Share

BAB 9 Kematian Di Hari Pernikahan

Waktu berlalu sangat lambat, orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Roman masih menunggu di sana.

Stella sangat lelah karena menangis, hingga akhirnya tertidur.

Salah satu pria di sana memutuskan untuk mengambil tindakan.

"Bawa istrimu pulang. Biar kami yang menunggu Tuan Roman di sini. Nona Stella terlihat sangat lelah," ujarnya dengan lembut kepada Aksa.

Aksa memandang Stella yang sedang tertidur dan mengangguk setuju. Dia hendak menggendong Stella untuk membawanya pulang, namun mata Stella langsung terbuka dan menatap tajam ke arah Aksa.

"Apa yang akan kamu lakukan? Jangan manfaatkan kesempatan ini untuk menyentuhku," kata Stella dengan nada kasar, membuat Aksa terdiam.

Pria yang meminta Aksa mengantar Stella pulang segera bersuara, mencoba menenangkan situasi. "Nona Stella, sepertinya kamu lelah sekali. Pulanglah dan istirahatlah. Biarkan kami yang menunggu ayahmu," katanya dengan penuh pengertian.

Stella menggelengkan kepalanya tegas dan bangkit dari dudukannya. "Aku tidak ingin pulang. Aku ingin tinggal di sini menunggu ayah sampai dia sembuh," ujarnya dengan tekad yang bulat.

Mereka hanya saling pandang, tanpa mengatakan apapun. Stella memandang wajah semua orang di ruangan itu, keningnya berkerut karena ada sesuatu yang tidak beres diantara mereka.

Saat Stella hendak bertanya kepada mereka tentang sesuatu, pintu ruangan ICU terbuka.

"Keluarga Yuan?" kata dokter yang keluar dari ruangan ICU.

Stella segera berbalik dan melihat dokter itu, "Ya, bagaimana ayah saya, Dok?"

Dokter memandang Stella dan semua orang-orang penting itu. Dia tentu saja mengenali mereka semua.

"Nona Yuan, kami minta maaf. Kami tidak bisa menyelamatkan nyawa ayah Anda," kata dokter dengan nada sedih.

Kata-kata itu seperti kilat yang menyambar di siang bolong. Begitu keras dan mengguncangkan hati siapapun yang mendengarnya.

Tubuh Stella juga langsung membeku dan matanya terbelalak, sulit mempercayai berita yang baru saja ia terima.

Dokter itu segera menjelaskan kepada mereka, "Ada racun mematikan yang menyebar di tubuh Tuan Yuan. Racun itu sudah mencapai titik fatal, dan kami tidak dapat menyelamatkannya," kata dokter itu, menjelaskan meski dengan hati yang berat.

Stella menggelengkan kepalanya dengan keras, tidak percaya dengan kabar ini.

"Tidak, itu tidak mungkin. Ayahku pasti bisa diselamatkan. Ayahku pasti bisa diselamatkan!" serunya dengan suara yang penuh emosi, tidak sanggup menerima kenyataan yang pahit.

Tanpa menunggu lebih lama, Stella segera melangkah melewati dokter itu, bergegas menuju tempat ayahnya terbaring di ruang ICU.

Aksa yang juga tersentak oleh berita ini, masuk dan mengikutinya.

Di dalam ruangan, Stella berhenti menatap pria yang terbaring dengan wajah pucat seperti kertas. Air mata Stella langsung mengalir tanpa henti.

"Ayah–" tangisannya pecah dengan keras, menciptakan suara yang penuh dengan kepedihan. Dia mendekat dan memeluk ayahnya yang sudah tak bernyawa itu.

Tangisannya menjadi semakin histeris, memenuhi ruangan dengan kesedihan yang mendalam.

Kehilangan ayah adalah pukulan berat bagi Stella, dan saat ini dia harus menghadapi kesedihan itu.

Di luar ruangan, orang-orang yang berpakaian rapi juga terlihat sedih, meskipun tidak ada suara yang keluar dari bibir mereka. Hari ini menjadi hari berkabung bagi para pebisnis di kota Berlin karena kehilangan sosok berpengaruh di kota ini.

Siapapun pasti merasa sedih dengan kejadian ini.

Berita kematian Roman langsung menyebar dengan cepat, dan media segera menyebarkan informasi itu dengan kecepatan yang luar biasa.

