Share

#4. Dia Sudah Tahu?!

Cecilia membeku. Otot-otot di wajahnya menegang karena dia menggigit geraham kuat-kuat.

Marcus tersenyum. Jantung Marcus pun, seperti Cecilia, berdebar lebih cepat.

Marcus merasa menggoda akal Cecilia jauh lebih menyenangkan daripada pemanasan sebelum bercinta.

“Saya bisa membedakan gelap dan terang …” ucap Cecilia. “Dan terkadang saya bisa menangkap beberapa warna walaupun sangat samar ….”

“Oh ya?”

Cecilia tidak tahu apakah jawabannya meyakinkan Marcus atau tidak. Senyum Marcus yang ringan dan misterius tidak berubah. Sorot matanya yang tajam pun tidak beralih dari mata Cecilia.

Cecilia menahan napas, hampir terserang panik. Cecilia ingin meronta, tapi dia terus mengingatkan diri. Jangan lepas kendali, itu hanya akan memperburuk keadaan.

Marcus meninggalkan kecurigaannya, dan kembali mencumbu Cecilia.

“Karena kau buta, indra perabamu pasti lebih sensitif.”

Marcus menggerakkan tangan Cecilia untuk menyentuh tubuh pria itu.

“Kau boleh menyentuhku di manapun kau suka, Cecilia.”

***

Hampir dua jam Marcus memuaskan diri. Kini sekujur badan Cecilia terasa remuk.

‘Ugh, dasar bajingan egois,’ umpat Cecilia dalam hati.

Cecilia melirik Marcus yang sudah lelap di sisinya. Dengan sangat hati-hati Cecilia turun dari pembaringan dan memunguti pakaiannya yang terserak di lantai.

Cecilia berniat melarikan diri sekarang. Dia sudah merencanakannya sejak pagi.

Gadis itu mengendap-endap ke pintu, dan menarik turun gagang pintu. Cecilia meninggalkan kamar.

Koridor di luar kamar sunyi tanpa penjaga. Cecilia berlari menyusuri koridor tanpa menimbulkan suara, lantas menuruni tangga.

Terdengar suara percakapan dua orang penjaga di ruang tamu. Cecilia bersembunyi di balik tirai. Pintu keluar dari rumah ini sudah tampak di hadapan.

Setelah dua penjaga itu berlalu ke area belakang, Cecilia berlari ke arah pintu depan.

Cecilia keluar melalui pintu itu. Akhirnya …! Kebebasan …!

Sandal tidur Cecilia memijak kerikil di pekarangan. Tubuhnya yang pegal sulit digerakkan. Namun Cecilia tetap mengayuh langkahnya sekuat tenaga menembus kelam.

Di samping gerbang terdapat pos jaga. Cecilia berhenti, lantas bersembunyi di balik sebuah pohon, memikirkan bagaimana dia dapat melalui pos itu tanpa tertangkap.

“Lagipula bagaimana caranya membuka gerbang?”

Cecilia terlalu fokus melamun sehingga tidak menyadari kehadiran seseorang di belakangnya. Orang itu menyergap Cecilia, dan dengan cepat membekap mulut Cecilia sebelum Cecilia menjerit. Cecilia menoleh, matanya berserobok dengan mata Marcus.

Cecilia tercengang.

Marcus bergeming memandang Cecilia.

Lantas Marcus berkata, “Itu gerbang otomatis. Aku bisa membukanya dengan remote.”

Keterkejutan bercampur ketakutan membuat Cecilia membeku, lalu pingsan.

Marcus menangkap tubuh lunglai Cecilia, kemudian menggendong gadis itu kembali ke kamar.

Marcus membaringkan Cecilia di ranjang. Wajah cantik itu sepucat mayat. Dan, setelah Marcus cermati, tubuh kurus gadis itu dipenuhi bekas luka.

Ada banyak pertanyaan menjejali benak Marcus. Kenapa Cecilia pura-pura buta? Kenapa dia selalu diam?

Perasaan Marcus jadi sangat terganggu.

Dia pikir keinginannya memiliki Cecilia hanya didasari hasrat saja.

Tetapi kini timbul dorongan kuat untuk melindungi, seolah gadis itu barang berharga bagi Marcus. Marcus ingin mengunci Cecilia di dalam brankas. Agar tidak ada orang selain Marcus yang bisa melihatnya.

Ketika Cecilia siuman, hari sudah pagi.

Cecilia menoleh, mendapati Marcus yang sedang menatapnya intens. Marcus diam bagai mematung. Dia menunggu Cecilia bicara lebih dulu.

“Apa saya akan mati di sini?”

“Mati?”

“Karena saya telah membohongi Tuan.”

“Nona, aku pebisnis, bukan pembunuh.”

