"Saat itu ... Agung berlari menuju ke rumah saya dan mengatakan jika Bapak sedang pingsan. Tanpa berpikir panjang, saya mengikuti Agung untuk memastikan keadaan Bapak. Saya memang bodoh ... padahal sudah jelas sekali jalan yang kami tempuh menuju hutan ... tapi saya masih saja berpikir positif saat itu karena memang ada akses jalan dari hutan menuju ke sawah." Halimah menjeda kalimatnya, dia meraup udara sebanyak-banyaknya untuk menetralisir perasaan yang semakin sulit dia kendalikan.Melihat raut muka Halimah yang mulai tidak bersahabat, Vano menggenggam jemari istrinya dengan lembut dan mengusapnya perlahan, "Pelan-pelan saja, Dek. Kalau merasa sulit kamu ceritakan ... kita bisa kok minta waktu sebentar," ujar Vano cemas.Halimah menggeleng dan tersenyum tipis. Tarjo menatap Halimah dengan tatapan yang sulit diartika
"Sudah ... cukup. Kami sudah mencatat semua laporan kesaksian yang ada di TKP. Tunggu surat panggilan dari kami untuk menghadiri putusan hakim di pengadilan."Satu per satu mereka keluar dari ruangan. Tarjo dibawa kembali untuk masuk ke dalam sel besi. Sebelum berbalik, Tarjo mengedipkan satu matanya pada Halimah membuat Vano hampir saja kehilangan kesabarannya."Bajingan!" umpat Vano. Halimah menarik lengan Vano dengan cepat dan segera pergi dari ruangan."Lihat saja. Mereka pasti akan dapat karma karena sudah membuat Tarjo dipenjara, padahal sudah jelas Tarjo bilang kalau wanita gatal itu yang menggodanya."Set ....Halimah membalik tubuh Eni hingga menghadap tepat di tubuhnya. Dilayang
"Bohong!" ujar Astri sedikit menekan kalimat yang keluar dari mulutnya. "Semua yang Mas Tomi katakan itu bohong." Setelah mengatakan demikian, dia justru menangis histeris membuat Rukun dan Sumi kelabakan.Fani menatap nyalang ke arah Tomi dengan napas memburu. Dilayangkannya satu tamparan keras di pipi Tomi tanpa bisa mengelak lebih dulu. Melihat hal itu, Karim dan Leha bangkit, sementara Vano menarik tangan Tomi, takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi.Alih-alih marah, Tomi justru tertawa pelan dan mengusap pipinya lembut, karena tamparan Fani yang menyisakan sensasi perih."Kebohongan apa lagi yang ingin kamu ciptakan, Mbak?" tanya Halimah. Dia menatap nanar pada Astri yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. "Belum puaskah kamu menghancurkan Mas Tom
"Kere?" sela Tomi dengan terkekeh pelan."Saya rasa urusan saya sudah selesai disini. Maaf, Pak, Bu, saya kembalikan Astri pada kalian. Maaf, jika selama menjadi suami Astri saya tidak bisa memenuhi kebutuhan secara finansial.""Jangan gegabah, Tom," ujar Rukun."Tidak, Pak. Bahkan talak tiga sudah saya ucapkan pada Astri beberapa hari yang lalu. Astri sendiri yang meminta untuk bercerai, dan ... saya kabulkan permintaannya."Tubuh Sumi luruh di lantai. Fani dengan sigap membantu Ibunya berdiri dan dibawa duduk di atas sofa. Sumi menghampiri Leha dan memeluk besannya itu dengan erat, "Maafkan Astri, Bu Leha. Maafkan dia," ujar Sumi di sela-sela tangisnya."Saya sudah memaafkan Astri, Bu.
Hesti berlari, dia berteriak meminta tolong padahal banyak lelaki di depan rumahnya yakni anak buah Ki Kusumo.Beberapa warga datang karena teriakan Hesti begitu lantang. Melihat banyak lelaki asing di depan rumah Eni, salah seorang tetangga memanggil Pak RT untuk datang."Apa pernikahannya akan dilangsungkan sekarang, Mbak Hesti?" tanya Pak RT ragu, mengingat yang datang bukanlah Brian melainkan orang-orang berperawakan besar dan banyak tato di lengannya."Pernikahannya, ba ... batal, Pak RT," jawab Hesti menahan air matanya agar tidak jatuh."Tapi orang-orang itu ....?""Dia rentenir dan anak buahnya, Pak RT. Tolong bantu kami ...."
Mereka semua tertawa termasuk Ki Kusumo. Pak RT yang melihat hal ini bergegas mendekat dan meminta mereka untuk duduk dan membicarakan semuanya baik-baik."Kenapa keluarga ini banyak sekali masalah," gumam Pak RT lirih sambil memijit pelipisnya."Jadi Mas Brian menggadaikan sertifikat sawah Bu Eni pada sampean, Ki?"Kusumo mengangguk. Kasak-kusuk para tetangga yang melihat di luar mulai santer terdengar. Rahang Hesti mengeras mendengar nama Brian disebut. Dia tiba-tiba begitu membenci Brian karena merasa ditipu oleh lelaki miskin yang pura-pura kaya itu."Kalian ambil sawahnya. Saya dan Ibu tidak butuh!" tutur Hesti sambil membuang muka."Tapi perjanjiannya tidak begitu, Cantik!" Kusumo m
"Apa kabar, Mas Vano?" tanya Ki Kusumo seraya menjabat tegas tangan Vano."Alhamdulillah, kami baik-baik saja. Mari mampir dulu, Pak. Ini rumah mertua saya," ujar Vano seraya menunjuk rumah Leha tepat di depan dia berdiri.Kusumo melihat rumah Leha sejenak dan menyunggingkan senyum tipis saat matanya bersiborok dengan mata Halimah. Istri Vano itupun mengangguk sopan lalu membawa Leha dan Karim masuk lebih dulu ke dalam rumah."Kapan-kapan saja, Van. Ini saya lagi ada urusan sama tetangga kamu.""Kalau boleh tau, siapa, Pak?"Ki Kusumo terkikik dan berbisik di telinga Vano, "Hesti. Anak sulung Bu Eni. Kamu kenal?"
"Dek!" panggil Vano dari depan rumah. Halimah berjingkat, lalu berpamitan pada Diah untuk masuk."Ingat kata-kataku, Hal. Bisa jadi suamimu itu kayak pacar Hesti. Pinjam uang dengan surat perjanjian. Hesti sampai histeris loh tadi. Penasaran aku," seloroh Diah mencoba menakut-nakuti Halimah.Halimah hanya tersenyum tipis lalu berlari kecil menuju ke rumahnya. Hatinya diliputi kecemasan. Melihat keakraban Vano dan Ki Kusumo tadi, seolah menjelaskan jika mereka bukan hanya sekedar kenal sebagai Bos dan pelanggan Cafe tetap saja. Tapi ada hal lain, dan Halimah tidak tau itu."Siapa laki-laki tadi, Mas? Bu Diah bilang dia rentenir?" selidik Halimah."Emang. Dia emang rentenir. Kesini ada urusan katanya," jawab Vano datar. Dia tidak ingin Halimah menc