"Coba ulangi lagi mulutmu itu bicara apa, Sur?" Suara Bu Saroh meninggi. Bahkan wanita paruh baya itu berbicara tanpa embel-embel "Bu" seperti biasanya."Eh, eh ... kenapa marah, Bu Saroh? Aku ini bicara fakta loh. Nggak mungkin Eti sampai bunuh diri kalau punya iman."Plak ...!!!Satu tamparan mendarat dengan sempurna di pipi Bu Sur. Sorot mata Bu Saroh menguliti Ibu dan anak yang setiap hari seolah tengah mencari keributan dengannya. Dadanya bergemuruh. Napasnya tersengal mendengar tetangganya menghina putrinya padahal jelas-jelas Eti sudah meninggal."Apa-apaan kamu, Bu Saroh!" teriak Bu Sur tidak terima."Kau yang apa-apaan! Untuk apa datang kesini kalau hanya ingin menghina mayat Eti, hah?"Dada Bu Saroh naik turun. Cekalan tangan Maya dan Bu Puji seakan tidak membawa pengaruh apapun untuk kemarahannya kali ini."Mulutmu yang bau itu boleh menghinaku, Sur! Tapi harusnya kamu tau ... Eti sudah meninggal, pantas kah kamu menghakimi kematian anakku, hah?"Bu Saroh tidak bisa menahan
"Mau juga dong kayak Bu Saroh, menantunya korupsi, anaknya jual diri sampai mati, eh sekarang justru ditampung sama Mbak Maya. Mbak Maya nggak takut kalau Bu Saroh bawa sial?"Hesty yang sedang bermain tik-tok di depan rumah melirik sinis ke arah Bu Saroh yang berdiri di samping Ibu. Pagi ini, mereka berencana pergi ke Pasar Gede untuk menyiapkan acara tiga bulanan kehamilan Maya."Nggak dingin pakai baju kurang bahan, Mbak Hes?" tanya Maya mengalihkan pembicaraan. "Itu bulu ketek lebat amat kayak hutan Kalimantan. Kalau mau pakai tangtop minimal bulu ketek di cukur lah, Mbak."Hesty mengapit kedua tangannya rapat. Bibirnya cemberut karena Maya menghina keteknya di depan banyak orang. Apalagi Bu Hanum dan Dahlia yang sejak tadi membersihkan rumput-rumput di depan rumah seakan-akan enggan beranjak dari tempatnya. "Jangan body shaming deh!" gerutu Hesty kesal. "Ingat, situ lagi hamil loh!"Maya mati kutu. Ucapan seperti itu selalu saja membuatnya tidak bisa berkutik. Adat di kotanya ma
Dahlia menutup mulutnya yang hampir menyemburkan tawa. Bagaimanapun, sedikit banyak sikapnya sudah mulai berubah sejak tidak bergaul lagi dengan Bu Sur. Pun Bu Hanum, wanita paruh baya yang masih terlihat segar itu mulai jarang memperlihatkan ke-julid-annya. Fix, bobrok Perumahan Citra Kencana memang terletak pada Bu Sur. Andai saja Ibu dari Hesty itu bisa menjaga mulut, bisa dipastikan para tetangga hidup saling berdampingan tanpa menghinakan. "Eh, dibantu ayo, ibu-ibu!" ucap salah seorang polisi. Kentara sekali tingkahnya yang kikuk ketika hendak membantu Hesty yang saat ini terbaring pingsan di depan rumah. "Kok malah bengong. Ayo dong, ditolong tetangganya!"Dahlia, Bu Hanum, Bu Saroh dan Ibu segera mengangguk cepat. Tapi suara Maya menghentikan langkah empat wanita yang sudah bersiap di depan tubuh Hesty."Pak, daripada empat ibu-ibu ini menggotong tubuh Mbak Hesty, bagaimana kalau Bapak saja yang mengangkatnya masuk ke dalam rumah. Tenaga empat wanita setara dengan satu pria p
"Rey, jangan mengambil keputusan disaat emosi," tegur Bu Sur. Kekejaman mulut yang selama ini kerap ia lontarkan di depan banyak orang seketika menguap begitu saja. Bu Sur tidak berdaya menghadapi permasalahan yang terjadi apalagi rumah yang mereka tempati kini berada dalam pengawasan Bank. "Kamu tau kan, Rey, kalau rumah kita dalam pengawasan Bank. Kalau kamu dipenjara, bagaimana Ibu bisa bayar cicilan rumah?"Reyhan menarik ujung bibirnya sinis. Sejak dulu sampai kini, ia hanya dianggap sebagai mesin uang, bukan menantu apalagi anak sendiri. "Gampang, Ibu suruh saja anak Ibu yang cantik itu untuk jual diri," dahut Reyhan enteng. "Bukankah dia cantik, tidak sulit baginya untuk memikat pria-pria hidung belang.""Jaga mulutmu, Mas!" bentak Hesty. "Aku masih punya harga diri, kau pikir aku se-hina itu, hah?!"Bu Sur lagi-lagi mengurut kening yang makin terasa pening. "Rey, pikirkan anak kalian. Dia masih bayi, masih butuh orang tua lengkap.""Ibu ini kenapa sih?" gerutu Hesty tidak sen
