Yunita tak berkedip. Situasi di depannya kini harus dibilang menarik atau tragis, ia tak tahu. Yang jelas, masalah Ailyn ternyata tak sesederhana yang Kusuma bicarakan.
“Karan?” Ailyn menarik jas bagian samping suaminya.“Mas, a-apa yang kau katakan? Dan lukamu? Bukannya Gandhi bilang kau sibuk untuk beberapa hari ke depan?”Marina mendekat meski Karan mencegah. Mamanya yang belum paham, malah bersimpati pada luka di kepala suaminya.“Aku begini karena menyelamatkan wanita yang kini menjadi menantumu. Ya, aku akui, aku tidak pergi bekerja, tapi untuk menikahinya.”Alex masih belum bisa menerima kenyataan bahwa kini Ailyn sudah menjadi istri Karan. Apa dan bagaimana semua ini terjadi, Alex ingin segera tahu kebenarannya.“Apa?” Marina membekap mulut, menatap wajah Alex dan Ailyn bergantian.Barulah ia sadar saat ini sang suami memakai tuxedo, jelas-jelas bukan jas biasa, tapi jas pengantin.“Maafkan, KaDua hari sudah Marina terbaring di ranjang kamar rumah sakit. Sejak terkejut di malam pernikahan Karan dan Ailyn, Marina jatuh sakit. Dokter memvonis Marina terkena serangan jantung. “Mama.” Kiran tak henti-hentinya menangis. Alex yang tak tahu mengenai kabar istrinya pun tak lagi bisa dihubungi. “Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi Mama bangun dan sembuh. Nanti kita main bersama, ya,” bujuk Karan. Kiran hanya mengangguk lesu, terus menggenggam tangan Marina yang mulai dingin. “Karan,” lirih Ailyn. Sejak dua hari pula ia berada di sisi Karan. Menjadi penyemangat sekaligus penguat sang suami. Masalah demi masalah tak henti-hentinya menerpa. Baik Karan maupun Ailyn, keduanya dipaksa untuk kuat. “Kau baik-baik saja? Maaf ya, aku malah membuatmu berada di sini setelah kita menikah,” kata Karan, mencoba tersenyum. Dibiarkannya Ailyn mengelus pundak sembari menggeleng. “Aku yang seharusnya meminta maaf. Ini semua kar
Tampak Mohan berlari ke arah Ailyn sambil memeriksa sekeliling bak tengah berada dalam bahaya. Tangannya mendekap tas ke dada. “Ayah? Ayah ke mana saja? Kenapa meninggalkan Ailyn dalam keadaan darurat?” Ailyn merasa takut melihat Mohan yang malah menariknya ke lorong yang gelap. Pria itu terus saja mengawasi sekitar, sampai Ailyn terpaksa memukul lengannya. Barulah Mohan sadar dan menatapnya tanpa kedip. “Ayah sudah membayar sisa hutang pada rentenir beserta bunganya. Ayah juga membayar hutang judi. Ini sisanya 375 juta. Ayo, kau ikut Ayah kabur.” “Apa?” Ailyn masih belum sepenuhnya paham apa yang Mohan bicarakan. “Dasar!” Mohan memukul kepala Ailyn. “Uang yang Karan berikan sudah Ayah gunakan, sisanya 375 juta bisa kita pakai buka usaha di tempat baru,” bisik Mohan. Ia merasa diikuti sejak keluar dari arena judi. Entah benar adanya atau hanya sekadar ketakutan belaka, yang jelas Mohan takut Alex akan membunuhnya sete
"Apa! Kenapa suaramu seperti habis kehilangan seseorang?” Alex menggoyangkan gelas yang terisi setengah bir. Di sela-sela jarinya terdapat puntung rokok. “Aku memang kehilangan seseorang. Mama ... Mama sudah tidak ada,” ujar Karan. “Apa?” Alex bangkit dari duduknya, membuat semua anak buahnya ikut berdiri. Gelas di tangan kini berpindah tempat ke meja. “Papa, pulang, Pa. Mama sudah pergi. Papa.” Kiran menangis. Suara tangisannya bagai anak panah yang menghunjam dada Alex yang kaget bukan main. “Bagaimana bisa?” Alex tak percaya pada apa yang didengarnya. Setahunya, Marina memang kecewa dan pasti marah, tapi tak menyangka akan ada kabar buruk sepagi ini. “Mama terkena serangan jantung dua hari lalu, tepat setelah tahu kebenarannya. Semalam kejang-kejang dan ... meninggal.” Karan tak kuasa menahan air. Meskipun pelukan Ailyn terasa hangat, tapi matanya jauh lebih hangat sampai bulir-bulir deras mengalir. “Ken
