Aksa pun mengangguk dan berkata, "Wilayah barat kota Falone adalah aset terbesar yang dimiliki Keluarga Fang. Kamu tahu tentang ini, kan?" Stella berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Tentu saja ia tahu tentang hal ini. "Lalu kenapa?" Aksa menatap Stella dengan tatapan serius, "Keluarga Fang sedang mengalami krisis internal. Ada kesempatan untuk mendekati mereka dan mencari jalan agar kamu bisa memasuki wilayah barat tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku punya koneksi yang bisa membantu." Stella mengernyitkan alisnya, penasaran. "Koneksi apa? Bagaimana caranya?" "Aku mengenal salah satu anggota keluarga Fang yang punya pengaruh. Dia bisa memberikan izin masuk jika kita bisa meyakinkan dia bahwa kita punya tujuan yang sama," jawab Aksa. Stella yang mendengar hal ini tentu saja terkejut. Aksa mempunyai kenalan anggota keluarga Fang? "Jangan mencoba untuk membohongiku," kata Stella memasang raut wajah tidak percaya. "Aku tidak membohongimu. Aku berbicara jujur," kata Aksa meyakinka
Tidak lama setelah itu, mereka melewati pemeriksaan keamanan dengan cepat dan langsung dibawa ke sebuah jet pribadi yang menunggu di landasan. Stella merasa seperti berada dalam mimpi yang tidak masuk akal. Saat mereka menaiki tangga jet pribadi itu, Stella merasa seolah-olah dunia yang selama ini dikenalnya telah berubah total.Ia masih memikirkan hubungan antara Aksa dan Liam saat mereka duduk di kursi jet pribadi itu."Aksa, kenapa kamu tidak pernah menceritakan tentang ini sebelumnya?" tanya Stella pelan setelah mereka duduk."Karena kamu tidak pernah percaya dengan apa yang aku katakan padamu," jawab Aksa singkat tanpa menoleh.Setelah mengatakan itu, Aksa langsung memejamkan matanya, untuk mengistirahatkan pikirannya.Stella yang ingin mengatakan sesuatu pun akhirnya mengurungkan niatnya.Jet pribadi itu pun mulai bergerak di landasan pacu, dan dalam beberapa menit, mereka sudah terbang di udara. Stella menatap keluar jendela, melihat pem
Pandangan Stella jatuh kepada Aksa.Dia menatapnya dengan serius dan berkata, "Apa yang sebenarnya terjadi? Tolong beritahu aku lebih banyak tentang semua ini. Siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa mereka memanggilmu Tuan Muda?"Aksa menatapnya sejenak sembari berkata, "Aku mengerti bahwa semua ini membingungkanmu. Sekarang duduklah, aku akan menjelaskan semuanya."Stella tampak ragu, namun akhirnya dia duduk di sofa itu sesuai perintah Aksa. Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi, seolah-olah menunggu pengakuan besar yang akan datang. Aksa pun duduk di dekatnya. Dia menghela napas, menatap mata Stella dalam-dalam, dan mulai menjelaskan, "Nama asliku adalah Theo. Dan Aksa adalah nama yang aku gunakan untuk menyembunyikan identitasku selama ini. Aku adalah Tuan Muda keluarga Fang."Stella menatap Aksa dengan mata yang lebar, berusaha memahami apa yang baru saja ia dengar. "Tuan Muda keluarga Fang? Kamu...?"Stella merasa kesulitan untuk mempercayai perkataan Aksa kali ini. Jika Aksa mengung
Di sebuah rumah sakit di kota Berlin, seorang pria berusia empat puluh tahun, yang merupakan pemimpin dari keluarga Yuan, sebuah keluarga berpengaruh di kota itu, terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Dia adalah Roman Yuan, figur utama dalam keluarga Yuan saat ini. Meskipun sudah dirawat selama beberapa hari, Roman masih belum pulih dan tetap tidak sadar. Di dalam ruangan itu, banyak orang berdiri dengan wajah sedih, memandang Roman dari kejauhan. Seorang gadis cantik berusia dua puluhan tahun duduk di sampingnya, terlihat khawatir. Kekhawatiran itu dirasakan oleh semua orang yang hadir, tidak dapat disembunyikan lagi. Dengan hati yang penuh kekhawatiran, gadis itu berbisik dalam hatinya, "Ayah, tolong bangunlah. Aku tidak tahan melihatmu seperti ini terus-menerus. Aku berharap kamu segera sembuh," ucapnya sambil menggenggam erat tangan ayahnya. Sejak hari pertama di rumah sakit, gadis itu tidak pernah meninggalkan kursinya, selalu berada di samping ayahnya seolah
