Waktu berlalu sangat lambat, orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Roman masih menunggu di sana.
Stella sangat lelah karena menangis, hingga akhirnya tertidur. Salah satu pria di sana memutuskan untuk mengambil tindakan. "Bawa istrimu pulang. Biar kami yang menunggu Tuan Roman di sini. Nona Stella terlihat sangat lelah," ujarnya dengan lembut kepada Aksa. Aksa memandang Stella yang sedang tertidur dan mengangguk setuju. Dia hendak menggendong Stella untuk membawanya pulang, namun mata Stella langsung terbuka dan menatap tajam ke arah Aksa. "Apa yang akan kamu lakukan? Jangan manfaatkan kesempatan ini untuk menyentuhku," kata Stella dengan nada kasar, membuat Aksa terdiam. Pria yang meminta Aksa mengantar Stella pulang segera bersuara, mencoba menenangkan situasi. "Nona Stella, sepertinya kamu lelah sekali. Pulanglah dan istirahatlah. Biarkan kami yang menunggu ayahmu," katanya dengan penuh pengertian. Stella menggelengkan kepalanya tegas dan bangkit dari dudukannya. "Aku tidak ingin pulang. Aku ingin tinggal di sini menunggu ayah sampai dia sembuh," ujarnya dengan tekad yang bulat. Mereka hanya saling pandang, tanpa mengatakan apapun. Stella memandang wajah semua orang di ruangan itu, keningnya berkerut karena ada sesuatu yang tidak beres diantara mereka. Saat Stella hendak bertanya kepada mereka tentang sesuatu, pintu ruangan ICU terbuka. "Keluarga Yuan?" kata dokter yang keluar dari ruangan ICU. Stella segera berbalik dan melihat dokter itu, "Ya, bagaimana ayah saya, Dok?" Dokter memandang Stella dan semua orang-orang penting itu. Dia tentu saja mengenali mereka semua. "Nona Yuan, kami minta maaf. Kami tidak bisa menyelamatkan nyawa ayah Anda," kata dokter dengan nada sedih. Kata-kata itu seperti kilat yang menyambar di siang bolong. Begitu keras dan mengguncangkan hati siapapun yang mendengarnya. Tubuh Stella juga langsung membeku dan matanya terbelalak, sulit mempercayai berita yang baru saja ia terima. Dokter itu segera menjelaskan kepada mereka, "Ada racun mematikan yang menyebar di tubuh Tuan Yuan. Racun itu sudah mencapai titik fatal, dan kami tidak dapat menyelamatkannya," kata dokter itu, menjelaskan meski dengan hati yang berat. Stella menggelengkan kepalanya dengan keras, tidak percaya dengan kabar ini. "Tidak, itu tidak mungkin. Ayahku pasti bisa diselamatkan. Ayahku pasti bisa diselamatkan!" serunya dengan suara yang penuh emosi, tidak sanggup menerima kenyataan yang pahit. Tanpa menunggu lebih lama, Stella segera melangkah melewati dokter itu, bergegas menuju tempat ayahnya terbaring di ruang ICU. Aksa yang juga tersentak oleh berita ini, masuk dan mengikutinya. Di dalam ruangan, Stella berhenti menatap pria yang terbaring dengan wajah pucat seperti kertas. Air mata Stella langsung mengalir tanpa henti. "Ayah–" tangisannya pecah dengan keras, menciptakan suara yang penuh dengan kepedihan. Dia mendekat dan memeluk ayahnya yang sudah tak bernyawa itu. Tangisannya menjadi semakin histeris, memenuhi ruangan dengan kesedihan yang mendalam. Kehilangan ayah adalah pukulan berat bagi Stella, dan saat ini dia harus menghadapi kesedihan itu. Di luar ruangan, orang-orang yang berpakaian rapi juga terlihat sedih, meskipun tidak ada suara yang keluar dari bibir mereka. Hari ini menjadi hari berkabung bagi para pebisnis di kota Berlin karena kehilangan sosok berpengaruh di kota ini. Siapapun pasti merasa sedih dengan kejadian ini. Berita kematian Roman langsung menyebar dengan cepat, dan media segera menyebarkan informasi itu dengan kecepatan yang luar biasa. Siang ini, kota Berlin benar-benar di hebohkan dengan dua berita sekaligus yang bergabung menjadi satu. Berita pertama tentang Stella yang menikah dengan seorang mandor. Dan berita kedua tentang kematian ayah Stella di hari pernikahannya. Tentu saja hal ini menjadi bahan perbincangan di luar sana. Sementara itu, Stella masih menangis di sisi ayahnya. Aksa yang berada di sampingnya berusaha menenangkannya. "Stella, sudahlah, jangan menangis. Ayah sudah pergi dengan tenang. Pasti dia bahagia di sana. Kalau kamu sedih, dia juga akan ikut sedih," kata Aksa