Suasana di rumah Kusuma mulai berubah. Sebulan sudah sejak kepergian Marina, Kiran ikut tinggal di rumah itu bersama Karan dan Ailyn. Kiran mulai bisa menerima kepergian mamanya walaupun ia masih tak bisa menerima kehadiran Alex yang selalu memintanya tinggal bersama. “Karan, ini sudah sebulan lebih, Nak. Tidak seharusnya kau murung. Sejak menikah, kalian tidak sempat merasakan bahagia. Kenapa tidak bulan madu saja?” usul Kusuma. Karan menoleh pada Ailyn yang menghidangkan makanan. Wanita itu berusaha menjadi istri dan menantu yang baik agar keberadaannya diterima. Tanda tanya mengenai apa yang Alex katakan tentang taruhan itu masih belum terjawab sampai detik ini. “Karan sibuk, Pa. Banyak berkas yang harus diurus. Lagi pula, Kiran masih butuh pendamping.” Karan membiarkan Ailyn duduk di sebelahnya. Keduanya hanya sibuk bekerja dan membuat Kiran lupa kesedihan sampai tak memikirkan kebahagiaan sendiri. “Kalia
Ailyn tak menyangka akan dibawa ke tempat yang sangat jauh. Bagaimana tidak, rencana awal hanya ke Bali, malah kini mereka sampai di Jepang. “Karan, kau serius? Ini kita benar-benar di Jepang?” Ailyn menganga saat menginap di hotel. Rasa tak percaya membuatnya terdiam. “Tentu. Aku sengaja membawamu ke sini sebab aku takut Om Alex akan datang dan mengacaukan semua,” jawab Karan, memeluk istrinya dari belakang. Ailyn hanya tersenyum. Dibiarkannya Karan terus memeluk. “Hari ini kita ke mana?” tanya Ailyn. “Di kamar saja. Aku ingin berduaan.” Karan menggigit bahu Ailyn pelan. “Ah!” Wanita itu mengaduh, lantas menggerak-gerakkan bahu. “Ayo, Jovan sudah menyiapkan list liburan kita.” Karan menarik tangan Ailyn keluar kamar hotel. Di luar, Jovan sudah menunggu sembari menunjukkan list destinasi wisata yang akan mereka kunjungi. “Okawa River? Wah, yang banyak pohon sakuranya itu, kan? Aku mau ke sana.” Ai
Farel menunjukkan rekaman saat dia meminta Bella menceritakan tentang Karan selama mereka berteman. Yunita manggut-manggut, mendengarkan dengan teliti. “Kita bisa gunakan Bella untuk menghancurkan Karan. Kita minta dia menyusul ke Bali dan mengatakan kalau dia dan Karan ada hubungan spesial,” ujar Yunita. “Tapi, Bella bilang hanya dia yang suka, sementara Karan tidak memberi kejelasan hubungan. Nanti dia curiga." Farel membuat Yunita memikirkan sekali lagi tentang rencananya. “Bagaimana dengan berkas yang Mama minta?" Farel menunjukkan foto berisi berkas-berkas penting yang ia dapatkan dari ruangan Karan. Yunita tersenyum lebar. Dengan demikian, mereka bisa melakukan sesuatu jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. “Ma, mana Kiran?” Kusuma muncul sambil membawa balon. “Mungkin di kamarnya.” Yunita menjawab sambil memerhatikan balon di tangan kanan sang suami. Kusuma diam, lalu menuju ke kamar Karan.
Ailyn tengah menelepon Mohan dan menanyakan kabar. Sudah tiga hari di Jepang, wanita itu menikmati liburan dengan penuh sukacita. “Jangan khawatirkan Ayah. Di sini Ayah bekerja sebagai sopir truk. Lumayan, daripada berjudi lagi,” kata Mohan, membuat Ailyn merasa lega. Setidaknya, ia tak perlu khawatir Mohan akan mencuri atau melakukan kejahatan untuk melunasi hutang, andai berjudi lagi. “Syukurlah kalau begitu. Nanti kita bicara lagi.” Ailyn membiarkan Karan memeluknya dari belakang. Pria itu memiringkan kepala, bersandar pada pundak sang istri. “Sudah bicara dengan Ayah?” tanyanya. Ailyn mengangguk. Dilemparnya ponsel ke ranjang, lalu membalikkan badan. “Kau tidak menelepon Kiran? Dia pasti rindu. Aku khawatir terjadi sesuatu di rumah,” ujar Ailyn, membalas pelukan. “Sudah tadi. Aku rasa, Tante ingin membuatnya tak betah, makanya mulai memengaruhi.” Karan melangkah pelan, membuat Ailyn mengikuti gerakannya.
Hari ini Karan dan Ailyn mendapat undangan dari salah satu rekan bisnis yang kebetulan menyelenggarakan acara di hotel Jepang. Keduanya berniat berangkat lebih awal karena cukup jauh dan belum hafal daerah sekitar. “Karan, apa kau yakin aku akan cantik memakai gaun ini?” Ailyn bertanya sambil memerhatikan pantulan dirinya di cermin. Gaun panjang berwarna merah terlihat pas di tubuhnya yang ramping. Dengan bagian belakang yang sedikit bolong dan memerlihatkan punggung. “Kau ... luar biasa!” Karan mengacungkan dua jempol sekaligus. Pria itu memilih setelan jas berwarna abu-abu tua, dipadukan dengan dasi berwarna biru mengkilap. Karan menggenggam tangan Ailyn menuju ke parkiran. Mereka pun segera menuju ke hotel yang sudah ditentukan. Satu jam kemudian .... Sampailah mereka di hotel. Seorang pria dewasa sekitar umur 30-an melambaikan tangan pada Karan yang baru masuk. “Hai, kau sampai juga akhirnya.” Pria