Kemudian hening merebak di antara mereka. Kedua orang itu terdiam, hanya bertukar pandang. Wajah Cecilia masih pucat, sedatar permukaan kaca.

“Ibu tirimu menyuruhmu pura-pura buta?” tanya Marcus.

“Tidak,” jawab Cecilia.

“Lalu?”

“Saya pura-pura buta agar ibu tiri saya berhenti menyiksa saya.”

Karena Marcus kembali terdiam, Cecilia melanjutkan.

“Ibu tiri saya menyiksa saya bukan untuk membunuh saya, tapi untuk membuat saya gila. Setiap kali saya hampir mati, ibu tiri saya menyembuhkan saya. Hanya untuk menyiksa saya lagi.”

Kata-kata Cecilia mengentak jantung Marcus.

“Tapi bukan itu yang membuat saya benar-benar dendam ….”

Kali ini, raut wajah Cecilia berubah. Bibirnya bergetar menahan ledakan emosi.

“Ibu tiri saya mengkhianati ayah saya dan membunuhnya! Hanya saya yang bisa membuktikan bahwa ibu tiri saya bersalah! Izinkan saya pergi! Saya harus membalas kejahatan ibu saya dan kekasih gelapnya!”

Kepala Cecilia tertunduk. Air mata berjatuhan ke pangkuan.

Sebenarnya, inilah yang Marcus inginkan, membuat Cecilia memperlihatkan wajah aslinya.

Tapi sekarang kenapa Marcus merasa geram melihat gadis itu menangis seperti ini?

“Aku sudah bilang padamu, aku yang akan menolongmu, Cecilia.”

Marcus terlihat sangat marah sekarang.

“Dasar bodoh,” umpat Marcus. “Seharusnya kau manfaatkan situasi ini.”

“Apa maksud Anda?” Cecilia mengerutkan dahi.

“Pikirkan kenapa aku berusaha menebusmu dari Travis.”

“Bukankah karena Anda ingin tidur dengan saya?”

Marcus tidak menjawab. Dia beranjak seraya berdecak kesal. Marcus masuk ke kamar mandi untuk membasuh otaknya yang mendidih dengan air dingin.

“Tuan!” Cecilia menggedor pintu kamar mandi. “Kita masih belum selesai bicara!”

Marcus mengabaikannya. Cecilia ternyata keras kepala. Dia tetap membuka pintu kamar mandi walaupun Marcus tidak berbusana.

“Tolong jangan bocorkan rahasia saya pada adik Tuan! Adik Tuan akan membunuh saya!”

Marcus sibuk mengeramas rambut. Cecilia pun membuka pintu shower box.

“Baiklah! Saya akan terus melayani Tuan! Tapi tolong jaga rahasia saya!”

Marcus menyeringai melihat betapa putus asanya Cecilia sampai berani menawarkan kehormatannya. Marcus tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia menarik Cecilia masuk ke shower box dan menyuruh gadis itu membuktikan ucapannya.

Setengah jam kemudian, Marcus membopong Cecilia keluar dari kamar mandi. Marcus dudukkan Cecilia di kursi, lalu Marcus keringkan rambut gadis itu dengan handuk baru.

Cecilia melirik Marcus, dan ketika mata mereka bertemu, pria itu sejenak tertegun. Lantas Marcus berjongkok di hadapan Cecilia.

“Katakan isi kepalamu, Cecilia.”

Marcus memegang pipi Cecilia dan mengusap bibir tipis gadis itu dengan ibu jari.

“Tuan mencintai saya?”

Mendengar pertanyaan Cecilia, Marcus tersenyum simpul.

“Entahlah,” jawabnya. “Tapi aku suka tidur denganmu.”

***

“Bukankah kakakku tampak berbeda setelah menghabiskan dua malam bersama Cecilia?”

Dari balkon lantai dua, Travis dan Bibi Susan mengamati Marcus dan Cecilia yang sedang menyantap makan siang di pekarangan belakang.

“Sepertinya kakakku sedang jatuh cinta.”

Senyum Travis mengembang. Dia telah menemukan kelemahan Marcus. Rencananya menghancurkan reputasi kakaknya bisa dipastikan berhasil.

“Kurasa suasana damai ini akan segera berubah hiruk-pikuk.”

Travis memperingatkan Bibi Susan.

“Tapi, seandainya keluarga ini mengalami kehancuran, Bibi akan kuselamatkan. Karena kita rekan. Jangan khianati aku.”

“Baik, Tuan.”

“Terus awasi Cecilia.”

“Ya, Tuan.”

Setelah Bibi Susan pergi, Travis merogoh ponsel di saku celananya untuk menghubungi seseorang.

“Halo, Kakak Ipar, apa kabar?”

Travis menelepon Krystal, tunangan Marcus.

“Apa Kakak Ipar sangat sibuk, sampai tak sempat menemui kakakku?”

[Akhir Bab 4]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status