dengan suara lembut, mencoba memberikan sedikit kekuatan pada istrinya. Namun Stella tidak menggubris perkataan Aksa. Dia terus menangis sambil memeluk erat tubuh ayahnya, seakan tak ingin melepaskannya sama sekali. Tidak lama dari itu, beberapa perawat datang dan berhenti saat melihat Stella yang masih dalam suasana duka. Salah satu dari mereka memberanikan diri untuk berkata, "Nona, izinkan kami akan melepaskan infus ayah Anda." Stella memandang mereka, segera bangkit dari posisinya dan menganggukkan kepala dengan tumpul. Dia melihat perawat dengan mata berkaca-kaca, memperhatikan mereka saat melepas detektor jantung serta melepas infus dan peralatan medis lainnya dari tubuh ayahnya. Hatinya terasa hancur karena kenyataan bahwa ayahnya benar-benar telah tiada, meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Tiba-tiba kepala Stella terasa pusing. Penglihatannya menjadi kabur, dan segala yang ada di pandangannya seakan berputar dan membesar. Rasanya seperti ada kekuatan tak terlihat yang menariknya ke dalam pusaran gelap. "Stella, kamu baik-baik saja?" Aksa mencoba menyentuh bahunya, tetapi Stella tak mampu merespon. Detik berikutnya, pandangannya menjadi gelap dan tubuhnya limbung, jatuh ke dalam kekosongan. "Stella!" teriak Aksa dengan panik, segera menangkap tubuhnya yang lemas sebelum terhempas ke lantai. Tanpa membuang waktu, Aksa menggendongnya dengan hati-hati meninggalkan ruangan itu. Beberapa saat kemudian, Stella membuka matanya perlahan. Kepalanya masih terasa pusing dan pandangannya sedikit kabur. Ia menggosok matanya, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. Saat pandangannya mulai jelas, ia menyadari bahwa dirinya terbaring di ranjang pasien dengan aroma antiseptik yang khas menguar di udara. Di sekelilingnya, peralatan medis berbunyi lembut. Stella mengedarkan pandangan, mengenali dinding putih bersih dan tirai biru yang memisahkan tempat tidurnya dari pasien lain. "Stella, kamu sudah sadar," suara lembut tapi penuh kekhawatiran terdengar dari sisi tempat tidur. Aksa duduk di kursi dekatnya, matanya menatap Stella dengan cemas. Mendengar ini, pandangan Stella tertuju padanya. Segera setelah itu, ia duduk dan mengusap keningnya, mencoba mengusir rasa pusing yang masih tersisa. Namun, tatapannya berubah tajam saat melihat Aksa. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Stella menegaskan, suaranya penuh dengan kemarahan yang terpendam. Ia menghindari tatapan Aksa, merasa jijik. "Stella, aku hanya—" Aksa mencoba menjelaskan, tetapi Stella memotongnya dengan cepat. "Jangan berpura-pura baik hanya untuk mengambil property ayahku," ujarnya dengan suara dingin. "Aku tidak akan memberimu kekayaan apa pun. Dan jangan pernah menyentuhku." Aksa terdiam, wajahnya berubah pucat mendengar kata-kata keras itu. Stella tidak memberinya kesempatan untuk merespon. Dengan cepat, ia turun dari ranjang pasien, meski kakinya masih terasa sedikit lemah. Tanpa melihat ke belakang, Stella bergegas keluar dari kamar, hatinya dipenuhi amarah dan kekecewaan. Aksa tetap duduk di kursi, terpaku pada Stella yang berjalan meninggalkannya, sembari merenungi kata-kata Stella yang menusuk hatinya.Keesokan harinya, rumah Roman yang kemarin pagi dipenuhi banyak orang, kini semakin ramai oleh kehadiran orang-orang penting di kota Berlin. Namun kali ini, mereka datang bukan untuk mengucapkan selamat kepada Stella dan Aksa, melainkan untuk menghadiri upacara duka atas meninggalnya Roman Yuan. Stella berdiri di dekat peti mati ayahnya, air mata mengalir deras di wajahnya. Suara pelan dari tamu yang berbicara terdengar seperti gumaman jauh di telinganya, semua terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Dia berlutut di samping peti mati ayahnya, memegang erat pinggirannya. "Ayah, jangan tinggalkan aku. Aku tak mau hidup sendiri," bisiknya dengan suara bergetar. "Aku tidak tahu dengan siapa aku akan berada di dunia ini jika kamu pergi." Tangisannya pecah, menggema di ruangan yang penuh sesak. Air matanya mengalir tanpa henti. Setiap kenangan bersama ayahnya terlintas di benaknya, menambah beban berat yang ia rasakan.
