Begitu sampai di kampus, Ervi langsung menuju loker akademik, menanyakan hal-hal yang disebutkan di telepon tadi. Matanya terbelalak ketika pihak kampus sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Ervi, lalu ia menghubungi Barra Farzan. "Ada apa, Er?" "Maafkan aku, Uda. Aku pergi ke kampus meninggalkan Ibu sendiri di rumah. Tadi ada seseorang yang menghubungi nomor ponselku, dia mengatakan ada hal yang perlu aku urus di akademik. Ternyata, saat aku menanyakan pada pihak kampus, pihak kampus justru terlihat bingung dan tidak paham dengan ... ." Barra Farzan memutus sambungan telepon begitu saja, ia sudah bisa menebak siapa gerangan yang meneror Ervi. Barra berbalik arah, mengurung niatnya untuk mencari tempat usaha baru. "Kita mau kemana? Bukannya kita akan pergi ke jalan Kaki Lima?" Pikiran Barra sudah dirundung seringai licik Hiro dan kemalangan Neini. Barra melaju penuh kecemasan. Sampai-sampai tidak kuasa menjawab pertanyaan Astrata. Gadis itu segera memukulkan telapak tangannya k
Sehari kemudian, Neini baru sadarkan diri. Sorot mata sayu dan tua mengabsen satu per satu. Semua tampak di pandangan. Anak dan menantunya masih setia menunggu dengan raut wajah lelah juga lesu. Neini menarik napas panjang untuk memberi sedikit ruang di dada yang terasa agak sesak. "Alby, Ibu mau minum." Mintanya, menyentuh tangan Alby yang paling dekat dengan ranjang. Suara itu bagai toa yang mengejutkan. Mereka kompak berdiri dan mendekat. Menanyakan kondisi sang Ibu yang masih tampak jelas lemahnya. "Ibu sudah sadar, syukurlah. Biar Barra panggilkan dokter dulu." Barra berbalik, Alby mengambil minum. Lalu Ervi dan Astrata memijat Neini. Neini menggeleng, lalu berkata, "Tidak perlu. Ibu hanya ingin minum." Barra berhenti dan kembali duduk. Menunggu Alby membantu Neini untuk minum. "Ibu ingin bicara dengan Barra. Hanya dengan Barra." Neini menatap Barra Farzan. Setelah semua keluar, Neini mulai melempar tanya pada anak sulungnya itu. "Siapa Hiro?" Dua kata yang membuat Barra
(Mohon skip untuk anak di bawah umur) Barra mengangkat telepon masuk. "Ada apa, Sayang?" "Kakak di mana? Kalo nggak sibuk, jemput aku di rumah.” “Loh, kamu sudah pulang?” “Bukan pulang sebenarnya, Kak. Tadi pas dokter bilang kondisi Ibu sudah stabil, aku pamit mengurus administrasi. Terus aku pergi ngambil uang. Pas keluar dari ATM, eh, malah hujan. Bajuku basah kuyup, Kak. Ini barusan selesai mandi.” “Aku pulang sekarang.” Entah terbuat dari apa hati seorang Astrata Bustomi. Kebaikannya seolah semakin bercahaya. Selalu saja menjadi jalan keluar untuk keluarga Barra yang berada di titik bawah. Selain merasa sakit sendiri, Barra juga malu karena ia belum bisa memberi apa pun untuk Astrata. “Aku mulai semua dari sini, Sayang. Aku janji nggak akan salah langkah lagi.” Barra melajukan Vespa menuju rumah. Di tengah jalan, hujan kembali turun. Mengguyur tubuh Barra yang berlumur dosa. Barra menangis, menyesali semua perbuatan konyol yang ia lakukan. Menyakiti empat perempuan sekaligu
Ketika sampai di rumah, Barra segera menyambar kunci Vespa. Namun, saat tangannya sudah menempel pada knop pintu, ponselnya berdering keras. Cepat Barra merogoh tas dan menarik benda tersebut dari dalam. Awalnya ia mengira si penelepon adalah seseorang yang hendak mengabarkan keberadaan Astrata istrinya.“Alby ... ?” gumam Barra sedikit kecewa.“Uda di mana? Kak Berli ponselnya nggak bisa ditelepon. Padahal tadi dia bilang pulang sebentar mau ambil uang. Buruan ke sini, cepat ya, Da. Jangan lupa bawa uangnya, kasihan Ibu.”Belum sempat dijawab oleh Barra, Alby sudah memutus sambungan telepon. Barra mengingat semua kalimat Astra sore tadi, ia pun kembali ke kamar mencari uang dari Astra. Hatinya mendadak nyeri mengingat betapa baiknya sang istri terhadap keluarganya. Namun, itu bukan saat untuk menyesali semua kejadian. Barra harus secepatnya membawa uang itu ke rumah sakit agar Neini segera dirawat intensif.Barra melajukan kendaraan membelah gerimis bersama sesal yang tiada berujung.
