Malam itu, kesepakatan dan peraturan dibuat di ruang tamu oleh Stella.
Beberapa lembar kertas disiapkan, masing-masing berisi peraturan yang menjadi dasar kesepakatan mereka. Stella dengan hati-hati menuliskan setiap bab, memastikan tidak ada yang terlewat. Ruang tamu sunyi, yang terdengar hanyalah suara pena yang menggores kertas. Aksa duduk di seberang meja sambil menatap serius kertas yang mulai terisi. "Pasal tujuh," Stella membacakan dengan lantang, "Aksa harus tidur di lantai seumur hidupnya, sedangkan Stella tidur di kasur seumur hidupnya." Aksa menghela nafas panjang, namun tidak membantah. Stella terus menulis, dan suasana kembali hening. Lampu ruang tamu yang terang memberikan bayangan lembut di kertas, seolah menyaksikan momen bersejarah itu. Setelah semuanya selesai, keduanya pun menandatangani kertas itu. Semua ini adalah ide Stella. Aksa hanya mengikutiDi salah satu kantor Grup Yuan, bangunan itu menjulang megah, mencerminkan kekuatan dan kesuksesan perusahaan. Di belakang area itu terdapat berbagai macam alat berat yang tertata rapi, siap digunakan untuk proyek konstruksi besar yang sedang dikerjakan perusahaan. Suasana di sekitar kantor yang penuh aktivitas, suara mesin dan alat berat yang beroperasi menggambarkan aktivitas yang sibuk dan dinamis. Roman Yuan dan karyawannya menjalankan operasi kantor pusat dari sini, mengendalikan dan mengawasi setiap aspek proyek konstruksi yang sedang berlangsung. Grup Yuan terkenal di industri konstruksi karena kemampuannya menyediakan segala yang diperlukan, mulai dari alat berat hingga bahan konstruksi berkualitas tinggi. Dengan pengalaman dan keahlian mereka, Grup Yuan telah menjadi salah satu pemain utama dalam industri konstruksi di kota ini. Sebuah BMW X7 berhenti dengan mantap di area parkir. Aksa duduk diam di
Mobil pun tiba di rumah Stella. Aksa bergegas membukakan pintu untuknya, dan Stella langsung keluar. Dengan langkah gontai, ia turun sambil menangis, air matanya mengalir deras di pipinya. Aksa memandangnya dengan bingung dan cemas."Kenapa dia menangis?" tanya Aksa pada dirinya sendiri, menatap punggung Stella yang menjauh.Aksa tidak bisa menahan diri. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia memutuskan untuk mengejarnya. Ia melangkah masuk ke dalam rumah, menyusul Stella yang berjalan menuju kamarnya, terisak-isak.Di dalam kamar, Stella menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal yang empuk dan menangis di dalamnya, suaranya teredam oleh kain lembut.Aksa membuka pintu dengan perlahan, berjalan hati-hati agar tidak mengejutkannya. Tangisan Stella kali ini tidak biasa. Seorang yang biasanya bahagia dan dingin, tidak mungkin menangis tanpa alasan yang kuat."Stella, ada apa
Yuda berkata lagi, "Lagipula Nona Stella memiliki paras yang cantik. Tubuhnya juga sempurna. Dia seperti bidadari dari surga. Ditambah lagi latar belakangnya. Siapa yang tidak tertarik menjadi pacarnya?" "Namun, dia sangat cuek pada pria yang tidak dia kenal. Dia menolak semua pria yang pernah mendekatinya." Yuda terlihat antusias saat mengatakan hal ini. Ia lalu melanjutkan, "Dan tahukah Anda siapa mereka? Setidaknya, mereka adalah anak-anak orang kaya. Tapi Nona Stella tidak peduli. Selama dia tidak mau, dia langsung menolak." Yuda menepuk pundak Aksa dengan gembira. "Tapi ternyata, gadis cantik idaman semua orang itu jatuh ke tangan saudaraku sendiri. Saat aku mendengar kabar pernikahan kalian, aku sangat bahagia. Aku sangat ingin datang, tapi aku tidak diundang olehmu, jadi aku tidak berani datang." Aksa menghabiskan dimsumnya dan meletakkan mangkuknya ke atas gerobak. "Aku tidak mengundang siapa-siapa. Semua acaranya diatur ole
Jiwan tersenyum sinis, lalu menunjukkan semua bukti kerjasamanya dengan Roman. Semakin semuanya diperlihatkan, Stella semakin terkejut. Ternyata Jiwan adalah orang kepercayaan Roman. Tapi bagaimana ini mungkin? Stella ingin menyangkalnya, tapi tidak bisa karena semua bukti sudah jelas di depan matanya. “Semua ini adalah bukti kerjaku. Bahkan ayahmu percaya padaku. Lalu kenapa aku harus membuatmu percaya padaku agar aku bisa menempati posisi ini?" tanya Jiwan merendahkan. Selama ini Stella tidak pernah menaruh harapan sedikit pun pada pamannya, karena kejadian saat itu telah membuatnya trauma. Namun, siapa sangka ayahnya akan dengan mudah memberinya kepercayaan itu? Jiwan berkata, “Sudah kubilang, Stella. Semua aset keluarga Yuan telah menjadi milikku. Kepada siapa pun aku ingin membaginya, itu adalah hakku. Dan satu-satunya aset yang ditinggalkan ayahmu hanyalah rumah yang kamu tinggali.” Plakk!