Di rumah Roman, tidak ada seorang pun di sana setelah semua tamu yang melayat sudah pulang dan menjalankan aktivitas masing-masing. Suasana yang semula ramai dan penuh dengan kehadiran banyak orang, tiba-tiba berubah menjadi sunyi. Sebuah mobil Mercedes Benz A-Class melaju masuk dan berhenti di depan rumah. Pintu belakang terbuka, lalu Stella dan Livy turun dari mobil itu dan berjalan menuju rumah. "Halaman rumah yang kemarin dan tadi masih sangat ramai, dalam sekejap menjadi sepi," kata Stella sambil memandang sekeliling halaman yang kosong, hanya dihiasi oleh dekorasi pernikahan, meja, dan bunga yang masih tersisa. Livy mengangguk, memahami perasaan Stella, lalu mereka berdua memasuki rumah itu. "Livy, bisakah kamu tinggal di sini bersamaku, menemaniku? Rumah sebesar ini, tidak mungkin aku di sini sendirian," kata Stella, memandang Livy dengan wajah penuh harap.
Tak lama kemudian, Aksa datang membawa nampan yang berisi dua piring, disusul bibi yang sedang bertugas di dapur membawakan dua gelas jus jeruk di atas nampan juga. Mereka menyajikan makanan dan minuman dengan sangat hati-hati, seolah-olah sedang berada di restoran mewah. Namun, alis Stella berkerut saat melihat pemandangan ini. "Aksa, apa aku bilang padamu untuk meminta bantuan bibi?" Stella bertanya dengan cemberut, menunjukkan ketidakpuasannya. Aksa hendak menjawab, namun bibi yang mengantarkan jus itu dengan cepat berkata, “Ini inisiatif saya sendiri, Nona. Tuan Aksa ingin melakukannya sendiri, tetapi Bibi kasihan padanya. Jadi saya membantunya.” Tatapan Stella tertuju pada bibi itu, dan dengan nada tidak senang, dia berkata, "Lain kali, kalau aku hanya menyuruh Aksa, maka yang lain jangan membantunya. Bibi, sampaikan hal ini pada pelayan yang lain agar mereka mengerti." Stella mengatakan ini dengan ekspresi wajah teg
"Nak, dunia ini adalah tempat yang kompetitif. Jika kamu berada di bawah, kamu akan terinjak. Namun jika kamu berada di atas, maka kamu akan dirobohkan." “Hukum dan aturan di dunia ini, siapapun yang pintar dan kuat, dialah pemimpinnya. Jadi jika hidupmu ingin stabil dan mendominasi, jadilah pintar dan kuat.” Kata-kata Roman menggantung di udara, memberi kesan mendalam tentang kenyataan hidup yang keras. Dia melanjutkan dengan nada yang lebih tenang, "Sedangkan yang bisa kita lakukan hanyalah menjadikan diri kita terbiasa dengan posisi yang kita miliki." Stella menatap ayahnya dengan mata penuh pertanyaan, bibirnya bergetar saat mencoba memahami kenyataan pahit ini. Kemudian, dengan hati-hati, dia menyentuh tangan kekar yang sedang membelai pipinya, mencari kepastian dalam sentuhan yang familiar. “Tapi apakah Ayah tahu siapa yang meracunimu?” Roman menggelengkan kepalanya perlahan, sebuah kegetiran terpancar dar
