Share

BAB 8 Pernikahan Stella Dan Aksa

Beberapa hari kemudian, rumah besar Roman dipenuhi oleh beberapa orang yang sibuk menyiapkan acara pernikahan Stella.

Mereka adalah tenaga profesional yang ditunjuk untuk menangani dekorasi dan berbagai keperluan lainnya untuk acara itu.

Di dalam kamar Stella, gadis itu duduk di tepi tempat tidur sambil merenung. Wajahnya tampak sedih dan seperti tidak rela.

Sementara itu, Livy berjalan dari jendela ke arah Stella, lalu duduk di sampingnya.

"Banyak pria yang mendekatimu dengan status sosial yang berbeda-beda. Mereka tampan dan kaya, tapi kamu menolaknya. Namun, bagaimana mungkin ayahmu mencarikan suami untukmu seorang mandor?" tanya Livy.

Stella memang memiliki standar yang tinggi. Tapi mengapa ayahnya justru mencarikan calon suami yang statusnya lebih rendah dari dirinya?

Stella menggelengkan kepalanya, "Aku juga tidak tahu kenapa aku dijodohkan dengannya. Padahal di luar sana masih banyak lagi pria tampan dan kaya raya. Tapi kenapa harus dia?"

Livy memandang Stella dengan penuh simpati, “Mungkinkah ayahmu melihat sesuatu yang tidak kita lihat?”

Stella menggelengkan kepalanya dengan hampa. "Apa yang tidak bisa kita lihat? Aku punya mata untuk melihatnya secara langsung. Juga punya informasi lengkap tentang latar belakangnya. Apa lagi yang tidak bisa aku lihat?"

Livy kembali berpikir sebelum akhirnya berkata, "Terkadang cinta bukan soal penampilan atau harta benda, tapi soal hati. Aku rasa ayahmu mempunyai penilaian tersendiri mengenai Aksa."

"Entahlah, menolak juga tidak bisa. Mau tidak mau harus menjalani," kata Stella sambil menghela napas panjang.

Dia menyandarkan kepalanya di bahu Livy, meredam semua rasa yang ia rasakan saat ini.

Ada beberapa hal yang hanya bisa diterima tanpa banyak berprotes.

Sementara itu, di luar kamar, persiapan pernikahan terus berlanjut.

Bunga-bunga dipasang, meja-meja dihias, dan lampu-lampu digantung dengan hati-hati. Semuanya terlihat sempurna, tapi di hati Stella, ada perasaan yang berkecamuk, yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

*****

Beberapa hari kemudian, hari pernikahan mereka akhirnya tiba.

Stella mengenakan gaun pengantin cantik berwarna putih, seolah-olah dia adalah seorang putri kerajaan yang hendak berjalan menuju altar untuk menemui pangerannya.

Gaun itu dipenuhi detail renda yang rumit, membuat setiap gerak-gerik Stella terlihat anggun dan mempesona.

Rambutnya diikat rapi di sanggul dan dihiasi bunga-bunga kecil yang melengkapi penampilannya yang sempurna.

Meski terlihat cantik, hatinya tetap berat.

Di sampingnya, Roman berdiri dengan perasaan lega sekaligus khawatir saat melihat putrinya.

Saat upacara dimulai, Stella berjalan menuju altar dengan tangan gemetar.

Di ujung altar, berdiri seorang pria pilihan ayahnya.

Pria itu adalah Aksa, seorang mandor yang berpenampilan sederhana namun tulus.

Saat mereka saling berhadapan, Stella mencoba mencari jawaban di matanya. Aksa memandang Stella dengan penuh kelembutan, seolah tahu ini adalah awal dari sesuatu yang baik.

"Stella," kata Aksa dengan suara lembut, "Aku tahu ini mungkin bukan yang kamu harapkan. Tapi aku berjanji akan selalu menjaga dan mencintaimu. Aku ingin kita membangun kehidupan yang indah bersama, tanpa terbebani dengan masa lalu atau ekspektasi berlebihan. Biarlah cinta kita tumbuh dan berkembang dengan sendirinya."

Stella terdiam sejenak menatap Aksa dengan lekat.

"Bagaimana mungkin aku menikah dengan pria seperti dirinya? Kalau bukan karena ayah, mana mungkin aku mau?" gumam Stella dalam hati.

Dengan hati yang masih bimbang, Stella mengangguk, "Baiklah," katanya pelan.

"Aku akan mencoba."

Upacara pun berlanjut, dan mereka bertukar janji.

