu itu? Kalau kau tidak bisa mendapatkan kontrak, maka kau akan kupecat!” Karan berkacak pinggang memerhatikan Farel. “Ma-maaf, Tuan. Saya tidak bisa. Saya sudah berusaha untuk membujuk, tapi Tuan Bima rupanya sukar diajak kompromi,” jawab Farel, memerhatikan surat kontrak. “Alasan! Kau saja yang tidak becus! Mulai sekarang, kemasi barang-barangmu. Kau bukan lagi Sekretaris perusahaan sejak saat ini.” Karan berbalik, tapi urung untuk keluar. “Apa? Kenapa mendadak? Tidak bisa seenaknya. Aku banyak membantu perusahaan ini. Kau hanya CEO, bukan pendiri atau pemilik utama perusahaan ini.” Kalimat yang Farel lontarkan kepada Karan
Farel membawa kardus berisi barang-barang yang akan dipindahkan. Beberapa karyawan menatapnya, lalu berbisik-bisik. “Apa lihat-lihat!” Farel tampak tak suka diperhatikan. Langkahnya semakin cepat menuju ke ruangan lain. “Kenapa dengannya?” Karyawan pria memerhatikan pintu ruangan yang ditutup dengan kasar. “Aku dengar, Tuan Karan menurunkan posisi Tuan Farel dari Sekretaris menjadi karyawan biasa. Kau dengar dia korupsi, kan?” Wanita muda berkacamata bicara. “Oh, itu. Tuan Karan baik, ya. Kalau aku jadi CEO, sudah kupecat dan kupenjarakan dia,” kata pria itu. Wanita tadi membenarkan. Mereka berpikir Karan masih berbaik hati karena Farel adalah keluarganya. Meski berbuat salah, akan selalu ada kata maaf bagi keluarga. Jika tidak melihat dari sisi kekeluargaan, sudah tentu Karan tidak menyiapkan ruangan, melainkan membiarkannya bekerja bersama karyawan lain di ruangan terbuka. “Sialan!” Farel terlihat marah.
“Se-selingkuh? Tidak, Karan. Dengarkan penjelasanku dulu.” Ailyn menggelengkan kepala, masih dengan kedua tangan menggenggam tangan Karan. “Kau masih akan menyangkal saat aku melihat dengan mataku sendiri?” Karan memelototi. Memutih mata itu, menandakan ia sangat marah. “Tenang, Tuan. Kita selesaikan ini dengan baik-baik,” bujuk Jovan. Beberapa karyawan masih memerhatikan dengan tanda tanya. Baru kali ini ada keributan di Athena Corporation sampai ada yang mengamuk. “Kenapa kalian masih di sini? Kembali ke tempat kalian masing-masing. Tidak terjadi apa-apa. Ini hanya salah paham saja,” kata Bima. Sontak semua karyawan mulai meninggalkan tempat itu. Suasana masih tegang saat Bima mendekati Karan yang tak bisa menahan diri. Pria itu hendak memukul, tapi Bima hanya tenang. Senyum merekah malah ditampilkan. Bagi Karan, senyuman itu seolah-olah mengejeknya. “Beraninya kau!” Karan mulai berang. “Kau tidak us
“Telur gulung,” kata Karan, mengeluarkan dompet. Setelah hampir 10 menit menunggu, akhirnya ia berkesempatan juga untuk membeli apa yang Ailyn minta. “Berapa, Tuan?” tanya sang penjual. “200 ribu.” Karan menjawab sambil mengambil uang ratusan dari dompet. Tak disadari sang penjual yang menatap heran. “200 ribu untuk telur gulung? Apa Tuan tidak salah? Mungkin 20 ribu.” Penjual itu masih terpaku, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Ini untuk istriku. Apa ... harganya lebih mahal?” Karan memerhatikan anak-anak di sekitar yang sudah sisa sedikit. Karan berpikir, kira-kira berapa uang saku anak sekolah zaman sekarang sampai membeli telur gulung lebih dari tiga. Kesimpulan itu didapatnya setelah melihat anak laki-laki gemuk memakan telur gulung dengan rakus. “Ini harganya seribuan, Tuan.” Penjual itu memerhatikan seluruh tubuh Karan. Jelas sekali pria di depannya kini orang kaya sampai tak tahu harga telur gulung.
Jovan menyerahkan laptop pada Karan. Pria itu langsung menunjukkan rekaman video dari beberapa kecurangan dan kejahatan Farel di kantor. Semua terekam jelas, bahkan beserta foto dan detail berkas yang dijual. Tak lupa Karan juga menampilkan tabel di mana saham K2 Company menurun karena berkas pentingnya dimiliki pesaing. “Berkas itu disalahgunakan. Kini menjadi bumerang, melawan kita. K2 Company kehilangan proyek pembangunan jembatan layang gara-gara sialan itu!” Karan yang bersusah payah menciptakan inovasi yang diyakini akan disukai banyak orang. Sayang, berkas itu kini menjadi milik PT Sanjaya. “Krishna Ardinugroho, Sekretaris perusahaan PT Sanjaya berhasil membelinya dengan harga miring. Papa tahu apa yang lebih menyakitkan Karan?” Pria itu menatap Kusuma yang tampak tak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya. “Pa!” Yunita menggeleng, menyentuh lengan suaminya. “Dia mengakui proyek itu hasil pemikirannya.