Setelah makan malam, Aksa berdiri dan berjalan pergi meninggalkan Stella sendirian di ruang makan. Stella yang melihat hal itu segera menghabiskan sisa susunya dengan cepat dan berdiri untuk mengejarnya. "Aksa, tunggu sebentar," panggil Stella sambil berlari menuju ruang tamu. Aksa berbalik dan menatap Stella. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku, menatapnya dalam diam. “Aku ingin bicara denganmu, ikut aku,” kata Stella sambil berjalan ke luar. Aksa tak punya pilihan selain mengikutinya. Mereka berjalan keluar rumah menuju halaman depan, di mana Stella duduk di kursi taman. Aksa duduk di seberangnya. "Kamu mengajakku ke sini hanya untuk berbicara? Apakah ada hal penting?" tanya Aksa sambil melihat sekeliling. Tidak ada seorang pun di taman kecuali mereka berdua. "Ada sesuatu yang penting atau tidak, apa urusanmu? Kalau kamu bisa ngobrol denganku
Malam itu, kesepakatan dan peraturan dibuat di ruang tamu oleh Stella. Beberapa lembar kertas disiapkan, masing-masing berisi peraturan yang menjadi dasar kesepakatan mereka. Stella dengan hati-hati menuliskan setiap bab, memastikan tidak ada yang terlewat. Ruang tamu sunyi, yang terdengar hanyalah suara pena yang menggores kertas. Aksa duduk di seberang meja sambil menatap serius kertas yang mulai terisi. "Pasal tujuh," Stella membacakan dengan lantang, "Aksa harus tidur di lantai seumur hidupnya, sedangkan Stella tidur di kasur seumur hidupnya." Aksa menghela nafas panjang, namun tidak membantah. Stella terus menulis, dan suasana kembali hening. Lampu ruang tamu yang terang memberikan bayangan lembut di kertas, seolah menyaksikan momen bersejarah itu. Setelah semuanya selesai, keduanya pun menandatangani kertas itu. Semua ini adalah ide Stella. Aksa hanya mengikuti
Di salah satu kantor Grup Yuan, bangunan itu menjulang megah, mencerminkan kekuatan dan kesuksesan perusahaan. Di belakang area itu terdapat berbagai macam alat berat yang tertata rapi, siap digunakan untuk proyek konstruksi besar yang sedang dikerjakan perusahaan. Suasana di sekitar kantor yang penuh aktivitas, suara mesin dan alat berat yang beroperasi menggambarkan aktivitas yang sibuk dan dinamis. Roman Yuan dan karyawannya menjalankan operasi kantor pusat dari sini, mengendalikan dan mengawasi setiap aspek proyek konstruksi yang sedang berlangsung. Grup Yuan terkenal di industri konstruksi karena kemampuannya menyediakan segala yang diperlukan, mulai dari alat berat hingga bahan konstruksi berkualitas tinggi. Dengan pengalaman dan keahlian mereka, Grup Yuan telah menjadi salah satu pemain utama dalam industri konstruksi di kota ini. Sebuah BMW X7 berhenti dengan mantap di area parkir. Aksa duduk diam di
Mobil pun tiba di rumah Stella. Aksa bergegas membukakan pintu untuknya, dan Stella langsung keluar. Dengan langkah gontai, ia turun sambil menangis, air matanya mengalir deras di pipinya. Aksa memandangnya dengan bingung dan cemas."Kenapa dia menangis?" tanya Aksa pada dirinya sendiri, menatap punggung Stella yang menjauh.Aksa tidak bisa menahan diri. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia memutuskan untuk mengejarnya. Ia melangkah masuk ke dalam rumah, menyusul Stella yang berjalan menuju kamarnya, terisak-isak.Di dalam kamar, Stella menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal yang empuk dan menangis di dalamnya, suaranya teredam oleh kain lembut.Aksa membuka pintu dengan perlahan, berjalan hati-hati agar tidak mengejutkannya. Tangisan Stella kali ini tidak biasa. Seorang yang biasanya bahagia dan dingin, tidak mungkin menangis tanpa alasan yang kuat."Stella, ada apa