"Mbak Hesty yakin kalau Bu Saroh bilang begitu?" Maya pura-pura terkecoh. "Siapa tau kamu salah dengar, Mbak," ucapnya lagi."Aku ini masih muda, Mbak Maya, mana mungkin salah dengar. Nih buktinya aku bela-belain keluar tenaga buat bantu acara syukuran tiga bulanan kamu. Sekarang kamu tau kan, Mbak, bedanya memperkerjakan ART muda sama ART tua," katanya menggebu-gebu.Maya manggut-manggut menatap wajah Hesty yang nampak sekali puas menghasut dirinya. "Bu, Bu Saroh!" Bu Saroh yang terlihat mondar-mandir di ruang tamu pun menoleh. Wanita paruh baya itu berjalan mendekati Maya dan menelisik Hesty yang berdiri pongah di samping majikannya. "Ada apa, Mbak? Apa suguhannya kurang?" tanya Bu Saroh. Maya menggeleng. "Bu Saroh dari mana saja?"Bu Saroh kaget. Untuk pertama kalinya Asisten Rumah Tangga Maya itu terlihat pucat sebab suara majikannya yang terdengar ketus."Ini kenapa Mbak Hesty dibiarkan bantu-bantu, Bu? Dia tamu loh," ucap Maya. "Loh, anu ... eh, saya ....""Mbak May, sudah ja
Keesokan harinya... "Hes ... Hesty!"Hesty yang baru saja bangun dibuat kaget dengan teriakan Sang Ibu. "Hesty, bangun!" teriak Bu Sur lagi.Dengan langkah malas dia membuka pintu kamar dan mendapati Sang Ibu sudah berdiri dengan rambut acak-acakan serta kedua matanya sembab."Ada apa sih, Bu?" Hesty menggerutu. "Ini masih pagi loh!""Pagi gundulmu!" hardik Bu Sur marah. "Anak orang lain sudah pada berangkat kerja tapi kamu malah baru bangun. Ingat, Hes, sekarang kamu sudah nggak punya suami, siapa yang mau nanggung semua biaya kamu sama anakmu itu!" "Ck!" Hesty berdecak. "Kenapa teriak-teriak, cuma mau bangunin aku dan ngingetin kalau aku harus kerja karena sudah nggak punya suami?"Bu Sur seketika mengingat tujuannya. "Bukan, Hes! Itu ... itu ... kalung sama gelang ibu ... hilang!""Hah?!""I-- iya. Hilang!""Ibu nggak salah naruh kan?" selidik Hesty. "Mungkin ada di lemari.""Justru itu, semua perhiasan memang selalu ada di dalam lemari, Ibu sudah jarang pakai karena takut diambi
Hesty memekik kaget. "Bapak gila? Mobil itu aku beli dengan harga 70 juta dan Bapak lepas cuma 35 juta?!"Pak Bambang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sementara Bu Sur megap-megap mendengar gelang dan kalungnya yang ternyata dicuri suami sendiri."Ya gimana lagi, lakunya cuma segitu, Hes ... Lagipula Bapak dapat ganti mobil baru, ini kredit lima tahun, cicilan perbulannya cuma 4 juta. DP juga murah loh, Hes, 50 juta doang.""Doang?"Napas Hesty memburu. Kepalang malu, dia berkacak pinggang di depan para tetangga menghardik pria yang tidak lain adalah Bapaknya sendiri."Pak, kalau gak bisa cari uang, minimal jangan buang-buang uang!" hardiknya geram. "Bapak tau nggak, mobil itu atas nama Mas Rey, gimana kalau tiba-tiba dia keluar dan mau ambil mobilnya. Gimana?""Ya bilang saja kalau mobil itu sudah jadi hak milik anak kamu. Kamu mau dicerai tanpa mendapatkan harta apa-apa? Pinter dikit lah, Hes," seloroh Pak Bambang. "Langkah Bapak ini sudah benar, nanti kamu tinggal cari duit bu
"Mbak Eti ...." Suara Nabila tergantung di udara Bu Saroh mengangguk lemah. "Eti sudah meninggal, Nak. Tolong, maafkan semua kesalahannya yang sudah menghancurkan rumah tangga kamu. Maafkan anak Ibu," tutur Bu Saroh sendu. "Eti ... dia bunuh diri."Nabila menutup mulutnya dengan dua tangan sementara suaminya menggendong bayi yang kini terlihat sangat aktif sekali dan berkata, "Saya ijin bawa anak-anak keluar sebentar, anak-anak lebih baik tidak mendengar hal-hal yang cukup sensitif. Bicarakan dengan baik-baik semua unek-unek yang masih tersisa di hati kamu, Sayang. Bagaimanapun menyimpan dendam itu tidak baik untuk hatimu. Mengerti?"Nabila mengangguk ragu. Kedua matanya terlihat penuh dengan air mata. "Ayo, Sayang, ikut Ayah!" Anak laki-laki itu mengangguk dan menggandeng jemari pria bertubuh tinggi di sebelahnya. Mereka melangkah beriringan keluar rumah dan bermain di halaman rumah Maya yang memang cukup luas untuk sekedar bermain lari-larian."Jangan duduk di bawah, Bu," pinta M