Siang ini, kota Berlin benar-benar di hebohkan dengan dua berita sekaligus yang bergabung menjadi satu.

Berita pertama tentang Stella yang menikah dengan seorang mandor. Dan berita kedua tentang kematian ayah Stella di hari pernikahannya.

Tentu saja hal ini menjadi bahan perbincangan di luar sana.

Sementara itu, Stella masih menangis di sisi ayahnya. Aksa yang berada di sampingnya berusaha menenangkannya.

"Stella, sudahlah, jangan menangis. Ayah sudah pergi dengan tenang. Pasti dia bahagia di sana. Kalau kamu sedih, dia juga akan ikut sedih," kata Aksa dengan suara lembut, mencoba memberikan sedikit kekuatan pada istrinya.

Namun Stella tidak menggubris perkataan Aksa. Dia terus menangis sambil memeluk erat tubuh ayahnya, seakan tak ingin melepaskannya sama sekali.

Tidak lama dari itu, beberapa perawat datang dan berhenti saat melihat Stella yang masih dalam suasana duka.

Salah satu dari mereka memberanikan diri untuk berkata, "Nona, izinkan kami akan melepaskan infus ayah Anda."

Stella memandang mereka, segera bangkit dari posisinya dan menganggukkan kepala dengan tumpul.

Dia melihat perawat dengan mata berkaca-kaca, memperhatikan mereka saat melepas detektor jantung serta melepas infus dan peralatan medis lainnya dari tubuh ayahnya.

Hatinya terasa hancur karena kenyataan bahwa ayahnya benar-benar telah tiada, meninggalkan dunia ini untuk selamanya.

Tiba-tiba kepala Stella terasa pusing. Penglihatannya menjadi kabur, dan segala yang ada di pandangannya seakan berputar dan membesar. Rasanya seperti ada kekuatan tak terlihat yang menariknya ke dalam pusaran gelap.

"Stella, kamu baik-baik saja?" Aksa mencoba menyentuh bahunya, tetapi Stella tak mampu merespon.

Detik berikutnya, pandangannya menjadi gelap dan tubuhnya limbung, jatuh ke dalam kekosongan.

"Stella!" teriak Aksa dengan panik, segera menangkap tubuhnya yang lemas sebelum terhempas ke lantai.

Tanpa membuang waktu, Aksa menggendongnya dengan hati-hati meninggalkan ruangan itu.

Beberapa saat kemudian, Stella membuka matanya perlahan. Kepalanya masih terasa pusing dan pandangannya sedikit kabur.

Ia menggosok matanya, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih tersisa.

Saat pandangannya mulai jelas, ia menyadari bahwa dirinya terbaring di ranjang pasien dengan aroma antiseptik yang khas menguar di udara.

Di sekelilingnya, peralatan medis berbunyi lembut.

Stella mengedarkan pandangan, mengenali dinding putih bersih dan tirai biru yang memisahkan tempat tidurnya dari pasien lain.

"Stella, kamu sudah sadar," suara lembut tapi penuh kekhawatiran terdengar dari sisi tempat tidur. Aksa duduk di kursi dekatnya, matanya menatap Stella dengan cemas.

Mendengar ini, pandangan Stella tertuju padanya. Segera setelah itu, ia duduk dan mengusap keningnya, mencoba mengusir rasa pusing yang masih tersisa. Namun, tatapannya berubah tajam saat melihat Aksa.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Stella menegaskan, suaranya penuh dengan kemarahan yang terpendam. Ia menghindari tatapan Aksa, merasa jijik.

"Stella, aku hanya—" Aksa mencoba menjelaskan, tetapi Stella memotongnya dengan cepat.

"Jangan berpura-pura baik hanya untuk mengambil property ayahku," ujarnya dengan suara dingin. "Aku tidak akan memberimu kekayaan apa pun. Dan jangan pernah menyentuhku."

Aksa terdiam, wajahnya berubah pucat mendengar kata-kata keras itu. Stella tidak memberinya kesempatan untuk merespon. Dengan cepat, ia turun dari ranjang pasien, meski kakinya masih terasa sedikit lemah.

Tanpa melihat ke belakang, Stella bergegas keluar dari kamar, hatinya dipenuhi amarah dan kekecewaan. Aksa tetap duduk di kursi, terpaku pada Stella yang berjalan meninggalkannya, sembari merenungi kata-kata Stella yang menusuk hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status