Pukul sepuluh malam, ketika ruangan telah sepi dan hanya menyisakan Stella dan ayahnya, suasana menjadi semakin hening.Dengan cemas, Stella bertanya padanya, "Ayah, apakah kamu benar-benar sudah lebih baik sekarang?"Roman memandang wajah putrinya dengan senyuman penuh makna. "Kenapa kamu begitu khawatir pada ayah? Apakah kamu benar-benar takut kehilangan ayah?"Stella mengangguk, menunjukkan betapa besar kekhawatirannya."Dalam hidup ini, hanya ayah yang aku miliki. Tentu saja, aku tidak ingin kehilanganmu," ucap Stella dengan ekspresi sedih yang terpancar jelas dari wajahnya. Roman meraih tangan putrinya dengan penuh kasih sayang. Meskipun terlihat sedih, Roman mencoba menghilangkan kesedihan dengan menghela nafas. "Dunia ini penuh dengan misteri, Nak. Takdir seseorang tidak bisa diprediksi atau dikendalikan, termasuk takdir ayah," ujar Roman dengan serius. Stella menatapnya dengan kening berkerut, bertanya-tanya tentang maksud dari perkataan ayahnya. Roman menghela nafas pan
Dokter mengangguk serius, "Maafkan saya karena tidak menyadari hal ini sejak awal. Memang sulit membedakan gejala penyakit liver dan racun ini." Wajah Stella langsung memucat saat mendengar bahwa ayahnya terkena racun, sebuah fakta yang sangat berbeda dari apa yang pernah dia bayangkan sebelumnya. "Bukankah hasil tes sebelumnya menunjukkan penyakit liver? Kenapa sekarang menjadi terkena racun?" Stella bertanya dengan kebingungan. "Aku bisa menuntut kalian jika kalian bekerja seperti ini," tambahnya dengan nada bicara penuh emosi. Dokter mencoba menenangkan Stella, “Maaf, Nona. Tolong tenangkan diri Anda terlebih dahulu. Saya akan memberikan penjelasan.” Stella masih bingung dan emosional, namun ia berusaha menenangkan dirinya. Nafasnya naik turun dengan cepat, menunjukkan amarah yang membara. Setelah cukup tenang, Stella berkata, "Cepat katakan. Jika penjelasanmu tidak masuk akal, aku tidak ragu untuk melaporkan rumah sakit ini." Dokter mengangguk cepat, "Baik, saya akan menjel
“Ya, itu yang ayah inginkan. Jika kamu berkenan, anggap saja ini sebagai permintaan terakhir ayah,” kata Roman dengan tulus. Stella memandang ayahnya dalam diam, mencoba memahami maksud di balik permintaan tersebut. Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Dia tentu dalam keadaan bingung saat ini. Setelah berpikir sejenak, Stella segera berkata, “Ayah, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal ini? Ayah tahu aku tidak punya pacar, kan? Lagipula, aku masih muda. Masih ingin menghabiskan masa muda bersama ayah.” Roman tersenyum dan menatap putrinya dengan tulus. “Jika ayah masih berumur panjang, meski kamu ingin menikah di usia tiga puluhan, juga tidak masalah. Sayangnya, masa hidup ayah hampir habis. Ayah khawatir tidak bisa melihatmu menikah, dan tidak tahu apakah suamimu bisa menggantikan ayah untuk menjagamu,” kata Roman menjelaskan. Roman diam sejenak dan melanjutkan, “Karena ayah tahu kalau kamu jauh dari saudara-saudaramu. Jadi menurutku, hanya calon suamimu yang akan m
Setelah dirawat di rumah sakit, Roman menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada Jiwan, mengambil alih semua aktivitas Grup Yuan. Jiwan melambaikan tangannya seraya berkata, “Kau tenang saja, masih seperti ini jangan terlalu memikirkan pekerjaan. Semuanya berjalan dengan lancar.” Jiwan tersenyum sambil menepuk punggung Roman. Roman pun tersenyum, meski terlihat kecut. "Apa kata dokter mengenai penyakitmu? Dan apa tindakan selanjutnya?" Saat ini Roman hanya termenung. Dia memandang mereka berdua untuk sesaat, kemudian berkata, "Saat ini hanya perlu menjalani. Mereka terus mengikuti perkembanganku. Jika lebih baik, maka bisa pulang dengan cepat." Jiwan memandangnya, memberi semangat kepadanya. Mereka berbicara sejenak sebelum memutuskan untuk pulang. Saat membuka pintu, mereka papasan dengan Stella. Ketiganya berbicara sebentar sebelum mereka pergi, dan Stella menutup pintu ruangan kembali, lalu berjalan menuju ayahnya. "Ayah belum tidur?" tanya Stella mendekat. Roman meng