"Kere?" sela Tomi dengan terkekeh pelan."Saya rasa urusan saya sudah selesai disini. Maaf, Pak, Bu, saya kembalikan Astri pada kalian. Maaf, jika selama menjadi suami Astri saya tidak bisa memenuhi kebutuhan secara finansial.""Jangan gegabah, Tom," ujar Rukun."Tidak, Pak. Bahkan talak tiga sudah saya ucapkan pada Astri beberapa hari yang lalu. Astri sendiri yang meminta untuk bercerai, dan ... saya kabulkan permintaannya."Tubuh Sumi luruh di lantai. Fani dengan sigap membantu Ibunya berdiri dan dibawa duduk di atas sofa. Sumi menghampiri Leha dan memeluk besannya itu dengan erat, "Maafkan Astri, Bu Leha. Maafkan dia," ujar Sumi di sela-sela tangisnya."Saya sudah memaafkan Astri, Bu.
Hesti berlari, dia berteriak meminta tolong padahal banyak lelaki di depan rumahnya yakni anak buah Ki Kusumo.Beberapa warga datang karena teriakan Hesti begitu lantang. Melihat banyak lelaki asing di depan rumah Eni, salah seorang tetangga memanggil Pak RT untuk datang."Apa pernikahannya akan dilangsungkan sekarang, Mbak Hesti?" tanya Pak RT ragu, mengingat yang datang bukanlah Brian melainkan orang-orang berperawakan besar dan banyak tato di lengannya."Pernikahannya, ba ... batal, Pak RT," jawab Hesti menahan air matanya agar tidak jatuh."Tapi orang-orang itu ....?""Dia rentenir dan anak buahnya, Pak RT. Tolong bantu kami ...."
Mereka semua tertawa termasuk Ki Kusumo. Pak RT yang melihat hal ini bergegas mendekat dan meminta mereka untuk duduk dan membicarakan semuanya baik-baik."Kenapa keluarga ini banyak sekali masalah," gumam Pak RT lirih sambil memijit pelipisnya."Jadi Mas Brian menggadaikan sertifikat sawah Bu Eni pada sampean, Ki?"Kusumo mengangguk. Kasak-kusuk para tetangga yang melihat di luar mulai santer terdengar. Rahang Hesti mengeras mendengar nama Brian disebut. Dia tiba-tiba begitu membenci Brian karena merasa ditipu oleh lelaki miskin yang pura-pura kaya itu."Kalian ambil sawahnya. Saya dan Ibu tidak butuh!" tutur Hesti sambil membuang muka."Tapi perjanjiannya tidak begitu, Cantik!" Kusumo m
"Apa kabar, Mas Vano?" tanya Ki Kusumo seraya menjabat tegas tangan Vano."Alhamdulillah, kami baik-baik saja. Mari mampir dulu, Pak. Ini rumah mertua saya," ujar Vano seraya menunjuk rumah Leha tepat di depan dia berdiri.Kusumo melihat rumah Leha sejenak dan menyunggingkan senyum tipis saat matanya bersiborok dengan mata Halimah. Istri Vano itupun mengangguk sopan lalu membawa Leha dan Karim masuk lebih dulu ke dalam rumah."Kapan-kapan saja, Van. Ini saya lagi ada urusan sama tetangga kamu.""Kalau boleh tau, siapa, Pak?"Ki Kusumo terkikik dan berbisik di telinga Vano, "Hesti. Anak sulung Bu Eni. Kamu kenal?"
"Dek!" panggil Vano dari depan rumah. Halimah berjingkat, lalu berpamitan pada Diah untuk masuk."Ingat kata-kataku, Hal. Bisa jadi suamimu itu kayak pacar Hesti. Pinjam uang dengan surat perjanjian. Hesti sampai histeris loh tadi. Penasaran aku," seloroh Diah mencoba menakut-nakuti Halimah.Halimah hanya tersenyum tipis lalu berlari kecil menuju ke rumahnya. Hatinya diliputi kecemasan. Melihat keakraban Vano dan Ki Kusumo tadi, seolah menjelaskan jika mereka bukan hanya sekedar kenal sebagai Bos dan pelanggan Cafe tetap saja. Tapi ada hal lain, dan Halimah tidak tau itu."Siapa laki-laki tadi, Mas? Bu Diah bilang dia rentenir?" selidik Halimah."Emang. Dia emang rentenir. Kesini ada urusan katanya," jawab Vano datar. Dia tidak ingin Halimah menc
Eni merampas gunting di tangan Hesti dan melemparnya ke segala arah. Hesti menunduk. Dia menangis tapi tidak bersuara. Dunianya hancur saat tau jika Brian ternyata hanya memanfaatkan dirinya, dan sekarang ... dia justru harus menjadi penebus utang pada Ki Kusumo."Biarkan aku mati, Bu," lirih Hesti.Eni memukul kepala Hesti dengan keras. Terdengar rintihan dari mulut putri sulung Eni itu dengan satu tangan memegang kepalanya yang terasa sakit."Jangan bodoh! Kamu kira dengan kamu mati, maka semuanya selesai, begitu?" teriak Eni lantang. "Memang ... selesai bagi kamu, tapi tidak bagiku, Hes. Kamu yang datang kesini sama Brian brengsek itu dan merengek-rengek minta sertifikat sawah ... tapi apa sekarang yang kudapat? Bukannya mobil mewah kayak punya Halimah ... justru lelaki sialan it
"Ka ... kamu hamil?"Arini mengangguk ragu. Jemarinya mengelus perut yang masih rata di depan Eni. Sebisa mungkin Eni menahan diri agar tidak murka. Justru senyuman bahagia dia lontarkan sembari mencari cara bagaimana agar janin Arini bisa luruh."Sialan! Bikin tambah malu aja nih anak kalau sampai para tetangga tau dia hamil," batin Eni cemas."Aku harus bisa menggugurkan kandungannya." Eni bermonolog dalam hati dengan kedua mata memicing menatap Arini yang tengah bahagia sekali bisa mengatakan kabar kehamilannya pada Ibu Tarjo."Tapi, Rin ... apa nggak sebaiknya kamu gugurkan dulu bayi itu?""Tidak akan!" sahut Arini cepat. "Janin ini adalah penguat hubungan cintaku dengan Kang Ta
Fani menatap Halimah dengan napas memburu. Sebelum suasana semakin runyam, Astri menarik kasar tangan Fani dan berpamitan untuk pulang pada keluarga Leha.Halimah mendesah. Dia merasa banyak sekali masalah yang mendatangi hidupnya kini. Terbesit keinginan untuk membawa Bapak dan Ibunya untuk tinggal di kota saja. Untuk apa hidup di desa jika suasananya sudah tidak senyaman dulu lagi."Sabar, Nak. Satu per satu masalah ini pasti menemukan jalan keluarnya," hibur Leha pada Halimah.Mereka semua diam, bergelut dengan pikiran masing-masing, hingga suara telepon genggam Halimah berbunyi nyaring di ruangan."Mas Vano," gumam Halimah.Dengan cepat dia menggeser ikon ke kanan, terdengar kericuhan di seberang sana yang tertangkap di ponsel Halimah."Ribut sekali, Mas. Apa baik-baik saja?" Karim dan Leha mendekat, begitu juga Tomi, mereka benar-benar khawatir dengan keadaan Vano yang sedang men