Setelah upacara selesai, Stella dan Aksa menerima ucapan selamat dari para tamu. Roman dengan mata yang berkaca-kaca, mendekati mereka.

"Aksa, Stella, selamat sekarang kalian sudah menikah. Sudah lega rasanya beban berat di hatiku."

"Aksa, berjanjilah padaku untuk menjaga putri kesayanganku. Jaga dia baik-baik dan jangan pernah buat dia menangis. Apakah kamu bersedia?" tanya Roman menatap Aksa dengan serius.

Aksa mengangguk dengan yakin, "Aku berjanji akan menjaga dan melindungi Stella lebih dari menjaga diriku sendiri. Aku berjanji padamu, ayah."

"Bagus, bagus," Roman mengangguk dan tersenyum lega. Dia bahkan sedikit menyeka sudut matanya.

Pandangannya ganti tertuju pada Stella, "Stella, sekarang kamu sudah menikah dan menjadi istri Aksa. Kelak, kamu harus menjadi istri dan ibu yang baik untuk suami dan anakmu. Terima kasih, sudah menuruti permintaan terakhir ayah."

Stella hanya mengangguk pelan. Matanya berlinang, seperti dia enggan menerima semua ini.

Namun demi pria paruh baya di depannya, dia rela melakukan semua ini demi dia.

"Satu pesan untuk kalian berdua. Kelak, apapun yang terjadi pada kehidupan kalian, jangan pernah saling meninggalkan. Tetap menjadi satu, baik suka maupun duka. Semoga kalian bahagia," katanya sambil memeluk putrinya erat, dan mengeluarkan tangannya untuk memeluk Aksa juga.

Ketiganya berpelukan di hadapan semua orang.

Stella hanya tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan perasaannya yang campur aduk.

"Baiklah, sekarang kalian berbahagialah. Aku akan menemui para tamu yang hadir," ucap Roman sambil melepaskan mereka dan pergi dengan penuh semangat.

Ekspresinya terlihat sangat bahagia saat dia berjalan.

Stella menyaksikan ayahnya pergi dengan hati yang rumit.

Ada perasaan campur aduk, tapi dia bingung dengan perasaan itu.

Setelah itu, Stella menghela nafas panjang dan membuang muka, bersiap menerima ucapan selamat dan doa dari para tamu.

Namun, tiba-tiba suasana menjadi kacau.

Banyak orang berteriak dan langsung berkumpul.

Stella melihat ayahnya sedikit tertutupi kerumunan dan matanya langsung membelalak.

"Ayah!" Stella berteriak.

Aksa kaget dan menoleh ke arah Stella, namun gadis itu langsung berlari ke arah ayahnya.

Di rumah sakit kota Berlin, sedan seperti Mercedes-Benz dan Audi berbelok ke sana.

Puluhan orang berjas rapi turun dan panik serta berhamburan.

Stella yang masih mengenakan gaun pengantinnya menangis sambil mendorong tempat tidur pasien bersama Aksa dan para perawat, menuju ruang ICU.

"Ayah, bertahanlah," kata Stella sambil menangis.

Di belakang mereka, orang-orang berpengaruh dan bos di kota Berlin mengikuti dengan cepat.

Mereka berhenti di depan pintu ruangan.

Roman membuka matanya dan melihat Stella menatapnya dengan sedih.

"Stella, jaga dirimu baik-baik. Ingat semua pesan yang ayah berikan padamu," kata Roman lemah.

"Bantu aku menjaga Stella, ya?" kata Roman pada Aksa.

Aksa menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju.

Saat perawat membuka pintu ruang ICU, mereka langsung mendorong ranjang rumah sakit ke dalam.

Stella hendak masuk, tetapi dihentikan oleh perawat.

"Nona Yuan, mohon tunggu di luar," kata perawat itu dengan lembut.

Stella hanya bisa berdiri di depan pintu sambil menangis. Tubuhnya lemas, dan dia duduk lemas di luar ruangan.

Aksa menghampiri Stella, "Stella, ayo kita duduk di sana."

Namun Stella melambaikan tangannya dan menolak tawaran Aksa, "Jangan sentuh aku! Aku tidak mau pergi dari sini!"

Semua orang menatap mereka, tapi tidak ada yang berani mendekat.

Stella hanya menangis dalam kesedihan yang mendalam.

Aksa memandangi anggota keluarga Yuan, tetapi tidak ada satupun yang terlihat di sana.

Kening Aksa pun berkerut seketika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status