Livy menghela nafas melihat keputusasaan di mata Aksa. "Aksa, aku tahu kamu sudah berusaha keras. Tapi mungkin Stella butuh lebih dari sekedar menuruti permintaannya. Dia butuh kamu, kehadiranmu yang tulus, bukan sekedar taat pada aturan." Aksa tersenyum sinis, tatapannya datar menembus udara di hadapannya. "Dalam memperlakukan seseorang, aku tidak pernah berpura-pura. Aku hanya melakukan apa yang orang itu lakukan padaku. Mengenai Stella, itu pengecualian. Dia tidak melakukan apa pun untukku, tapi aku tetap melakukannya dengan tulus karena ayahnya," kata Aksa tegas . Ia membuang muka dan melanjutkan, "Aku sudah berusaha keras untuk membuatnya bahagia. Itu janjiku padanya, juga pada ayahnya. Namun semua itu nampaknya sia-sia bagi orang yang tidak melihat ketulusanmu." "Lalu apa lagi yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa terus-terusan memprioritaskan dia dalam hidupku. Karena ada sesuatu yang juga perlu aku urus untuk saat ini."
Pegawai bank akhirnya menjelaskan, “Nona Stella, ayah Anda pernah meminjam uang kepada bank kami. Dan satu minggu lagi jatuh tempo.” "Meminjam uang?" Stella terkejut. Dia langsung berjalan mendekat dan mengambil kertas yang ada di atas meja. Namun, Aksa segera meraihnya dengan cepat, menghindari Stella untuk melihatnya. “Aku telah melihatnya, kamu tidak perlu melihatnya lagi. Sekarang kembali dan makan, karena itu lebih penting dari ini. Untuk masalah ini, biarkan aku yang akan mengatasi,” kata Aksa dengan serius. Kedua petugas bank itu menatap Aksa dengan kening berkerut, seakan-akan mereka bertanya-tanya, "Orang miskin yang baru jadi kaya, menganggap jumlah itu sedikit? Uang sebanyak itu dia mau membayarnya dengan apa?" “Bawa sini, aku mau melihatnya,” kata Stella mendekati Aksa dan hendak merebut kertas itu. Namun, Aksa menjauhkan kertas itu dari jangkauannya meski dia sedang duduk di
Aksa berkata lagi, “Besok aku akan pergi. Ada urusan mendadak yang membuatku harus pergi. Jika kamu akan pergi, minta Pak Sopir mengantarkanmu.” Stella tidak menjawab, hanya diam saja. “Livy, temani Stella. Aku akan menebus obat dan melakukan pembayaran,” kata Aksa. Livy mengangguk. Setelah itu, Aksa pergi. Pandangan Livy mengikuti Aksa berjalan hingga meninggalkan mereka. “Stella, apakah kamu akan memperlakukan Aksa seperti ini sepanjang waktu? Tidak bisakah kalian saling membuka hati untuk menyelipkan cinta?” tanya Livy. Stella menggelengkan kepalanya. “Tidak akan. Aku tidak akan jatuh cinta padanya. Dia mau menikah denganku, hanya karena harta dan kecantikanku. Tidak benar-benar tulus. Untuk apa aku memperlakukannya dengan baik?” Bagaimanapun juga, meskipun mereka telah membuat perjanjian, Stella masih sulit menerima bahwa Aksa benar-benar tulus padanya. Yang ada di pikiran Stella, Aksa menikah dengannya hanya
Setelah mobil diparkir, mereka langsung keluar.“Kau membawaku ke pantai yang belum selesai Apakah kita juga akan membantu para pekerja?” Stella bertanya dengan cemberut.Livy tertawa dan mendekatinya. "Tentu saja tidak. Mana mungkin aku mau mempekerjakanmu."“Dulu orang bilang pantai yang bagus itu ada dua, yaitu saat hampir buka dan saat baru buka. Jadi aku mau buktikan dimanakah letak bagusnya saat belum dibuka,” kata Livy lagi.Stella hanya membuang muka dan melihat ke arah lain. Livy memang seperti itu, terkadang kemauannya di luar dugaan orang lain. Bahkan, ia juga percaya dengan ramalan dan perkataan orang zaman dahulu.Namun ketika Stella melihat ke arah itu, dia melihat sebuah mobil yang familiar baginya.“Sudahlah, ayo main ke pantai,” ajak Livy mengajak Stella.Namun, Stella ragu dan enggan pergi sambil melihat BMW Seri 7 yang diparkir di sana.Di sisi lain, Aksa berjalan keluar gedung bersama Liam. Ia berhenti sejenak dan berkata, "Bangunan ini masih kokoh. Kalau begitu,