Barra menangis di atas gundukan tanah merah. Ervi pun melakukan hal sama, ia memeluk Barra dari samping sambil terisak pilu. Lain dengan Barra dan Ervi, Alby menahan semua gemuruh menyakitkan dalam hati. Ia segera pergi dari sana, tanpa mengajak kedua saudaranya ikut. Setiap ingat kejadian di rumah sakit, Alby seolah semakin benci dengan Barra Farzan.Apa pun alasannya, ia tahu pasti Barra Farzan membikin ulah lagi. Terbukti dari sang kakak ipar yang tidak hadir di pemakaman, pun tak berada di rumah mereka tinggal.Alby melangkah keluar dari pemakaman, air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya. Ia tak sanggup terlalu lama menahan sesak seorang diri.“Maafin aku, Bu ... aku nggak bisa jaga Ibu dengan baik,” ucap Alby penuh penyesalan. Pria itu meninju pagar besi pemakaman yang tingginya setara dada.“Ini takdir Ibu, jangan menyesali apa yang sudah terjadi.” Tiba-tiba Barra merangkul bahu Alby dari belakang.Sontak, Alby yang memang sedang marah, meraih tangan Barra dan melempar tubuh
Dua Minggu berlalu Barra lewati di sebuah ruang pengap tanpa cahaya. Selama itu pula, ia tak pernah tahu dunia luar. Wajah tampannya tertutup jambang dan lebam hampir di seluruh sisi. Barra disandera oleh Hiro. Tubuh gagah Barra tidak lagi sekuat dulu. Kini untuk berdiri saja Barra kesulitan. Beberapa kali mencoba kabur dari tempat laknat itu, tetapi selalu gagal dan mendapat hukuman yang membikin ia semakin tak berdaya.Ia bahkan tidak pernah tahu di mana ia berdiri saat ini. Sebab, ketika Hiro membawa Barra ke dalam ruangan pengap itu, Barra dibuat tak sadarkan diri. Ia baru menyadari dirinya diambang kematian kala membuka mata. Entah lah, ia tak pernah tahu lagi siang dan malam. Rasanya setiap detik dan menit yang dilalui tetap sama, yaitu gelap dan mencekam. Setiap hari ia hanya mempersiapkan diri untuk kematian. Ia menyerah, tenaganya sudah tak memungkinkan untuk lari dari orang-orang berhati iblis itu.Ya Tuhan ... kalau memang aku masih diberi kesempatan hidup lebih lama, tolon
Beberapa sekon setelah kepergian Hiro, seorang pengawal datang dan menyeret tubuh Barra dengan kasar. Antara sadar dan tidak, Barra jalan terseok-seok. Namun, ketika cahaya mulai menyilaukan mata, Barra berusaha berdiri seimbang.Sebelum membuka pintu, kepala Barra ditutup menggunakan kain. Seakan ia adalah terdakwa kematian. Jantung Barra mulai berdegup, pikirannya kacau mengingat kesalahan besar pada sang istri. Ia belum ingin meregang nyawa sia-sia. Harapannya besar untuk bisa meminta pengampunan Astrata secara tulus – perempuan yang amat Barra cintai.Barra dibawa naik – keluar dari ruang pengap yang berada di bawah tanah rumah megah nan mewah milik Annisa. Ya, ruang rahasia itu sebenarnya ada di dalam rumah megah.Usai Nayumi di kurung di salah satu kamar tamu lantai bawah, Barra diseret naik ke kamar Annisa. Ketika berada di luar pintu kamar, satu per satu pakaian Barra Farzan dilucuti hingga menyisakan celana bagian dalam saja. Barra dilempar oleh pengawal, bersamaan dengan kai
Niat baik yang dilakukan dengan cara salah, tentu akan menimbulkan dampak buruk di kemudian hari. Ada konsekuensi di dalamnya. Mau tidak mau, Barra harus menanggung sendiri buah dari semua kesalahan.Keluarga yang ia perjuangkan pun tidak sedikit pun tergerak untuk mencari keberadaan Barra yang sudah menghilang beberapa hari. Ervi sang adik perempuan, tidak bisa berbuat banyak. Sekalipun ia telah berusaha menanyai beberapa teman sang kakak sulung, hasilnya nihil.Alby yang notabene tahu semua asal mula timbulnya masalah, tak mau pusing. Ia terlanjur marah dengan Barra Farzan, dan melupakan seluruh kebaikan sang kakak.Usai mengantar Annisa ke rumah sakit, Nayumi mengizinkan Barra pergi. Gadis itu mengusulkan agar Barra menjauh dari Kota Jakarta untuk menghindari kejahatan Hiro. Hari ini mereka berhasil lepas dari perangkap iblis berwujud manusia tersebut. Namun, di lain waktu belum tentu.“Kak ... sebaiknya Kakak pergi dari kota ini. Aku nggak yakin Papi akan menyerah begitu saja.”“A